BANJARMASIN, Kalimantanpost.com – Kepala Perwakilan Ombudsman RI Kalimantan Selatan, Hadi Rahman, membeberkan hasil pemantauan terbaru terkait kualitas pelayanan publik di daerah. Dalam wawancara langsung yang dilakukan usai rilis Catatan Akhir Tahun, Hadi menyoroti kompetensi penyelenggara layanan publik.
“Tren yang cukup mengkhawatirkan, peningkatan tajam kasus pengabaian kewajiban hukum yang dilakukan penyelenggara layanan publik sepanjang 2025,” kata Hadi usai rilis Catatan Akhir Tahun, Jumat (19/12/2025).
Menurut Hadi, lonjakan kasus itu tidak main-main. Pada 2024 hanya ada satu kasus, namun di 2025 jumlahnya naik menjadi 69. Sebagian besar berasal dari pemerintah daerah. Kondisi ini muncul dari analisis laporan masyarakat yang masuk sepanjang tahun, mulai dari masalah tagihan listrik membengkak hingga dugaan penyimpangan prosedur dalam P2TL.
“Kenaikan ini bukan sekadar angka, ini tanda ada masalah serius dalam pemahaman tugas dan fungsi di lapangan,” kata Hadi.
Ia menegaskan banyak temuan terjadi karena penyelenggara layanan tidak memahami aturan dasar yang seharusnya mereka jalankan. Dari wawancara penilaian kompetensi yang Ombudsman lakukan selama bertahun-tahun, indikasinya sebenarnya sudah terlihat.
“Banyak yang bekerja tanpa benar-benar tahu batas wewenangnya, ada yang tidak membaca aturan, ada pula yang tidak mau mempelajari, hasilnya ya begini pelayanan jadi amburadul,” ujarnya.
Hadi menjelaskan kompetensi adalah fondasi pelayanan publik. Tanpa pemahaman yang cukup, kualitas layanan pasti runtuh. Karena itu, Ombudsman terus mendorong peningkatan literasi dan kapasitas bagi pelaksana layanan, terutama di instansi pemerintah daerah yang paling banyak mendapat sorotan. Menurutnya, peningkatan kapasitas bukan lagi pilihan, tetapi kebutuhan mendesak.
“Orang sering lupa, pelayanan publik itu pekerjaan berbasis ilmu, tidak bisa dilakukan asal jalan,” tegasnya.
Pengamatan Ombudsman di berbagai daerah juga memperlihatkan pola yang berbeda antara wilayah terpencil dan perkotaan. Di desa-desa seperti Batola dan HST, keluhan biasanya terkait kebutuhan dasar yang belum terpenuhi. Sementara di kota, keluhan lebih banyak menyangkut penyimpangan prosedur atau kejadian tak terduga seperti lonjakan tagihan listrik. Dari sini, Ombudsman mengumpulkan informasi awal yang kemudian dipakai untuk merancang kanal layanan dan penanganan aduan.
Dalam proses menindaklanjuti laporan masyarakat, Ombudsman selalu memastikan analisis prosedur dilakukan secara objektif. Jika seluruh prosedur sudah sesuai, laporan tidak akan menjadi temuan. Tapi jika ditemukan penyimpangan, indikasi kelalaian langsung dicatat. Hadi mengingatkan bahwa Ombudsman bukan lembaga yang berdiri untuk menghukum, tetapi memastikan pelayanan berjalan sesuai aturan.
“Kami bekerja berdasarkan fakta, bukan asumsi, kalau salah, ya kita bilang salah. Kalau benar, ya kita sampaikan apa adanya,” jelasnya.
Dari data aduan yang masuk selama 2025, pemerintah daerah menjadi entitas yang paling banyak dilaporkan. Disusul kementerian atau lembaga pusat, meski jumlahnya jauh lebih sedikit. Kondisi ini memperkuat kesimpulan Ombudsman bahwa sebagian besar persoalan pelayanan publik memang lahir dari tingkat daerah.
“Faktanya, akar masalah terbesar ada di pemerintah daerah, ini harus diakui supaya bisa diperbaiki,” ujar Hadi.
Ia juga menyebut standar pelayanan publik sebenarnya sudah jelas tertuang dalam undang-undang. Namun implementasinya masih timpang. Banyak pelaksana layanan yang tidak memahami aturan internal dan regulasi yang menjadi dasar kerja mereka. Di sinilah literasi pelayanan publik menjadi kunci. Menurut Hadi, program literasi tidak hanya penting, tapi wajib dijalankan secara berkelanjutan.
“Kualitas pelayanan akan selalu mengikuti kualitas orang yang menjalankannya, kalau kapasitasnya lemah, hasilnya pasti kacau,” katanya.
Ombudsman Kalsel menekankan peningkatan kompetensi harus menjadi agenda prioritas bagi seluruh instansi layanan publik. Mulai dari memperkuat pengawasan internal, meninjau ulang prosedur rawan penyimpangan, hingga memasukkan aspek kompetensi sebagai bagian penting penilaian kinerja. Hadi meyakini langkah-langkah ini tidak bisa lagi ditunda.
“Kalau kita ingin pelayanan yang manusiawi dan layak, maka kapasitas pelaksananya harus dibenahi dulu,” pungkasnya. (nug/KPO-3)














