BANJARMASIN, Kalimantanpost.com — Pengamat politik dan kebijakan publik Politeknik Indonesia Banjarmasin, Prof Dr Muhammad Uhaib As’ad melontarkan kritik keras terhadap kondisi perguruan tinggi di Indonesia yang menurutnya semakin terasing dari denyut persoalan bangsa.
Kampus, kata dia, kini kian menjauh dari fungsi kritisnya dan berubah menjadi menara gading yang kehilangan relevansi sosial.
Uhaib menilai bahwa perguruan tinggi tidak lagi mampu merespons perubahan dan tekanan yang terjadi di masyarakat. Padahal, salah satu esensi keberadaan kampus adalah kepekaan terhadap dinamika sosial, politik, dan ekonomi.
“Bila tantangan dan tekanan begitu besar dan perguruan tinggi tidak mampu mengantisipasinya, maka kampus tidak ubahnya seperti menara gading yang terlepas dari arus. Apa yang terjadi di negeri ini seolah mengalami keterasingan, tidak memiliki kanal frekuensi dan tidak memiliki relevansi,” ujarnya.
Ia menyebut gejala ini berbahaya karena dunia akademik justru tampil apatis ketika korupsi politik dan persoalan moral publik sedang marak. Ketidakpekaan tersebut dianggapnya sebagai kegagalan moral kaum intelektual.
“Kaum intelektual telah menjadi pengkhianat ketika mereka tidak mampu merespons perubahan dan perkembangan yang terjadi. Dunia akademik berada pada titik stagnan,” tegas Uhaib.
Menurutnya, kondisi perguruan tinggi saat ini menunjukkan terjadinya depolitisasi, yakni memudarnya peran kampus sebagai pusat kritik, pembaruan gagasan, serta kontrol sosial.
Perguruan tinggi, lanjutnya, justru sekadar mencetak lulusan yang apatis dan tidak memiliki kesadaran kebangsaan.
“Keterasingan perguruan tinggi hari ini sangat berbahaya. Kampus kehilangan frekuensi, terisolasi, dan tidak lagi menjadi pusat peradaban maupun pendorong perubahan sosial,” paparnya.
Uhaib menyerukan perlunya refleksi mendalam agar perguruan tinggi kembali ke marwahnya sebagai ruang intelektual yang progresif, kritis, dan responsif terhadap persoalan bangsa. (sfr/KPO-4)














