Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Bencana dan Negara: Menakar Legalitas Gugatan Publik Akibat Kelalaian Penanganan

×

Bencana dan Negara: Menakar Legalitas Gugatan Publik Akibat Kelalaian Penanganan

Sebarkan artikel ini
IMG 20251205 133522

Penulis : MARSA DHIYA ULHAQ
NIM : 2210211220067
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

Bencana banjir dan longsor masif yang melanda Sumatra terutama di provinsi Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat pada akhir tahun 2025 telah menimbulkan duka yang sangat mendalam. Data terakhir menunjukkan korban tewas mencapai ratusan jiwa, ribuan rumah rusak atau hancur, dan ratusan ribu warga mengungsi akibat dampak bencana. Situasi ini memunculkan pertanyaan krusial: apakah tragedi ini murni fenomena alam yang tak terhindarkan, atau ada unsur kelalaian pemerintah dalam proses mitigasi, tata kelola lingkungan, dan respons darurat yang lambat?

Kalimantan Post

Dalam perspektif hukum, UndangUndang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menegaskan bahwa pemerintah pusat dan daerah memiliki tanggung jawab dalam mitigasi risiko, penyelenggaraan tanggap darurat, serta perlindungan dan pemenuhan hak korban bencana. Lalu pada Konstitusi Indonesia melalui Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 dengan tegas menjamin hak setiap warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Artinya, negara bukan hanya hadir saat bencana sudah terjadi, tetapi wajib memastikan bahwa potensi kerusakan dapat dicegah melalui kebijakan yang terukur dan berorientasi perlindungan masyarakat. Saat negara gagal dalam memenuhi amanat hukum tersebut, maka ruang untuk pertanggungjawaban hukum mulai terbuka.

Yang menjadi persoalan adalah, dalam kasus banjir Sumatra, banyak indikator yang menunjukkan bahwa mitigasi tidak berjalan maksimal. Realitas banjir tahun ini menunjukkan masih adanya kesenjangan antara norma hukum dan pelaksanaan di lapangan. Banyak daerah rawan banjir tidak memiliki sistem peringatan dini, kawasan resapan air berubah menjadi area permukiman atau perkebunan skala besar, dan koordinasi antar lembaga masih jauh dari kata ideal. Hal-hal inilah yang kemudian dapat menjadi dasar argumentasi bahwa banjir kali ini bukan sekadar bencana alam, tetapi juga akibat dari kelalaian struktural.

Baca Juga :  Banjir dan Kita

Mekanisme hukum bagi korban atau masyarakat luas untuk menggugat pemerintah atas kelalaian penanganan bencana telah dibahas dalam literatur dan yurisprudensi baik melalui gugatan administratif, perdata (perbuatan melawan hukum), maupun litigasi terhadap pelanggaran lingkungan atau tata ruang. Legal standing korban diakui, terutama bila mereka dapat menunjukkan hubungan hukum dengan objek gugatan, misalnya bahwa mereka adalah penduduk terdampak, rumah/rencana tata ruang berada di kawasan rawan, atau bahwa pemerintah gagal menjalankan kewajibannya berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2007.

Namun demikian, keberhasilan gugatan semacam itu tidaklah mudah. Faktor struktural seperti lemahnya transparansi data, sulitnya membuktikan kelalaian konkret, birokrasi panjang, serta potensi konflik kepentingan, terutama bila ada perusahaan kehutanan atau korporasi dengan izin kawasan yang kini dikaitkan sebagai penyebab kerusakan lingkungan menjadi tantangan besar. Korban harus mampu membuktikan adanya hubungan kausal antara kebijakan pemerintah yang salah atau abai dengan kerugian yang mereka alami. Tantangan lainnya adalah akses terhadap bantuan hukum dan keberanian untuk melawan institusi negara yang biasanya dianggap memiliki posisi lebih kuat.

Perdebatan mengenai apakah negara dapat digugat dalam konteks bencana bukan hanya soal mencari pihak yang salah, melainkan soal membangun standar akuntabilitas baru dalam penanganan bencana di Indonesia. Tragedi yang berulang dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa pendekatan reaktif tidak lagi memadai. Gugatan publik dapat menjadi instrumen koreksi dengan tujuan agar negara lebih serius menerapkan tata kelola lingkungan yang berkelanjutan serta sistem peringatan dini yang berbasis data dan teknologi.

Momentum banjir di Sumatra 2025 dapat menjadi pengingat bahwa hukum tidak boleh berhenti pada teks undang-undang. Ia harus menjadi alat untuk memastikan negara hadir secara nyata, menjalankan fungsi perlindungan terhadap warganya, bukan hanya melalui pernyataan atau prosedur administratif. Jika hukum dimaknai sebagai alat untuk menghadirkan keadilan, maka proses menggugat negara bukan tindakan melawan, tetapi upaya menegakkan prinsip bahwa keselamatan publik bukan pilihan kebijakan, melainkan kewajiban hukum. (Penulis)

Iklan
Iklan