Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Menakar Spiritualitas Ekologi

×

Menakar Spiritualitas Ekologi

Sebarkan artikel ini
IMG 20250111 WA0003
Noorhalis Majid

oleh: Noorhalis Majid
Pemerhati Lingkungan

SEPERTI biasa, tiap akhir tahun, LK3 Banjarmasin menyelenggarakan refleksi. Tahun ini diliputi kesedihan yang teramat sangat, sebabnya di sejumlah wilayah sedang dilanda bencana alam. Yang paling parah tentu saja bencana Sumatera. Melanda tiga provinsi sekaligus, yaitu Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Aceh. Suatu bencana yang tidak akan terlupakan karena menenggelamkan kampung-kampung, menelan korban, menewaskan ribuan warga yang tak berdosa.

Kalimantan Post

Sejumlah kawan di wilayah tersebut mengaku, warga tidak pernah menduga becana seperti itu akan terjadi. Selama ini yang diwaspadai hanya bencana tsunami dan gempa bumi, karena itulah yang kerap terjadi. Tidak terbayangkan bencana dalam bentuk air bah yang datang dari gunung. Bahkan dari sungai-sungai purba yang selama ini sudah dianggap mati karena tidak dialiri air lagi.

Di Kalimantan Selatan juga kembali mengalami banjir, terutama di wilayah Tabalong dan Balangan, semoga saja tidak separah ketika Januari 2021. Waktu itu, hampir sebagian besar dari Kalimantan Selatan terendam. Di sejumlah titik, bukan saja calap, tapi “lamas” hingga atap bubungan rumah.

Semua peristiwa tersebut menimbulkan satu pertanyaan, adakah dalam pikiran dan kepala umat yang mengaku beriman ini pandangan tentang spiritualitas ekologi? Apakah spiritualitas selama ini hanya terfokus pada hubungan dengan Tuhan dan hubungan dengan sesama manusia? Lantas, bagaimana hubungan dengan alam sekitar? Dengan lingkungan? Dengan hutan, gunung, laut, dan segala yang menggambarkan kuasa Tuhan.

Bukankah sering diungkapkan, seluruh alam raya ini merupakan ayat-ayat Tuhan. Bahkan dikatakan sebagai gambar Tuhan, dan gambar Tuhan itu pasti sempurna adanya.

Kalau demikian, kenapa dirusak? Bukankah merusak alam berarti merobek-robek kitab Tuhan yang terbentang luas? Akankah berarti merusak gambar Tuhan? Tuhan sendiri sudah memperingatkan, begitu sempurnanya alam raya diciptakan dan diberikan amanah kepada manusia untuk dikelola, bila ada kerusakan maka pasti ulah tangan manusia.

Berlatar belakang itulah, refleksi tahun ini LK3 Banjarmasin memilih tema tentang “spiritualitas ekologi”. Narasumbernya bukanlah tokoh-tokoh senior, melainkan agamawan muda yang sangat kritis dari tiga agama, yaitu Islam, Kristen dan Buddha.

Baca Juga :  KETENANGAN

Khairullah Zainuddin, ustadz muda yang didaulat mewakili Islam, mengutarakan bahwa manusia diturunkan sebagai khalifah, yang berarti pengelola, bukan pemilik. Semakin mampu mengelola alam ini, semakin berhasil perannya sebagai khalifah. Sayangnya kemudian manusia merasa sebagai pemilik alam, sehingga sesuka hati mengekspolitasi, dan akibatnya tidak ada lagi kesetaraan hubungan antara manusia dengan alam. Padahal, alam dan manusia, sejatinya setara, sesama ciptaan Tuhan yang saling membutuhkan satu dengan lainnya. Sebabnya karena ‘at-takatsur”, suka bermegah-megahan. Tidak mau hidup sederhana. Hidup dengan memperturutkan hawa nafsu, sehingga alam raya yang semestinya cukup untuk semua makhluk, habis hanya untuk segelintir yang serakah.

Yeli, agamawan muda dari Buddha, menyimpulkan bahwa segala kerusakan yang terjadi terhadap alam, dimulai dari cara pandang manusia terhadap alam itu sendiri. Cara pandang yang tidak adil dan tidak setara, seolah semuanya berpusat pada manusia, sehingga dengan gampang melupakan alam. Kalau ingin mengubahnya, maka ubahlah cara berpikir manusia, sebab pikiran memimpi tindakan. Pikiran yang tidak adil pada alam, melahirkan tindakan yang juga eksploitatif.

Pendeta muda, Lia Afriliani, mewakili Kristen Protestan, mengatakan bahwa secara teologi sudah sangat tegas bahwa alam ini adalah gambar Tuhan, dan gambar itu baik adanya. Tinggal praktiknya, bagaimana manusia dapat menyelaraskan hubungan dengan alam. Praktik kecil semisal tidak menggunakan plastik, tidak mencemari udara dengan knalpon kendaraan, adalah hal-hal kecil yang mencerminkan kepedulian terhadap lingkungan dan mengasah keselarasan hubungan dengan alam. Sudahkah kita melatih hal-hal kecil di lingkungan masing-masing? Tidak membuang sampah ke sungai. Menanam pohon atau bunga yang bermanfaat bagi kelestarian lingkungan. Dan berbagai hal kecil yang mestinya dapat dilakukan oleh semua orang, agar bumi dan lingkungan ini semakin bertambah baik.

Peserta yang hadir dalam refleksi tersebut tidak kurang 30 orang. Masing-masing mengutarakan pandangannya terkait spiritualitas ekologi. Peserta dari Katolik, mengutarakan tentang pandangan Paus Fransiskus dalam eksikliknya, Laudato Si, yang khawatir terhadap kerusakan lingkungan diakibatkan pola konsumsi manusia yang merusak dan sistem ekonomi yang tidak adil atas alam. Paus mengajak untuk melihat alam sebagai jaringan kehidupan yang saling terkait, bukan sekedar obyek sumber daya ekonomi yang terus dieksploitasi. Ia bahkan menyerukan pertobatan ekologi, sebagai langkah untuk memperbaiki kerusakan alam dan mengajak mendefinisikan ulang relasi antara manusia dengan alam agar lebih adil.

Baca Juga :  'Jangan Bersandar Kepada Manusia’

Sejumlah peserta lainnya ada yang bertanya, menggugat dan bahkan menyesalkan segala “kebodohan” manusia terhadap alam yang sudah terjadi. Kalau ada pertobatan ekologi, berarti ada dosa ekologi? Mungkinkah dosa ekologi dimaafkan hanya dengan beribadah, berdoa meminta ampun? Padahal kerusakan yang ditimbulkannya sudah menelan korban ribuan nyawa manusia, bahkan merusak bentang alam, merubah siklus hidup dan mematikan ekosistem?

Betapa sulitnya manusia menempatkan diri, karena para perusak lingkungan tersebut juga sudah berkontribusi terhadap agama-agama, sudah turut membangun masjid, mendirikan gereja, vihara, pure, kelenteng. Sudah turut berkontribusi membangun pesantren, sekolah agama. Bahkan tidak jarang juga turut menyelenggarakan peribadatan masal, mengundang tablik akbar, mimbar besar, dan turun ambil bagian dalam segala upacara keagamaan. Tidak jarang ikut memfalitasi para pemuka agama untuk beribadat dan memenuhi kebutuhan hidup secara layak.

Apakah yang dimaksud pertobatan ekologi itu berarti meninggalkan semua praktik ekonomi ekstraktif yang jelas-jelas merusak alam? Kalau iya, bagaimana memulainya? Sebab semua sudah berkelindan, sebagai satu bagian yang tidak terpisahkan dari daur hidup pencaharian dan pendapatan sebagian warga yang mengaku beragama.

Tidak mudah dan sangat dilematik, karena itu ada baiknya menyimak sindiran Karl Marx yang mengatakan “jika modal dapat memperoleh keuntungan 100 persen, ia akan menginjak-injak semua hukum manusia; Jika kekacauan dan perselisihan akan mendatangkan keuntungan, maka modal akan dengan bebas mendorong keduanya”.

Pemerintah bahkan tersandera kebijakannya sendiri yang eksploitatif terhadap alam. Kalau benar-benar mau menakar spiritualitas ekologi, jangan-jangan pemerintah yang mengaku berketuhanan yang maha esa, tidak pernah paham apa itu spiritualitas ekologi? Refleksi itu pun meninggalkan tanya, dari mana dan bagaimana melakukan pertobatan ekologi tersebut?

Iklan
Iklan