Oleh : Ahmad Syawqi
Pustakawan UIN Antasari Banjarmasin
Perkembangan teknologi digital telah mengubah cara manusia membaca, belajar, dan memahami dunia. Informasi kini hadir dalam genggaman, cepat, melimpah, dan sering kali tanpa saringan. Dalam situasi seperti ini, literasi tidak lagi sekadar kemampuan membaca huruf, tetapi kemampuan memilah informasi, memahami konteks, dan bersikap kritis terhadap arus digital yang deras. Di tengah perubahan besar ini, ada satu poros penting yang kerap luput dari sorotan: perempuan.
Momentum Hari Ibu Nasional 22 Desember 2025, dengan tema “Perempuan Berdaya dan Berkarya, Menuju Indonesia Emas 2045”, menjadi saat yang tepat untuk menegaskan kembali bahwa perempuan baik di ranah domestik maupun publik memegang peran strategis sebagai poros literasi digital. Dari rumah hingga perpustakaan, perempuan menjadi penghubung utama antara pengetahuan, teknologi, dan nilai-nilai kemanusiaan.
Rumah Literasi Digital Pertama
Rumah adalah ruang belajar paling awal dan paling berpengaruh. Di sanalah anak pertama kali berinteraksi dengan bahasa, cerita, dan pengetahuan. Dalam banyak keluarga, perempuan terutama ibu menjadi aktor utama dalam proses ini. Di era digital, peran tersebut semakin kompleks. Perempuan tidak hanya mengenalkan buku dan cerita, tetapi juga memperkenalkan gawai, internet, dan dunia digital yang luas sekaligus berisiko.
Literasi digital di rumah bukan tentang seberapa cepat anak mahir menggunakan perangkat, melainkan seberapa bijak mereka memahami informasi. Ketika ibu mendampingi anak menonton video, menjelaskan mana konten yang bermanfaat dan mana yang menyesatkan, sesungguhnya ia sedang membangun fondasi literasi digital. Ketika ibu membiasakan diskusi kritis atas berita yang beredar di media sosial, ia sedang melatih nalar anak agar tidak mudah terjebak hoaks.
Dalam konteks ini, perempuan menjadi penjaga pertama ekosistem literasi digital. Ia membentuk kebiasaan, nilai, dan cara berpikir yang kelak menentukan bagaimana generasi muda berinteraksi dengan teknologi.
Dari Domestik ke Ruang Publik
Peran perempuan dalam literasi digital tidak berhenti di rumah. Di ruang publik, perempuan hadir sebagai guru, dosen, pustakawan, pegiat literasi, penulis, dan pengelola pengetahuan. Mereka bekerja di sekolah, perpustakaan, dan komunitas literasi sebagai ruang-ruang yang menjadi penyangga peradaban pengetahuan.
Perpustakaan, khususnya, mengalami transformasi besar di era digital. Ia tidak lagi hanya menjadi tempat menyimpan buku, tetapi pusat literasi informasi, ruang belajar sepanjang hayat, dan arena edukasi digital. Di banyak perpustakaan, perempuan pustakawan menjadi penggerak utama perubahan ini.
Mereka mengajarkan cara menelusur informasi digital secara bertanggung jawab, membimbing pengguna dalam memanfaatkan basis data ilmiah, serta mengenalkan etika penggunaan teknologi dan kecerdasan buatan. Dari meja layanan hingga kelas literasi, perempuan pustakawan berperan sebagai jembatan antara teknologi dan pemahaman manusia.
Banjir Informasi dan Tantangan
Era digital menghadirkan paradoks dimana akses informasi semakin mudah, tetapi kualitas pemahaman tidak selalu meningkat. Hoaks, disinformasi, dan konten manipulatif menyebar cepat melalui media sosial dan aplikasi pesan instan. Algoritma sering kali lebih mengutamakan sensasi daripada substansi.
Dalam kondisi ini, literasi digital menjadi kebutuhan mendesak. Namun literasi digital tidak bisa dibangun secara instan atau parsial. Ia membutuhkan pendampingan, keteladanan, dan kesinambungan peran yang secara sosial dan kultural banyak diemban oleh perempuan.
Perempuan di rumah mengajarkan kehati-hatian dalam menerima informasi. Perempuan di perpustakaan dan sekolah membekali masyarakat dengan keterampilan evaluasi sumber. Perempuan di komunitas literasi menciptakan ruang diskusi yang sehat. Bersama-sama, mereka membentuk poros yang menjaga kualitas pengetahuan di tengah banjir informasi.
Mengakui perempuan sebagai poros berarti mengakui bahwa pembangunan literasi digital bukan hanya proyek teknis, tetapi proyek sosial dan kultural. Visi Indonesia Emas 2045 menempatkan sumber daya manusia unggul sebagai kunci kemajuan bangsa. SDM unggul bukan hanya mereka yang menguasai teknologi, tetapi mereka yang mampu berpikir kritis, etis, dan adaptif. Semua itu berakar pada literasi.
Perempuan sebagai Poros
Sering kali peran perempuan dalam literasi dipandang sebagai perpanjangan tugas domestik atau kerja sukarela yang tidak strategis. Padahal, jika dilihat secara lebih luas, perempuan adalah poros titik pusat yang menghubungkan rumah, sekolah, perpustakaan, dan masyarakat. Tanpa poros ini, upaya peningkatan literasi digital akan timpang. Program literasi berbasis teknologi tidak akan efektif jika tidak menyentuh ruang domestik. Sementara pendidikan formal akan kehilangan daya jangkau jika tidak diperkuat oleh budaya literasi di rumah dan komunitas.
Pemberdayaan perempuan dalam literasi digital berarti memperkuat fondasi pembangunan jangka panjang. Ketika perempuan memiliki akses pelatihan, pengakuan profesional, dan dukungan kebijakan, mereka dapat mengoptimalkan perannya sebagai penggerak literasi dari hulu ke hilir. Meski perannya sentral, perempuan dalam literasi digital masih menghadapi berbagai tantangan seperti beban ganda antara peran domestik dan profesional, keterbatasan akses pelatihan teknologi, kurangnya pengakuan terhadap kerja literasi berbasis komunitas, kebijakan yang belum sepenuhnya berperspektif gender.
Untuk itu, diperlukan langkah-langkah konkret dengan adanya penguatan kapasitas literasi digital perempuan melalui pelatihan berkelanjutan, menjadikan perpustakaan sebagai pusat literasi keluarga dan komunitas, kebijakan publik yang mendukung peran perempuan dalam pendidikan dan literasi, serta adanya kolaborasi lintas sektor antara keluarga, sekolah, perpustakaan, dan komunitas.
Dari rumah ke perpustakaan, perempuan telah lama menjadi penjaga dan penggerak literasi. Di era digital, peran ini tidak berkurang, justru semakin strategis. Perempuan adalah poros yang menghubungkan teknologi dengan nilai, informasi dengan pengetahuan, dan masa kini dengan masa depan.
Hari Ibu Nasional 2025 seharusnya menjadi momentum untuk menegaskan bahwa pemberdayaan perempuan bukan hanya soal kesetaraan, tetapi soal keberlanjutan peradaban. Indonesia Emas 2045 hanya dapat terwujud jika literasi digital dibangun dari akar yang kuat dan akar itu, dalam banyak hal, dijaga oleh perempuan dan ketika perempuan menguatkan literasi, sesungguhnya mereka sedang mengamankan masa depan bangsa.













