Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Kegagalan Implementasi Kebjiakan Mobil Esemka sebagai Ikon Nasional

×

Kegagalan Implementasi Kebjiakan Mobil Esemka sebagai Ikon Nasional

Sebarkan artikel ini
IMG 20251222 180937
*) Dr Mungin, SPd, MA - Dosen Program Pascasarjana Magister Administrasi Publik, Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al-Banjari.

Oleh : Dr Mungin, S.Pd, MA *)

GAGASAN tentang “mobil nasional” selalu menyulut api semangat kemandirian industri di Indonesia. Mobil Esemka pernah dielu-elukan sebagai perwujudan mimpi, sebuah kendaraan hasil kreasi anak bangsa, dimulai dari bengkel-bengkel Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan didukung penuh secara politik.

Kalimantan Post

Namun, berberapa tahun kemudian, proyek ambisius itu lebih banyak dikenang sebagai sebuah kegagalan dari pada keberhasilan.

Lantas, apa yang sebenarnya terjadi? Analisis mendalam mengungkap kegagalan Esemka bukan disebabkan oleh satu hal saja, melainkan oleh kombinasi empat faktor kritis yang saling berkait.

Pertama Kelemahan Teknis yang Mendasar.

Di balik slogan “buatan Indonesia”, realitas produksi mobil Esemka justru bergantung pada komponen impor dalam jumlah besar, mulai dari mesin, transmisi, hingga suku cadang elektronik. Model produksinya lebih mirip perakitan (completely knocked down/CKD) ketimbang manufaktur yang mandiri. Ketergantungan ini membuat biaya produksi membengkak dan produk akhir tidak kompetitif.

Yang lebih fundamental, proyek ini tidak didukung oleh fondasi Riset dan Pengembangan (R&D) yang kuat untuk menguasai teknologi inti. Alih-alih menciptakan mobil yang unggul, Esemka gagal memenuhi standar kualitas, keandalan, dan keamanan yang ditetapkan oleh pasar dan pesaing global yang telah mapan.

Kedua Kebijakan “Setengah Hati” dan tidak Konkret”

Dukungan pemerintah terhadap Esemka lebih banyak berhenti pada wacana dan simbolisme politik, tanpa diikuti kerangka regulasi yang efektif. Tidak ada insentif fiskal yang signifikan—seperti subsidi produsen atau keringanan pajak bagi konsumen—yang mampu membuat harga Esemka menarik.

Selain itu, tidak ada “proteksi sementara” yang diberikan untuk melindungi industri bayi ini di fase awal, sebagaimana dilakukan Malaysia terhadap Proton. Pasar otomotif Indonesia justru dibiarkan sangat terbuka, memaksa Esemka yang masih lemah harus langsung berhadapan dengan raksasa-raksasa otomotif dunia tanpa pelindung. Kebijakan yang tidak komprehensif ini membuat Esemka seperti bayi yang dilepas berenang di laut lepas.

Baca Juga :  Tawakal dan Istighfar

Ketiga Manajemen Proyek yang Ambigu dan tidak Terintegrasi.

Gagasan melibatkan SMK sebagai mitra produksi, meski mulia, justru menjadi bumerang dalam hal manajemen. Koordinasi antara pemerintah (sebagai inisiator), industri swasta (sebagai pemilik keahlian produksi massal), dan dunia pendidikan (SMK) sangatlah lemah.

Setiap SMK bekerja secara parsial tanpa standarisasi dan kontrol kualitas terpusat, menghasilkan produk yang tidak konsisten. Tidak ada kepemimpinan proyek yang kuat untuk menyatukan visi dan eksekusi. Akibatnya, proyek berjalan tanpa peta jalan produksi, target pasar, dan rencana bisnis yang jelas, lebih menyerupai proyek percontohan daripada industri serius.

Keempat Ketidakmampuan Membaca Realitas Pasar

Pada akhirnya, Esemka gagal karena tidak memiliki daya saing di pasar yang sesungguhnya. Sebagai pendatang baru, ia harus melawan kepercayaan (trust) puluhan tahun yang telah dibangun merek-merek seperti Toyota, Honda, atau Suzuki. Esemka tidak menawarkan harga yang jauh lebih murah atau nilai lebih yang signifikan. Ketergantungan impor membuat biaya tetap tinggi, sementara produksi dalam volume rendah membuatnya tidak mencapai skala ekonomi. Konsumen yang rasional akan memilih mobil dengan jaringan bengkel luas, ketersediaan suku cadang, dan nilai jual kembali yang terjamin.

Dengan kata lain, cita-cita memiliki industri otomotif nasional yang mandiri harus dibangun di atas fondasi keunggulan kompetitif yang nyata, kolaborasi cerdas, dan strategi yang sesuai dengan peluang zaman, bukan sekadar romantisme dan ambisi politik semata. Kegagalan Esemka adalah pengingat pahit bahwa jalan menuju kemandirian industri memerlukan perencanaan yang matang, eksekusi yang solid, dan kesediaan untuk belajar dari kesalahan.

*) Dr Mungin, SPd, MA merupakan dosen Program Pascasarjana Magister Administrasi Publik, Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al-Banjari.

Iklan
Iklan