Banjarmasin, KP – Viral di media sosial gegara pagar di Pulau Kembang, objek wisata di Kabupaten Barito Kuala ini digembok, seorang ibu warga Tionghoa protes serta ngomel-ngomel.
“Masa Pulau Kembang harus jam 08.00 saja, kalau tidak digembok.
Sudah tahu orang tiap tahun akhir Desember handak (mau) sembayang hajat.
Masa orang sembayang kada boleh, kaya apa (bagaimana) ini pemerintah. Buka gemboknya!!!,” teriak ibu itu dalam video yang beredar.
Diketahui, warga Tionghoa melakukan sembahyang untuk berbagai tujuan, termasuk permohonan hajat, yang biasanya dilakukan dalam konteks peribadatan umum kepada Tuhan, dewa-dewi, atau leluhur, tak hanya saat perayaan hari besar di vihara/klenteng.
Warga Tionghoa di Banjarmasin memang punya tradisi sembahyang hajat atau sembahyang leluhur, termasuk di sekitar Pulau Kembang, yang sering disebut sebagai tempat keramat atau makam Tionghoa Tua.
Di mana mereka berdoa, memohon berkah, rezeki, dan ketenangan, terutama saat Imlek atau Sembahyang Rebutan (Qingming), meskipun Pulau Kembang sendiri lebih terkenal sebagai habitat monyet dan tempat wisata alam, ada makam-makam Tionghoa di sekitarnya yang sering dikunjungi untuk ritual spiritual.
Sejarah dan spiritual, daerah sekitar Pulau Kembang di Sungai Barito punya sejarah panjang dan dianggap sebagai lokasi spiritual bagi komunitas Tionghoa di Banjarmasin (Kuin), menjadi tempat pemakaman leluhur Tionghoa kuno.
Mereka datang untuk sembahyang membersihkan makam (Ceng Beng/ Qingming), berdoa, memberi persembahan, dan memohon perlindungan serta rezeki.
Waktu sembahyang, biasanya ramai saat Imlek (Tahun Baru Imlek) dan Ceng Beng (Sembahyang Rebutan), tapi bisa juga di hari-hari penting lainnya.
Bagaimana bentuk Sembahyangnya ?. Biasanya peralatan membawa dupa, lilin, uang sembahyang (kertas), buah-buahan, makanan.
Berdoa di depan makam dan melakukan ritual penghormatan lainnya.
Wajib Tahu: “Asal Usul Pulau Kembang di Sungai Barito” . Di dalam kawasan hutan wisata ini terdapat altar yang diperuntukkan sebagai tempat meletakkan sesaji bagi “penjaga” pulau Kembang yang dilambangkan dengan dua buah arca berwujud kera berwarna putih (Hanoman).
Oleh masyarakat dari etnis Tionghoa-Indonesia yang mempunyai kaul atau nazar tertentu dan juga sebagai salah satu tempat ziarah orang Tionghoa.
Di pulau ini terdapat sebuah Vihara Cina yang sudah sangat tua dan banyak dikunjungi keluarga Cina untuk beribadah.
Bukan Pulau Duit
Dari masalah ini pula mendapat taggapan dari salah satu tokoh Dr (HC) Yunan Chandra SE MM, yang mantan anggota DPRD Kota Banjarmasin.
“Pantas aja pariwisata tidur, di Pulau Kembang tu pulau monyet, bukan pulau duit,” komentarnya.
“Makanya monyet yang mengurus pulau kembang tu kurus kurus, kayanya kurang suplay gizi.
“Kira kira kepala dinasnya kurang cangkal (rajin, red) bakunjang, lalu kurang tahu kondisi di lapangan”.
“Yu bupati dan perangkatnya tolong parawisata pulau kembang jangan pakai jam kerja, monyetnya jinak tak akan lari , supaya ramai pula kebudayaan,” ucapnya. (K-2)














