BANJARMASIN, Kalimantanpost.com — Konflik internal di Perseroan Daerah (Perseroda) PAM Bandarmasih kembali mencuat ke permukaan dan memicu berbagai spekulasi publik.
Pemberhentian dua direksi melalui RUPS Luar Biasa pada November lalu dengan alasan kinerja yang dinilai kurang maksimal dianggap janggal, sebab hanya berselang satu bulan kemudian, pada Desember, perusahaan justru memperoleh penghargaan Kinerja Pelayanan Publik Peringkat 1 dari Wali Kota Banjarmasin.
Kontradiksi inilah yang disebut menjadi sumber kebingungan publik terkait apa yang sebenarnya terjadi di tubuh perusahaan air minum daerah tersebut.
Direktur Kajian Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik, juga akademisi Politeknik Indonesia Banjarmasin, Prof Dr Muhammad Uhaib As’ad menilai, ketidaksinkronan kebijakan ini menunjukkan adanya persoalan mendasar dalam tata kelola perusahaan.
Menurutnya, publik wajar mempertanyakan konsistensi penilaian kinerja yang berbeda antara keputusan RUPS dan penghargaan pemerintah kota.
“Kisruh internal yang berlanjut hingga kini, termasuk pemberhentian dua direksi pada November, jelas mengundang spekulasi. Di satu sisi disebut kinerjanya kurang maksimal, tetapi pada Desember justru diberikan penghargaan pelayanan publik rangking satu. Ini sangat kontradiktif. Yang benar yang mana?” tegas Uhaib.
Ia menilai bahwa ketidakkonsistenan ini sesungguhnya tidak perlu terjadi apabila mekanisme evaluasi berjalan objektif dan transparan.
Lebih jauh ia memandang bahwa dinamika internal tersebut tidak berdiri dalam ruang yang steril dari kepentingan.
Menurutnya, persoalan yang muncul di sekitar PAM Bandarmasih mengarah pada benturan kepentingan ekonomi dan politik yang melibatkan aktor-aktor tertentu, baik dari internal perusahaan maupun dari luar.
“Masalah ini tidak berada pada ruang hampa kepentingan. Ada aktor, ada kepentingan dari luar, bisa dari parpol atau penguasa lokal. Ini konflik kepentingan ekonomi-politik, dan itu nyata,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa perusahaan daerah seperti PAM Bandarmasih seharusnya memprioritaskan pelayanan publik, terlebih persoalan air bersih masih menjadi problematik di sebagian wilayah kota.
Menurut Uhaib, situasi ini justru menunjukkan bagaimana perusahaan yang seharusnya fokus pada peningkatan layanan malah terseret dalam konflik yang memberi kesan adanya perebutan kuasa atau panggung politik bagi pihak-pihak tertentu.
Ia menegaskan bahwa hal semacam ini justru berbahaya bagi masa depan pelayanan air bersih di Banjarmasin.
“PAM Bandarmasih mestinya memberikan pelayanan publik yang prima, bukan menimbulkan konflik internal di saat masalah air saja belum terselesaikan. Ini yang seharusnya dikedepankan, bukan rebutan pengaruh,” katanya.
Uhaib menegaskan, penghargaan yang diberikan pemerintah kota seharusnya menjadi pijakan moral untuk menata kembali tata kelola perusahaan berbasis prinsip good corporate governance.
Ia memperingatkan agar penghargaan tidak digunakan sebagai legitimasi politik bagi kelompok tertentu.
“Penghargaan ini harus menjadi moral platform untuk menata kembali manajemen, bukan digunakan sebagai panggung bagi orang-orang dekat penguasa atau jaringan tertentu. Tata kelola perusahaan harus dikembalikan kepada konsep good corporate, bukan patronase politik,” tegasnya.
Inkonsistensi antara pencopotan direksi dan pemberian penghargaan, menurutnya, justru memperkuat dugaan di masyarakat bahwa ada agenda lain yang sedang dimainkan.
“Jangan-jangan ini hanya untuk memuluskan seseorang yang merupakan kroni politik agar bisa duduk dan menjabat. Publik tentu mempertanyakan arah kebijakan seperti ini,” pungkasnya. (sfr/KPO-4)














