Oleh : AHMAD BARJIE B
Ratusan tahun pascawafatnya Nabi Adam as, ada lima orang saleh hidup di tengah masyarakat, mereka bernama Wuddun, Suaa’un, Yaghutu, Yaughu dan Nasrun. Ketika kelima orang saleh itu wafat, masyarakat lalu membuat patung untuk mengenangnya. Ratusan tahun kemudian, patung itu tidak hanya dihormati tapi sudah disembah sebagai tuhan. Hal inilah yang menjadi dasar bagi sebagian ulama melarang pengkultusan berlebihan terhadap ulama atau tokoh tertentu, khawatir kalau-kalau orang itu dipuja-puji dan disembah sebagaimana kelakuan kaum terdahulu.
Nabi Nuh AS diutus Allah untuk memperbaiki kaumnya dan mengajak mereka bertauhid. Tetapi kaumnya selalu ingkar, selalu mengejek dakwahnya, bahkan menyebut Nuh gila alias tidak waras. Tidak hanya kaumnya, anggota keluarga Nuh sendiri pun banyak yang enggan beriman. Selama sekitar 950 tahun usianya, sebagian besar umurnya digunakan untuk berdakwah, bahkan siang dan malam, namun pengikutnya tidak kunjung bertambah. Konon orang yang mengikuti seruan dakwahnya hanya 80-an orang, bahkan dalam Tafsir al-Maraghi disebutkan hanya 8 orang saja. Setelah tidak ada lagi harapan untuk menambah pengikut, akhirnya Allah memerintahkan Nuh untuk membuat kapal, sebab Allah akan segera menenggelamkan kaumnya yang kafir itu. Keadaan ini semakin menyulut kemarahan dan ejekan kaumnya. Mereka bilang Nuh semakin edan, dulu mengaku sebagai Nabi, kini berubah profesi sebagai tukang membuat kapal, di daratan lagi, yang jauh dari air.
Ternyata janji Allah menenggelamkan kaum Nuh terlaksana beberapa saat kemudian setelah kapal rampung. Banjir tidak hanya berasal dari langit yang seolah robek memuntahkan isinya, tapi juga mengucur dari bumi yang seolah belah memancarkan air di segenap penjuru dengan volume yang mengerikan. Berbulan-bulan banjir itu (kabarnya 40 hari) terjadi hingga gunung tinggi pun tenggelam olehnya. Setelah air bah berangsur surut, kapal Nuh yang sarat berisi muatan hewan berpasangan, logistik dan sejumlah orang beriman, berlabuh di atas bukit Judi, terletak di Armenia Selatan dan berbatasan dengan Mesopotamia (Irak) sekarang. Tempat kaum Nuh yang dikiamatkan lewat banjir ini konon dinamai Laut Mati.
Mengingat di zaman Nuh belum terjadi kerusakan alam dan pencemaran lingkungan, maka banjir kala itu murni akibat kemaksiatan yang dilakukan oleh kaum Nuh, sehingga Allah mengazab mereka dengan banjir yang sangat mengerikan. Sehingga sebagian anggota keluarga Nabi Nuh yang ingkar kepadanya pun tidak luput dari dari banjir dahsyat dan mematikan tersebut. Nuh sempat protes kepada Allah, mengapa anggota keluarganya ikut binasa. Allah menjawab: mereka bukan lagi keluargamu, karena mereka ingkar akan kebenaran yang engkau bawa dan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan perintah Allah. Akhirnya Nuh menyadari, dan dapat menerima kenyataan yang terjadi. Jadi, keluarga dekat Nabi pun bila bermaksiat juga akan dimurkai Allah, apalagi kalau hanya sekadar umat nabi atau rakyat biasa. Karena itu semua orang harus bertaubat dari berbagai dosa dan kesalahan, yang dapat mengundang murka Allah. Perihal banjir di zaman Nuh ini dapat dilihat dalam Alquran surat Hud: 25-49, al-Ankabut: l4 dan Nuh: l-28 beserta tafsirnya.
Berbeda dengan sekarang ini, seperti yang terjadi di Sumatra Utara, Aceh, juga di Jawa Barat, di Kalimantan dan sebagainya, jelas alam hutan sudah rusak oleh tangan-tangan manusia (pengusaha yang rakus), berkolaborasi dengan penguasa yang mengizinkan, membiarkan atau tutup mata terhadap kerusakan yang terjadi tanpa mau menegakkan hukum yang sudah ada. Ketika rumah-rumah air (pohon dan hutan ditebang dan ditambang), maka pastilah terjadi banjir besar-besaran. Soal curah hujan tinggi tak bisa disalahkan, zaman dulu juga hujan selalu lebat kalau sudah musimnya. Tapi karena hutan masih utuh, tak menimbulkan bahaya. Sekarang, hujan sedikit saja sudah berisiko. Akibatnya justru masyarakat yang menanggung akibat, kerugian dan menjadi korban karenanya.













