Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Hedonisme Versus Sufi Berdasi

×

Hedonisme Versus Sufi Berdasi

Sebarkan artikel ini
Ahmad Barjie B
Ahmad Barjie B

Oleh : Ahmad Barjie B
Pemerhati Masalah Sosial Keagamaan

Beberapa tahun lalu, Ketua KPK Busyro Muqaddas dalam posisinya sebagai akademisi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta menyatakan, banyak pejabat sekarang, termasuk wakil rakyat bergaya hidup hedonis, suka tampil mewah dan menyenangi hal-hal yang serba mewah bahkan ada yang hobi belanja di luar negeri.

Kalimantan Post

Pernyataan ini mendapat reaksi dari Ketua DPR Marzuki Ali dan sebagian anggota DPR. Priyo Budi Santoso dari F-PG begitu juga Pramono Anung dari F-PDIP tidak setuju dengan statemen Busyro. Menurut mereka hal itu tak bisa digeneralisasi untuk semua anggota DPR, sebab banyak dari mereka masih hidup sederhana, bahkan masih punya utang. Modal talangan ketika berkompetisi dalam pemilu legislatif ataupun eksekutif belum lagi lunas. Yang tampil mewah paling 10 persen.

Ahsanul Qosasi dari F-PD mendukung pernyataan Busyro. Menurutnya, Gedung DPR-RI Senayan selama ini memang cenderung menjadi arena show room mobil mewah. Ahsanul sangat tidak setuju dan merasa risih dengan fenomena ini. Baginya, posisi sebagai wakil rakyat seharusnya benar-benar mewakili rakyat. Keterwakilan tak sekadar aspirasi, tapi juga kesederhanaan hidup. Kiprah di DPR bukan gayanya, tapi tugasnya memperjuangan nasib dan aspirasi rakyat. Masa rakyat susah, wakilnya hidup mewah, ujarnya. Rekan sefraksinya, Soetan Batoegana (alm) juga berpendapat, jika para wakil rakyat tampil apa adanya, misalnya dengan hidup mewah, akan mengundang reaksi dan kecurigaan rakyat, ada apanya dengan anggota DPR.

Tetapi Bambang Soesatyo, salah satu pemilik mobil mewah Bentley Continental GT seharga Rp7 miliar menolak tudingan miring tersebut. Mobil yang tidak setiap hari dipakainya itu sudah dibeli sebelum menjadi anggota DPR-RI dan sudah dimasukkan dalam laporan harta kekayaan. Baginya, hidup harus apa adanya, karena rezeki sudah ada yang mengatur. Tidak perlu berpura-pura kaya atau berlagak miskin untuk meraih simpati rakyat. Yang penting banyak bersedekah, tidak korupsi dan terus mengabdi untuk rakyat.

Ketua DPP Partai Golkar Aboerizal Bakri mengatakan kepemilikan mobil mewah sebenarnya wajar, asalkan tidak diperoleh melalui korupsi. Meski begitu ia tetap menganjurkan kadernya agar tidak memakai mobil mewah terutama saat ke kantor.

Relativitas ukuran

Jika kita buka kamus, hedonis/hedonisme berarti pandangan dan gaya hidup yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama. Melihat kontroversi pernyataan dan pendapat di atas, tampak persoalan kekayaan dan kemewahan sangat relatif. Kekayaan yang ditampilkan secara kasat mata bisa merupakan hal yang wajar bagi pemiliknya, dan bisa pula menjadi tidak wajar di mata orang yang melihatnya.

Baca Juga :  Banjarmasin Laksana “Anak Punai Rajawali’”

Kita tahu, rezeki orang berbeda-beda, ada yang sangat kaya, kaya, sedang dan serba kekurangan. Ini sudah sunnatullah dan tak terhindarkan dalam realitas kehidupan. Justru dari situ kita harus saling tolong menolong, supaya kekayaan mengalir dan mendatangkan kemaslahatan bagi banyak orang.

Memang masih ada wakil rakyat yang punya utang. Ikut pemilu legislatif butuh modal besar. Mengapa selama ini posisi ketua dan pengurus inti partai cenderung diperebutkan, baik di pusat maupun di daerah, bolah jadi terkait dengan itu. Dengan duduk di posisi kunci partai, maka partai itu nantinya akan laku dijual atau disewakan saat pilkada. Uang sewa dari para calon kepala daerah lebih memungkinkan untuk bayar utang dan menambah kekayaan ketimbang gaji bulanan sebagai anggota DPR/DPRD. Apakah hal itu boleh atau tidak, itu urusan lain.

Pemilu eksekutif juga demikian, pasti butuh modal besar. Menyewa partai, membiayai tim sukses hingga kampanye menarik simpati rakyat, nyaris tak terpisahkan dari materi dan uang. Bisa saja mereka punya utang, dan untuk menggantinya harus punya penghasilan lain di luar gaji. Setelah berhasil ada yang ingin merasakan nikmatnya lebih daripada biasanya.

Tetapi di mata rakyat, tetap saja banyak pejabat dan wakil yang tampil mewah. Setelah menjabat hidupnya mengalami perubahan drastis. Inilah yang sering menimbulkan kecurigaan dan kecemburuan. Seandainya dari awal sudah kaya, biasanya rakyat tak mempersoalkan. Bahkan tak sedikit yang tampak lebih kaya sebelum menjadi pejabat ketimbang sesudahnya. Saat menjabat ia juga suka tampil sederhana dan banyak menolong orang. Tipe begini biasanya tidak dipersoalkan dan selalu didukung.

Mengutamakan Rakyat

Penting sebenarnya adalah perjuangan memperbaiki hidup rakyat yang diwakili atau rakyat yang dinaungi. Perjuangan dapat dilakukan dalam bentuk: Pertama, berbuat maksimal dan gigih untuk rakyat. Dari situ diharapkan taraf hidup rakyat meningkat. Kalau rakyat sejahtera, pejabat kaya tak akan dipersoalkan. Ada posisi yang tak terlalu senjang antara rakyat dengan pejabat atau para wakilnya. Yang terjadi sekarang, pejabat dan wakil rakyat tidak berbuat maksimal untuk rakyat, bahkan terjadi banyak korupsi yang mengebiri hak rakyat. Yang menonjol justru tampilan mewahnya, bukan pengabdiannya. Akibatnya kesenjangan menganga, rakyat bereaksi, kesal dan kecewa.

Kedua, pejabat dan wakil rakyat yang memililiki kelebihan harta/rezeki hendaknya langsung membantu rakyat, baik melalui sedekah (ikan) maupun membuka lapangan kerja (kail) melalui usaha kecil, menengah atau besar yang banyak menyerap tenaga kerja. Tentu lewat tangan orang lain agar tidak mengganggu tugas dinasnya. Dengan begitu ia langsung berbuat tanpa menunggu realisasi program dari pemerintah yang biasanya berlangsung alot dan lama.

Baca Juga :  Urgensi Soft Skill bagi Mahasiswa Menuju Kepemimpinan yang Berkualitas

Uang miliran rupiah untuk membeli rumah atau mobil, sangat berguna jika digunakan membuka dan mengembangkan sektor riil padat karya. Meski tak semua sektor riil menjanjikan keuntungan, minimal membuka lapangan kerja. Kalau kelebihan harta disimpan itu tak banyak gunanya, apalagi dibelikan barang mewah, itu bisa menyakiti hati rakyat. Diperlukan pengendalian diri selama memegang jabatan publik. Berbeda dengan pengusaha swasta yang kaya, asal tidak mengeksploitasi alam yang merugikan orang banyak, tak mengapa tampil agak mewah.

Ketiga, sederhana dalam penampilan. Hal ini juga penting agar tak ada jarak antara pejabat dengan rakyatnya, antara wakil dengan konstituennya. Selama ini ada kesan, saat mencalonkan diri mereka dekat dengan rakyat. Giliran sudah jadi mulailah menjauhi rakyat. Sulit ditemui, nomor hp-nya berganti-ganti, dan selalu sibuk kunjungan ke luar daerah dan luar negeri yang tak ada hubungannya dengan amanah menyejahterakan rakyat. Akhirnya harapan rakyat memilih pejabat dan wakil yang akan memperjuangkan nasibnya tinggal impian kosong. Dan itu terus berlanjut hingga rakyat itu mati.

Terkait kesederhanaan ini, Dr Daod Rasyid mengenalkan istilah sufi berdasi. Maksudnya, para pejabat dan pengusaha seyogianya memiliki sikap zuhd, yaitu tidak memasukkan harta sampai ke hati. Harta hanya sebatas di tangan, titipan Allah untuk digunakan secara benar. Harta ada atau tidak ada sama saja. Sikap zuhd ini pulalah yang mampu dipegang oleh beberapa sahabat Nabi yang tergolong konglomerat seperti Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, Abu Bakar al-Siddiq, Abu Thalhah dan masih banyak lagi. Menurut pakar ekonomi Islam Mohammad Antonio Syafii, kekayaan mereka itu jika dinilai dengan rupiah saat ini mencapai triliunan rupiah per orang. Tetapi kebanyakan disedekahkan untuk agama dan tampilkan mereka tetap sederhana, sehingga tidak menimbulkan kecemburuan dan sorotan di masyarakat.

Kita harapkan pejabat atau pengusaha yang dianugerahi kekayaan melalui cara yang halal lebih banyak memberikan kontribusinya untuk rakyat. Boleh saja mereka tampil keren, berdasi, dengan rumah dan kendaraan yang layak, tetapi yang disumbangkan untuk rakyat harus lebih besar, karena inilah amal jariah yang akan bernilai abadi hingga alam akhirat. Jika kekayaan itu ditampakkan dalam tampilan fisik seperti pemilikan rumah gedung, mobil mewah, pakaian, perhiasan dan sejenisnya, kita khawatir akan mencederai rasa keadilan rakyat yang umumnya masih dililit kemiskinan dan kesulitan hidup.

Iklan
Iklan