Oleh : Noorhalis Majid
Pemerhati Sosial Kemasyarakatan
Dapur gotong royong yang digagas PDI Perjuangan, seperti mengirim pesan wasiat, bahwa segala masalah, termasuk bencana dan kedukaan yang sedang melanda negeri ini, dapat diatasi secara bersama-sama melalui gotong royong. Bukankah kita punya nilai yang begitu luhur, yang diwariskan sejak dahulu kala oleh nenek moyang, yaitu gotong royong. Kenapa tidak dihidupkan nilai tersebut, sebagai wasiat yang layak dihidupkan dan kembangkan kembali.
Bukan hanya wasiat, gotong royong juga menyindir dengan keras praktik keserakahan, yang menyebabkan bencana alam datang tanpa pandang bulu. Kalau saja tidak serakah, dan semuanya didasari oleh gotong royong, pasti tidak ada bencana, pasti tidak ada eksploitasi yang membabi buta, dan tentu saja kesejahteraan akan terbagi rata secara adil.
Bentuk dapur gotong royong tersebut sebenarnya sangat sederhana, setiap tanggal 10, di semua kantor PDI Perjuangan di seluruh Indonesia, didirikan dapur umum untuk menjamu warga makan bersama. Terserah mau memasak berapa banyak sesuai kemampuan, yang pasti ada sajian makan gratis bagi warga, simbol kebersamaan dan gotong royong. Inti pesan dari kegiatan ini bukan sebatas makan gratis tersebut, tapi lebih jauh dari itu adalah kegotong royongan yang harus dihidupkan sedemikian rupa, di tengah individualisme, hedonime, dan bahkan pragmatisme, yang hanya mementingkan diri sendiri, tidak memedulikan orang lain.
Bisa dibayangkan, bila seluruh kantor PDI Perjuangan dari tingkat DPP, DPD, hingga DPC didirikan dapur gotong royong, termasuk di rumah-rumah petinggi partai yang sedang berkuasa, lalu dapur tersebut mengispirasi partai-partai lainnya untuk melakukan hal yang sama, lalu gotong royong sebagai pesan utama dari kegiatan ini diimplementasikan dalam berbagai tata kelola ekonomi, politik, sosial dan budaya, maka pasti akan ada perubahan mental yang siknifikan bagi bangsa Indonesia.
Kata Sukarno, gotong-royong adalah perasan dari Pancasila. Apabila gotong-royong mampu dihidupkan kembali dalam segala sendi kehidupan, maka Pancasila hakekatnya telah dipraktikkan di tengah kehidupan bangsa dan negara.
Pancasila tentu bukanlah rumusan rumit lagi berbelit, dia praktik keseharian sejati dari warga bangsa Indonesia. “Aku memerasnya dari bumi Indonesia”, begitu Sukarno memastikan bahwa Pancasila bukanlah sesuatu yang diimport dan didatangkan dari luar, namun justru digali dari bumi Indonesia itu sendiri.
Jadi mempraktikkan gorong royong melalui dapur yang menyuguhkan makanan pada setiap tanggal 10 di kantor-kantor PDI Perjuangan, bukan untuk berkampanye atau menarik simpatik dan elektabilitas. Lebih prinsif dan mendasar dari kegiatan itu semua, adalah untuk menghidupkan satu nilai yang teramat berharaga, karena menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Pancasila.
Di berbagai budaya di Indonesia, nilai gotong royong terungkap dalam banyak kata. Termasuk di tanah Banjar sendiri, gotong royong ada pada paribasa dan ungkapan Banjar, sebagai satu nasehat dan pesan yang begitu penting. Terdapat ungkapan “Gawi Sabumi”, yang menggambarkan semangat untuk mengerjakan sesuatu yang besar secara bersama-sama. Jangankan yang kecil, hal besar dan berat pun, dapat dituntaskan bila dikerjakan secara bersama, itulah pesan yang disampaikan pada ungkapan Gawi Sabumi.
Juga ada ungkapan “Kayuh Baimbai”. Bahkan menjadi motto bagi kota Banjarmasin, sayangnya kurang begitu diresapi. Memberikan pesan, bahwa semua harus bekerja secara bersama-sama, jangan ada yang berpangku tangan dan ingin enaknya saja. Kalau semua bekerja, dan bekerja untuk semua, pasti segala hal dapat dicapai. Seperti perahu yang dikayuh secara bersama, maka akan cepat sampai ditujuan.
Pun ada ungkapan “Baramu Galam”, satu kerja kebersamaan yang awalnya menggambarkan kerja berkelompok mengumpulkan dan mengolah kayu bakar untuk acara hajatan di suatu kampung. Memberi pesan bahwa segala hajatan besar, dapat dipikul bersama secara setara dan adil. Dalam baramu galam, ada ketulusan dan kesetaraan, sehingga lahir semangat untuk saling tolong menolong.
Ungkapan-ungkapan itu hanya kata lain dari gotong-royong. Prinsip dan nilainya sama, yaitu perlunya kebersamaan yang tulus dan tidak menang sendiri. Bangsa ini telah kehilangan nilai yang begitu luhur, mana kala gotong royong sudah tidak menjadi napas dan praktik kehidupan bermasyarakat.
Seandainya ekonomi bangsa ini dibangun dengan prinsip gotong royong, maka koperasi pasti benar-benar menjadi hajat hidup perekonomian bangsa. Sayangnya koperasi hanya menjadi pemanis, sekedar renda pada baju, bukan baju itu sendiri. Ekonomi tetap dibangun berdasarkan prinsip kapitalisme, yang mementingkan para pemodal, dan pemodal itu sendiri dimanjakan oleh sistem ekonomi yang serakah lagi tidak adil, sehingga hanya memudahkan segelintir orang berkuasa, bukan semua warga anak bangsa.
Kalau berani, coba hidupkan koperasi dengan sebenar-benarnya, seperti cita-cita Bung Hatta. Bukan sekedar gagah-gahan dalam bentuk koperasi merah putih. Dimulai dari mengubah semua BUMN menjadi koperasi, dilanjutkan dengan mengubah BUMD juga menjadi koperasi, lakukan di seluruh pelosok negeri, dan anggota dari koperasi tersebut adalah seluruh warga Indonesia. Kalau itu bisa dilakukan, maka segala keuntungan yang didapat semua BUMN dan BUMD yang tersebar di seluruh pelosok negeri, akan dinikmati segenap warga Indonesia, dan pada saat itu, kesejahteraan bersama yang menjadi cita-cita bangsa akan segera terwujud.
Sebenarnya, semudah itu mewujudkan kesejahteraan bersama, kalau mau. Hanya saja, elit bangsa ini tidak akan mau. Sebabnya karena serakah. Dan keserakahan tersebut karena tidak pernah menganggap gotong royong sebagai satu nilai yang harus dirawat dan dihidupkan secara bersama, menjadi urat nadi perekonomian bangsa.
Bung Hatta berulang kali meyakinkan soal pentingnya tulang punggung ekonomi bangsa, namun Orde Baru mengubahnya menjadi kapitalisme, yang hanya menghidupi para penguasa, bukan seluruh warga bangsa.
Kalau dapur gotong royong yang digagas PDI Perjuangan benar-benar diresapi, maka sesungguhnya dia sedang mengirim pesan perlawanan, pada praktik keserakahan yang tidak pernah mau memedulikan kondisi bangsa. Termasuk buah bencana alam akibat dari keserakahan pengelolaan sumber daya.













