Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Pemprov Kalsel Perkuat Perlindungan dan Pemenuhan Anak

×

Pemprov Kalsel Perkuat Perlindungan dan Pemenuhan Anak

Sebarkan artikel ini

Oleh : Nova A
Aktivis Muslimah

Pemerintah Provinsi melalui DPPPAKB Kalsel bersama berbagai lembaga di Kalimantan Selatan terus memperkuat perlindungan bagi perempuan dan anak melalui langkah-langkah konkrit. Periode Januari–September 2025 tercatat ada 515 kasus kekerasan dengan 544 korban, meliputi perempuan dewasa dan anak-anak termasuk 73 kasus terjadi di lingkungan sekolah. Untuk itu, Pemprov memfasilitasi lembaga pengasuhan, memperbaiki standar pelayanan di Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA), serta memperluas layanan bagi anak terlantar, anak berkebutuhan khusus, dan korban kekerasan atau penelantaran. Melalui pembentukan forum dan kolaborasi berbagai pihak, diharapkan setiap anak di Kalsel bisa tumbuh dalam lingkungan yang aman, terlindungi, dan mendapatkan hak-hak anak secara penuh.

Kalimantan Post

Upaya kampanye anti-kekerasan, sosialisasi perlindungan anak, dan kolaborasi antara pemerintah daerah, aparat, serta lembaga masyarakat memang menunjukkan adanya komitmen untuk memperbaiki kondisi perlindungan anak di Kalsel. Namun, fakta bahwa jumlah kasus kekerasan masih tinggi mengindikasikan bahwa program-program tersebut belum menyentuh akar persoalan secara menyeluruh. Kampanye publik sering kali hanya berfungsi sebagai langkah kuratif dan informatif, tetapi tidak cukup kuat dalam mengubah pola pikir serta struktur sosial yang turut menjadi penyebab kekerasan. Dengan kata lain, persoalan perlindungan anak memerlukan pendekatan yang lebih fundamental daripada sekadar sosialisasi dan koordinasi antarinstansi.

Fenomena kekerasan dalam rumah tangga, eksploitasi, pernikahan anak, serta ketidakmerataan akses pendidikan dan kesehatan memperlihatkan bahwa masalah anak terjadi secara sistemik. Di satu sisi, regulasi perlindungan anak sudah tersedia, tetapi implementasinya sering kali lambat dan tidak konsisten. Penegakan hukum berjalan secara reaktif—baru bergerak setelah terjadi kasus. Hal ini menyebabkan perlindungan anak tidak bersifat preventif. Ketika sistem hukum hanya berfungsi menanggapi, bukan mencegah, maka anak-anak tetap berada dalam kondisi rentan, terutama dalam lingkup keluarga yang seharusnya menjadi tempat paling aman.

Baca Juga :  Tawakal dan Istighfar

Selain itu, melemahnya ketahanan keluarga menjadi faktor yang sangat signifikan. Ketika urusan keluarga dianggap sekadar ranah privat tanpa dukungan moral, spiritual, dan sosial yang kuat, maka standar pengasuhan bergantung sepenuhnya pada kapasitas masing-masing keluarga. Dalam kondisi ekonomi dan mental yang rapuh, anak menjadi pihak yang paling mudah terluka—baik secara emosional, fisik, maupun sosial. Ketika orientasi keluarga tidak dibangun atas asas nilai moral yang jelas, maka pengasuhan cenderung berjalan tanpa arah yang kokoh.

Dalam perspektif beberapa kajian Islam, kelemahan perlindungan anak juga dipandang sebagai akibat dari sistem yang tidak berlandaskan visi akidah yang menyeluruh. Sistem sekuler bekerja berdasarkan aturan teknis dan administratif, tetapi tidak memiliki basis nilai yang mengintegrasikan perlindungan anak sebagai bagian dari misi moral negara itu sendiri. Ini membuat kebijakan berjalan parsial, tidak konsisten, dan bergantung pada program jangka pendek. Padahal, perlindungan anak membutuhkan sistem yang stabil dan berkelanjutan yang tidak berubah sesuai periode kepemimpinan atau dinamika politik.

Dalam Islam, khususnya pada konsep tata kelola klasik seperti siyasah syar’iyyah, perlindungan jiwa, akal, nasab, dan kehormatan dianggap sebagai bagian dari maqashid syariah. Artinya, menjaga anak dari kekerasan, perlakuan buruk, maupun hilangnya hak-hak mereka bukan hanya kewajiban moral keluarga, melainkan juga tanggung jawab negara. Dari sudut pandang ini, negara didorong untuk berperan lebih aktif dan komprehensif dalam memastikan bahwa setiap anak tumbuh dalam lingkungan aman, sehat, dan bermartabat. Perbedaan mendasar terletak pada orientasinya: sistem sekuler cenderung teknis dan reaktif, sementara pendekatan berbasis syariah memandang perlindungan anak sebagai bagian dari kewajiban ilahi serta fondasi pembentukan masyarakat.

Dalam Islam, keluarga ditempatkan sebagai pilar utama pembentukan generasi. Karena itu, penguatan institusi keluarga menjadi langkah pertama yang sangat mendasar—mulai dari penanam­an akidah, pemahaman peran ayah-ibu, hingga pendidikan tentang kewajiban menjaga dan melindungi anak. Sistem pendidikan dalam Islam pun tidak hanya berorientasi akademik, tetapi membentuk syakhsiyah (kepribadian) Islam yang kokoh, sehingga anak tumbuh dengan pola pikir dan pola sikap yang selaras dengan nilai-nilai kebaikan dan ketaatan kepada Allah.

Baca Juga :  Banjarmasin Laksana “Anak Punai Rajawali’”

Negara dalam naungan Islam memiliki tanggung jawab penuh atas pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, termasuk anak. Negara wajib menyediakan pendidikan berkualitas, layanan kesehatan yang mudah diakses, pengamanan yang melindungi dari segala bentuk ancaman, serta jaminan ekonomi melalui pengelolaan sumber daya publik. Dengan terpenuhinya kebutuhan dasar ini, faktor-faktor risiko kekerasan dan kelalaian terhadap anak dapat diminimalkan.

Dalam bidang penegakan hukum, Islam menerapkan aturan yang tegas, jelas, dan memberi efek jera bagi pelaku kejahatan, termasuk kekerasan terhadap anak. Mekanisme pembuktian, sanksi, dan keadilan diterapkan secara menyeluruh sehingga perlindungan anak tidak hanya bersifat reaktif, tetapi preventif.

Upaya Pemprov Kalsel dalam memperkuat perlindungan anak tentu patut diapresiasi sebagai bentuk perhatian terhadap isu yang krusial. Namun, dalam sistem sekuler hari ini, kebijakan tersebut kerap terbentur oleh persoalan struktural seperti kemiskinan, lemahnya ketahanan keluarga, kultur liberal yang menormalisasi kebebasan tanpa batas, hingga hukum yang tidak memberikan kepastian dan ketegasan. Faktor-faktor ini membuat perlindungan anak tidak bisa diwujudkan secara total.

Karena itu, hanya melalui sistem yang menyatu antara akidah, hukum, dan tatanan kehidupan bermasyarakat sebagaimana konsep dalam Islam perlindungan anak dapat diwujudkan secara hakiki, menyeluruh, dan berkelanjutan. Sistem ini bukan hanya menyelesaikan masalah di permukaan, tetapi menyentuh akar persoalan dan membangun lingkungan yang aman, stabil, serta berlandaskan nilai-nilai ketaqwaan

Iklan
Iklan