Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Kapitalisasi Air: Potret Ketamakan Kapitalis dan Solusi Islam

×

Kapitalisasi Air: Potret Ketamakan Kapitalis dan Solusi Islam

Sebarkan artikel ini

Oleh : Nor Aniyah, S.Pd
Penulis, Pemerhati Masalah Sosial dan Generasi

Maraknya pemberitaan tentang dugaan penggunaan air sumur tanah dalam oleh produsen air minum dalam kemasan (AMDK) merek Aqua, kembali membuka tabir suram praktik kapitalisasi sumber daya alam di negeri ini. Kasus yang mencuat setelah inspeksi mendadak anggota DPR, Dedi Mulyadi, ke pabrik Aqua Subang pada Rabu, 22 Oktober 2025, menunjukkan bahwa air yang digunakan perusahaan tersebut ternyata berasal dari sumur bor, bukan dari sumber mata air pegunungan sebagaimana yang diklaim dalam iklan. Dalam video yang diunggah di akun Instagram Dedi, pihak perusahaan bahkan mengakui bahwa air yang digunakan “berasal dari bawah tanah, bukan air permukaan.” (tempo.co).

Kalimantan Post

Pendiri Indonesia Halal Watch (IHW), Ikhsan Abdullah, menegaskan bahwa jika benar perusahaan mengganti bahan baku air yang diajukan saat mengurus izin edar BPOM dan sertifikasi halal ke MUI atau BPJPH, maka hal itu dapat berimplikasi hukum serius. Produsen dapat dikenai sanksi berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, termasuk pencabutan izin edar, pembatalan sertifikasi halal, dan penarikan iklan dari ruang publik (mediaindonesia.com).

Fakta ini menggambarkan bagaimana air, yang merupakan hak dasar setiap manusia, telah diperlakukan layaknya komoditas ekonomi yang bisa diklaim, dimiliki, bahkan dieksploitasi oleh korporasi besar demi keuntungan semata. Ketika paradigma ekonomi berlandaskan asas kapitalisme, seluruh aspek kehidupan, termasuk air yang menjadi sumber kehidupan, dikalkulasi dalam nilai uang. Maka, orientasi perusahaan bukan lagi kemaslahatan publik, melainkan laba sebesar-besarnya, tanpa memperhitungkan dampak ekologis dan sosial yang ditimbulkan.

Eksploitasi air tanah dalam berskala besar, seperti praktik pengeboran akuifer oleh industri AMDK, menimbulkan kerusakan ekologis yang nyata. Penurunan muka air tanah, hilangnya mata air di sekitar lokasi pabrik, hingga amblesan tanah dan potensi longsor adalah risiko yang tak terhindarkan. Dedi Mulyadi bahkan menegaskan dalam video sidaknya, “Ngefek enggak sih buat lingkungan? Atau nunggu longsor?” Pertanyaan retoris itu seolah menggambarkan ketidakberdayaan masyarakat di sekitar sumber daya yang mestinya menjadi hak bersama.

Baca Juga :  Pendidikan Emas atau Cemas?

Fenomena ini memperlihatkan ketimpangan yang akut antara kepentingan korporasi dan kesejahteraan rakyat. Masyarakat sekitar pabrik seringkali mengalami kekeringan dan kesulitan air bersih, sementara perusahaan mampu memproduksi jutaan liter air setiap hari untuk dijual ke seluruh negeri. Inilah wajah nyata sistem kapitalisme: sistem yang menjadikan kekayaan alam sebagai alat akumulasi modal, bukan kesejahteraan bersama. Lemahnya regulasi dan penegakan hukum hanya memperkuat cengkeraman oligarki ekonomi atas sumber daya vital bangsa.

Dari perspektif Islam ideologis, praktik seperti ini adalah bentuk pelanggaran terhadap prinsip kepemilikan dalam Islam. Air termasuk kategori milkiyyah ‘ammah (kepemilikan umum) yang tidak boleh dikuasai individu atau korporasi. Rasulullah SAW bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud). Artinya, air adalah milik bersama umat, dan negara berkewajiban mengelolanya demi kemaslahatan rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir pihak.

Dalam sistem Islam, negara tidak berperan sebagai regulator pasif sebagaimana dalam sistem kapitalis, melainkan sebagai pengelola aktif yang bertanggung jawab penuh terhadap pemanfaatan sumber daya alam. Negara bertugas menjaga agar air dapat diakses seluruh rakyat secara adil dan gratis, serta melarang segala bentuk monopoli. Keuntungan dari pengelolaan air bukan untuk memperkaya pejabat atau korporasi, melainkan untuk membiayai kepentingan publik, seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.

Islam juga menolak segala bentuk penipuan dan manipulasi dalam perdagangan. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa menipu, maka ia bukan dari golonganku.” (HR. Muslim). Jika benar perusahaan mengganti bahan baku air tanpa transparansi, maka tindakan itu termasuk dalam kategori penipuan (gharar) dan merugikan konsumen. Dalam sistem Islam, pelaku kecurangan semacam ini akan dikenai sanksi yang tegas dan setimpal, bukan sekadar peringatan administratif, karena mereka telah melanggar hak publik.

Selain itu, Islam memandang pengelolaan lingkungan sebagai bagian dari amanah kekhalifahan manusia di bumi. Allah SWT berfirman, “Dialah yang menjadikan kamu khalifah di bumi…” (QS. Fathir [35]: 39). Eksploitasi berlebihan terhadap air tanah hingga merusak keseimbangan ekologis berarti mengkhianati amanah tersebut. Dalam sistem Islam, kebijakan pengelolaan sumber daya harus berpijak pada prinsip keberlanjutan (istidâmah) dan keadilan antar generasi, bukan sekadar kepentingan ekonomi sesaat.

Baca Juga :  Urgensi Soft Skill bagi Mahasiswa Menuju Kepemimpinan yang Berkualitas

Kegagalan sistem kapitalis dalam mengelola air hanyalah satu dari sekian banyak bukti bahwa sistem ini tidak berpihak pada manusia maupun alam. Ketika hukum dibuat berdasarkan kepentingan modal, rakyat akan selalu berada di posisi dirugikan. Air yang seharusnya menjadi hak dasar justru dijadikan sumber laba. Perusahaan diuntungkan, rakyat dirugikan, dan lingkungan rusak. Pola semacam ini telah terjadi berulang kali dalam berbagai sektor, mulai dari tambang, energi, hingga pangan.

Islam sebagai sistem hidup yang sempurna menawarkan solusi yang holistik. Dalam kerangka sistem Islam ideologis, pengelolaan sumber daya alam bukan sekadar masalah ekonomi, tetapi masalah akidah dan tanggung jawab syar’i. Negara yang menerapkan syariat Islam secara kaffah akan memastikan bahwa setiap kebijakan pengelolaan air berpihak pada rakyat dan sesuai dengan hukum Allah SWT. Dalam sejarah peradaban Islam, seperti masa Khalifah Umar bin Khaththab, pengelolaan air dilakukan dengan adil tanpa memungut bayaran dari masyarakat. Air menjadi fasilitas umum yang disediakan negara sebagai bentuk pelayanan, bukan komoditas dagang.

Maka, solusi atas persoalan kapitalisasi air tidak bisa diselesaikan dengan revisi regulasi atau sanksi hukum semata. Akar masalahnya terletak pada sistem ekonomi kapitalis yang sekuler dan liberal, yang menempatkan keuntungan di atas nilai moral. Solusi sejati adalah mengganti paradigma ini dengan sistem Islam ideologis yang menjadikan syariat sebagai dasar pengaturan seluruh aspek kehidupan. Hanya dengan penerapan Islam secara kaffah, air akan kembali menjadi sumber kehidupan dan keberkahan bagi seluruh umat manusia, bukan alat eksploitasi para pemilik modal.[]

Iklan
Iklan