Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Partai Politik dan Manfaatnya bagi Rakyat

×

Partai Politik dan Manfaatnya bagi Rakyat

Sebarkan artikel ini
Ahmad Barjie B
Ahmad Barjie B

Oleh : Ahmad Barjie B
Pemerhati Sosial Politik

Mendirikan partai memang dibenarkan oleh konstitusi. Pasal 28 UUD 1945 dan Pasal 28E ayat (3) hasil amandemen menyatakan, setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Pasal 28C ayat (2), setiap orang berhak memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara. Jadi secara konstitusional kehadiran partai-partai baru tidak bisa dicegah. Aturan dan kebijakan pemerintah masih kondusif bagi lahirnya partai. Tidak hanya partai lama dan mapan, sekadar partai papan nama dan tidak punya kursi tetap diapresiasi dan diberi bantuan.

Kalimantan Post

Sebenarnya eksistensi partai-partai sudah mendekati titik jenuh dan kiprahnya tidak menggembirakan, kalau tidak mengecewakan. Sebab, partai-partai tidak optimal memperjuangkan amanat penderitaan rakyat. Namun bagi masyarakat kehadirannya tetap diterima. Penggagas partai-partai baru pun tetap memberi harapan.

Persoalannya, apakah kehadiran banyak partai relevan dengan kebutuhan realpolitik rakyat saat ini. Sejauhmana dampak positif dan negatifnya. Tidakkah kehadiran banyak partai justru kontraproduktif dan rawan perpecahan antarkomponen bangsa. Sampai kapan tren multipartai berlangsung, dan adakah cara ampuh mengeremnya, sehingga partai politik tinggal sedikit tapi efektif memperjuangkan aspirasi rakyat.

Positif-Negatif

Dari kacamata positif, ada beberapa keuntungan banyaknya parpol. Pertama, rakyat punya banyak pilihan menyalurkan aspirasi politiknya, sehingga terhindar dari kejenuhan dan kemungkinan golput. Kedua, dari sisi demokrasi lebih terjamin, sebab pluralitas bangsa lebih terakomodasi. Pesta demokrasi lebih semarak dan mereka yang hobi pawai kampanye dapat setiap hari meramaikannya dengan berganti-ganti baju, bendera dan atribut, tanpa perlu fanatik pada satu partai saja. Tim sukses, jurkam dan usaha jasa juga akan panen.

Ketiga, parpol yang sehat dapat berfungsi sebagai kawah candradimuka lahirnya kader pemimpin bangsa, tingkat lokal dan nasional. Kalau sebelumnya kader pemimpin banyak dilahirkan oleh sekolah, pesantren, perguruan tinggi dan organisasi nonpolitik, di era multipartai kemungkinan lahirnya kader pemimpin akan lebih banyak. Keempat, parpol dapat dijadikan sarana kanalisasi dan aktualisasi diri bagi para tokoh dan warganegara yang tidak terakomodasi di sektor lain, katakanlah sektor formal PNS atau dunia usaha. Termasuk sarana sublimasi bagi mantan pejabat yang masih ingin mengulangi romantisme sejarahnya sebagai tokoh publik. Juga sarana banting setir mengubah nasib, misalnya dari artis dan ulama menjadi politisi, dari honorer atau pedagang K5 menjadi legislatif, dst.

Tetapi dampak negatifnya tidak kurang. Pertama, beragamnya partai berakibat banyak caleg dan aleg di DPR/DPRD kurang professional, bila diukur dengan standar kompetensi yang dipersyaratkan para ahli, baik kompetensi personal, profesional maupun sosial. Bahkan ada yang ijazahnya diragukan. Mereka berhasil duduk lebih disebabkan faktor nasib dan keberuntungan, sehingga tidak mampu mengemban tugas sebagaimana mestinya. Kompetensinya kalah jauh dengan eksekutif yang lebih unggul di segi pendidikan dan pengalaman. Di antara indikatornya, banyak produk UU kontraproduktif dan banyak Perda dianulir oleh pemerintah pusat karena bertentangan dengan UU di atasnya, lemah landasan yuridis, filosofis dan bobot akademisnya. Ini karena pendidikan dan gelar akademik yang diperoleh sebagian anggota dewan lebih bersifat instant, dibeli saat menjabat, bukan hasil sekolah dan kuliah reguler bertahun-tahun sebelumnya. Kondisi demikian berakibat anggota dewan tidak mampu mengkritisi dan menekan kebijakan eksekutif yang merugikan rakyat. Pemanggilan pejabat eksekutif sekadar basa-basi, bertanya dan memberi saran. Rakyat tertimpa berbagai musibah dan bencana alam yang butuh solusi mendesak, penggusuran, PHK dan pengangguran yang membengkak dsb, tidak ada pembelaan tuntas dari DPR/DPRD.

Baca Juga :  Lemahnya Perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak, Akibat Sistem Sekuler

Memang ada juga segelintir wakil rakyat punya keunggulan komparatif misalnya di segi kejujuran, tetapi karena relatif muda-muda dan minim pengalaman, tetap saja belum mampu mengkritisi dan memperjuangkan nasib rakyat secara signifikan. Masih banyak lagi kenaifan parlemen yang sesungguhnya orang awam pun mampu melakukan hal sama. Eksekutif tentu sangat mudah menghadapi parlemen demikian. Kalau ada yang kritis, eksekutif sudah tahu cara menjawab dan menjinakkannya. Di depan forum dihormati, tetapi di belakang mungkin ditertawakan. Anggota dewan sendiri sering menertawakan sesamanya karena minimnya bobot kritiknya.

Kedua, banyak partai berakibat tidak ada lagi single majority. Golkar atau PDI-P bisa saja dominan, tetapi tetap tidak bisa menang penuh. Pemerintah yang terbentuk pasti kesulitan membangun koalisi yang mapan, karena terlalu banyak kepentingan partai yang harus diakomodasi. Belum berhasilnya membentuk Zaken Cabinet (Kabinet Ahli), yang berakibat reformasi dan pemulihan krisis berjalan lamban, tidak terlepas dari hal ini. Walau secara ideologis partai-partai itu relatif sama, kepentingan politiknya beragam. Ini menyulitkan pemerintah menyamakan persepsi dan membangun soliditas permanen.

Satu-satunya cara menjinakkan parlemen adalah memanjakan mereka dengan gaji, tunjangan dan aneka fasilitas berlebihan dan cenderung mengada-ada, jauh melebihi kepatutan di tengah mayoritas rakyat yang masih miskin dan menderita. Dengan pemanjaan itu anggota parlemen kekenyangan, tidak kritis dan kreatif lagi. Bawaannya santai, lembek, malas menghadiri sidang dan lebih suka studi banding ke dalam dan luar negeri, yang intinya hanya plesiran dan belanja menghabiskan uang negara/daerah, karena tidak ada tindak lanjut. Studi banding sebenarnya hanya tugas eksekutif karena mereka pelaksana pembangunan, parlemen tinggal mengawal dan mengawasi saja.

Ketiga, banyak partai berakibat persaingan merebut suara pemilih makin ketat. Memenangi persaingan dan menarik hati rakyat diperlukan modal besar. Maka parlemen dan partai berlomba menggali dana dari mana saja. Tidak heran bagi yang menjabat berusaha memompa dompet pribadi dan partainya. Mereka juga akan menguras para calon, khususnya dalam Pilkada yang ingin menyewa jukung partainya. Dulu DPRD, sekarang partai yang bermain. Jadilah keberadaan parlemen dan partai cenderung korup. Tugas memperjuangkan aspirasi dan pemberdayaan rakyat semakin terabaikan. Transparancy International Indonesia (TII) yang mencatat parlemen dan partai sebagai institusi paling korup sulit dibantah.

Baca Juga :  Pendidikan Emas atau Cemas?

Saran Masukan

Negara maju adalah negara yang sedikit sekali partai politiknya. Multipartai mencerminkan negara terbelakang dan baru belajar demokrasi. Bila tren ini berlanjut, berapa banyak dana dan daya mubazir. Pemerintah pusat dan daerah terus terbebani mendanai partai dan kadernya. Alangkah eloknya sekiranya uang mendirikan, mengkonsolidasi dan membina partai-partai itu saja yang disumbangkan untuk rakyat. Karena itu perlu diupayakan, jumlah parpol disederhanakan dan dirampingkan sekecil mungkin. Seperti di AS partai poltik hanya dua, republic dan democrat. Di Indonesia seyogianya hanya ada tiga; Nasionalis, Islam dan Sekular. Kinerja KPU akan lebih sederhana dan kesulitan pemilih mudah teratasi.

Partai-partai hendaknya menjadi ujung tombak dengan mengedepankan kepentingan rakyat di atas motif dan interes golongannya sendiri. Pemerintah perlu lebih akomodatif terhadap koreksi, saran dan masukan para tokoh eksternal yang memiliki komitmen kebangsaan dan kenegaraan tinggi. Jangan sampai terkesan agar pendapatnya diapresiasi harus melalui partai dan menjadi anggota legislatif dulu.

Pemerintah harus lebih optimal memberdayakan nasib rakyat, bukan sekadar memanjakan anggota DPR/DPRD dan meningkatkan kesejahteraan PNS saja. Ketika kesejahteraan dan keadilan terwujud, booming partai akan berkurang, sebab emosi rakyat tidak bisa lagi dieksploitasi. Selama rakyat hanya jadi komoditas politik, bukan diberdayakan secara benar dan adil, selama itu pula rakyat akan mencari saluran baru untuk memperjuangkan nasibnya. Walau sering kecewa, rakyat tidak hentinya bermimpi datangnya dewa penolong. Wallahu A’lam.

Iklan
Iklan