Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Ketika Perempuan Menjaga Pengetahuan

×

Ketika Perempuan Menjaga Pengetahuan

Sebarkan artikel ini

(Momentum Hari Ibu Nasional 2025)

Oleh : Nor Hasanah, S.Ag, M.I.Kom.
Pustakawati UIN Antasari Banjarmasin

Di tengah dunia yang kian gaduh oleh informasi, ada sekelompok penjaga yang bekerja dalam senyap. Mereka tidak selalu tampil di panggung utama diskursus publik, tidak pula menjadi figur viral di media sosial. Namun dari ruang-ruang kelas, perpustakaan, rumah, dan komunitas, merekalah yang memastikan pengetahuan tidak tercerabut dari akarnya. Mereka adalah perempuan penjaga pengetahuan lintas generasi.

Kalimantan Post

Pada momentum Hari Ibu Nasional 22 Desember 2025, dengan tema “Perempuan Berdaya dan Berkarya, Menuju Indonesia Emas 2045”, penting untuk meninjau kembali peran strategis perempuan dalam menjaga, merawat, dan meneruskan pengetahuan di tengah disrupsi digital yang semakin kompleks. Sebab, masa depan bangsa tidak hanya ditentukan oleh seberapa cepat teknologi berkembang, tetapi oleh siapa yang menjaga makna, nilai, dan kebenaran di baliknya.

Di tengah banjir informasi hoaks, disinformasi, konten dangkal, dan manipulasi algoritma pengetahuan menjadi rapuh. Tanpa penjaga, ia mudah terdistorsi, dipelintir, bahkan disalahgunakan. Di sinilah peran perempuan menjadi krusial. Dalam banyak lapisan kehidupan, perempuan hadir sebagai penyaring pertama, penafsir, dan penjaga kesinambungan pengetahuan.

Penjaga Pengetahuan Sejak Rumah

Rumah adalah ruang literasi pertama, dan perempuan sering kali menjadi aktor utamanya. Melalui cerita, dialog, kebiasaan membaca, dan teladan berpikir, perempuan menanamkan fondasi pengetahuan sejak dini. Anak belajar bukan hanya dari buku, tetapi dari cara ibu menanggapi informasi, menyikapi berita, dan mengambil keputusan.

Era digital sering menyamakan pengetahuan dengan informasi. Padahal keduanya berbeda. Informasi adalah data mentah yang bertebaran di layar gawai; pengetahuan adalah hasil olah nalar, pengalaman, dan nilai. Informasi bisa viral, tetapi pengetahuan membutuhkan waktu, kesabaran, dan pendampingan.

Baca Juga :  Beratnya Tantangan Ekonomi, Pemerintah Cenderung “Acuh Kada Bagaduh”

Di era digital, peran ini semakin menantang. Perempuan terutama ibu tidak hanya berhadapan dengan gawai, media sosial, dan kecerdasan buatan yang menjadi “guru kedua” bagi anak-anak, tetapi juga harus enjaga pengetahuan anak-anaknya yang berarti juga menjaga cara berpikir anak agar tidak mudah terseret arus viralitas tanpa nalar.

Di sinilah perempuan berperan sebagai penjaga batas yang mampu menjelaskan mana informasi yang patut dipercaya, mana yang perlu dipertanyakan, dan mana yang sebaiknya dihindari.

Perempuan di Ruang Publik Pengetahuan

Di luar rumah, perempuan hadir dalam berbagai profesi yang berkaitan langsung dengan pengelolaan dan transmisi pengetahuan: guru, dosen, pustakawan, peneliti, arsiparis, penulis, dan pegiat literasi. Namun kontribusi ini sering dianggap sebagai kerja “pendukung”, bukan kerja strategis.

Ambil contoh pustakawan perempuan. Di banyak perpustakaan, merekalah yang menjadi tulang punggung layanan informasi. Di era digital, peran mereka meluas: dari pengelola koleksi menjadi kurator pengetahuan, pendidik literasi informasi, dan penjaga etika penggunaan sumber digital. Mereka membimbing masyarakat agar tidak sekadar mengakses informasi, tetapi mampu menilai kredibilitasnya.

Sayangnya, kerja intelektual perempuan di bidang ini kerap berlangsung dalam sunyi. Ia jarang dihitung sebagai kontribusi pembangunan, padahal tanpanya, kualitas sumber daya manusia akan rapuh.

Tantangan terbesar penjagaan pengetahuan hari ini bukan lagi keterbatasan akses, melainkan distorsi makna. Algoritma media sosial dan mesin pencari bekerja berdasarkan popularitas dan keterlibatan, bukan kebenaran atau kedalaman. Konten yang emosional dan provokatif lebih mudah tersebar dibanding pengetahuan yang reflektif.

Dalam situasi ini, perempuan sering menjadi benteng terakhir. Mereka yang mengingatkan untuk tidak menelan mentah-mentah informasi, mengajarkan pentingnya sumber tepercaya, dan menanamkan etika berpikir kritis. Perempuan menjaga agar pengetahuan tidak kalah oleh kebisingan.

Baca Juga :  Perempuan Sebagai Poros Literasi Digital(Refleksi Hari Ibu Nasional 2025)

Namun tugas ini tidak ringan. Dibutuhkan literasi digital yang kuat, akses terhadap pelatihan, serta dukungan kebijakan agar perempuan mampu menjalankan peran penjagaan ini secara berkelanjutan.

Menjaga Pengetahuan

Menjaga pengetahuan bukan pekerjaan teknis semata; ia adalah kerja peradaban. Ia menuntut ketekunan, empati, dan tanggung jawab lintas generasi terhadap nilai-nilai yang selama ini dilekatkan pada pengalaman perempuan.

Indonesia Emas 2045 membutuhkan generasi yang tidak hanya cakap teknologi, tetapi juga matang secara intelektual dan etis. Generasi seperti ini tidak lahir dari ruang digital yang liar, tetapi dari ekosistem literasi yang terawat. Di sanalah perempuan memainkan peran sentral.

Ketika perempuan diberdayakan dalam dunia literasi dan pengetahuan, dampaknya bersifat multiplikatif: keluarga lebih kritis, komunitas lebih sadar informasi, dan masyarakat lebih tahan terhadap manipulasi.

Ketika perempuan menjaga pengetahuan, mereka sedang menjaga masa depan. Mereka mungkin tidak selalu berada di pusat sorotan, tetapi merekalah yang memastikan bahwa bangsa ini tidak kehilangan arah di tengah derasnya arus informasi.

Hari Ibu Nasional 2025 seharusnya menjadi momen untuk melihat peran perempuan secara lebih utuh: bukan hanya sebagai simbol pengorbanan, tetapi sebagai penjaga intelektual dan moral bangsa. Indonesia Emas 2045 tidak akan lahir dari teknologi semata, melainkan dari pengetahuan yang dijaga dengan kesadaran, empati, dan kebijaksanaan. Dan selama perempuan terus menjaga pengetahuan, harapan masa depan bangsa tetap menyala.

Iklan
Iklan