Oleh : Najamuddin Khairur Rijal
Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Malang,
mahasiswa S3 Ilmu Sosial FISIP Universitas Airlangga Surabaya
Setiap kali bencana ekologis terjadi, seperti yang kita saksikan di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan sekitarnya, kita bisa memprediksi apa yang akan dikatakan oleh para pejabat negeri ini. Umumnya akan menyalahkan curah hujan, anomali cuaca, dan perubahan iklim. Kalimat itu terus diulang dengan nada yang sama agar publik segera memahami bahwa bencana adalah takdir, sesuatu yang berada di luar kontrol kita.
Narasi Perubahan Iklim
Perubahan iklim memang nyata dan dampaknya semakin terasa. Tetapi yang sering kali menjadi mitos adalah narasi yang terus diproduksi dan direpetisi oleh negara dan korporasi. Narasi yang membuat kita hampir percaya bahwa penyebab bencana adalah cuaca ekstrem, global warming, ketidakteraturan musim, dan seterusnya, seolah semua tragedi itu hanya terjadi secara alamiah. Dalam tradisi filsafat sosial, mitos seperti ini bukan sekadar kebohongan tetapi sebagai alat untuk mempertahankan struktur kekuasaan.
Faktanya, investigasi lembaga internasional menemukan bahwa Sumatera telah kehilangan lebih dari 4,4 juta hektar hutan sejak 2001. Data Forest Watch menyebut, dalam dua tahun terakhir provinsi-provinsi di Sumatera telah kehilangan tutupan hutan alam secara signifikan. Peneliti hidrologi juga menyimpulkan bahwa bencana yang terjadi baru-baru ini bukan sekadar curah hujan ekstrem, tetapi karena kerusakan ekosistem di hulu daerah aliran sungai akibat deforestasi dan alih fungsi lahan yang masif.
Narasi yang paling sering diulang adalah bahwa banjir dan longsor di Sumatera adalah konsekuensi dari perubahan iklim global. Kenyataannya memang benar bahwa iklim sedang berubah, curah hujan meningkat, dan pola cuaca menjadi semakin ekstrem. Tetapi menempatkan perubahan iklim sebagai satu-satunya faktor adalah reduksi besar-besaran yang menghapus fakta paling penting bahwa banjir dan longsor di Sumatera terjadi terutama karena deforestasi, ekspansi perkebunan sawit, pembalakan liar, dan lemahnya tata kelola lingkungan.
Dalam istilah penulis dan aktivis sosial Kanada Naomi Klein, ini adalah pengalihan struktural, sebuah strategi diskursif untuk mengaburkan akar masalah yang sesungguhnya. Menyalahkan alam adalah cara yang paling aman untuk tidak mengusut pelaku deforestasi. Membicarakan anomali cuaca adalah cara yang lembut untuk tidak menyinggung kuasa kapital yang mengeksploitasi hutan dan sumber daya. Padahal fakta di lapangan sangat jelas, kayu gelondongan dengan potongan rapi dan ukuran konsisten yang hanyut bersama air tidaklah tumbang dengan sendirinya.
Jika kita memakai perspektif filsuf Prancis Bruno Latour, negara dan korporasi sering menganggap bumi sebagai entitas abstrak, bukan aktor politik yang memiliki batas-batas ekologis. Mereka masih beroperasi dalam logika modernitas, berusaha memisahkan manusia dari alam, menganggap teknologi dapat menyelesaikan segalanya, dan memperlakukan bumi sebagai mesin yang bisa diperbaiki kapan saja. Tentu, atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Maka ketika bencana di Sumatera terjadi, alam menunjukkan bahwa bumi sedang membalas, di mana sistem ekologis memiliki ambang batas yang tidak bisa terus-menerus dilanggar. Kita harus mengatakan bahwa bencana ekologis ini adalah bencana kapitalistik.
Narasi lain yang sering kita dengar adalah pentingnya adaptasi, hutan perlu dijaga, pepohonan hijau perlu ditanam, sungai perlu dikeruk, teknologi peringatan dini perlu disiapkan, dan seterusnya. Narasi ini terlihat logis, tetapi mengaburkan akar struktural masalah. Dalam perspektif Zygmunt Bauman, sosiolog Polandia, solusi teknokratis adalah ciri masyarakat cair (liquid society) yang ingin menyelesaikan krisis tanpa menyentuh sumber masalahnya. Adaptasi tanpa transformasi ekologis hanyalah mitos, bukan menyembuhkan penyakit tetapi menunda kehancuran. Lebih lanjut, di tengah situasi genting, negara lewat pejabat publiknya sering mempromosikan diri sebagai agen penyelamat, meski kehadirannya sering terlambat. Dalam bahasa filsuf dan kritikus Prancis Roland Barthes, ini adalah mythologies, kehadiran yang tampak natural sebagai empati, padahal sepenuhnya politis.
Banalitas Kekuasaan
Pertanyaannya, mengapa narasi-narasi semacam itu terus dipertahankan? Filsuf Hannah Arendt memberi satu jawaban penting, bahwa kekuasaan bekerja lewat banalitas dengan membuat kita menerima sesuatu sebagai hal normal. Deforestasi masif adalah contoh jelas dari banalitas kekuasaan, ia terjadi melalui izin legal dan tanda tangan pejabat berwenang, lewat tata ruang yang direvisi secara sunyi.
Rob Nixon, profesor lingkungan di Universitas Princeton, menyebut ini sebagai slow violence. Kerusakan ekologis adalah kekerasan yang bergerak lambat, sulit terlihat, dan karenanya mudah dinegasikan. Ketika bencana datang, tidak terlihat bahwa hal itu adalah dampak dari aktivitas perampasan ekologis bertahun-tahun. Maka jika bencana dilihat sebagai cuaca ekstrem, atau sebagai takdir, struktur ekonomi-politik tidak perlu berubah. Tidak ada pelaku, tidak ada kesalahan, dan tidak ada yang harus bertanggung jawab.
Karena itu, membaca bencana Sumatera sebagai bagian dari perubahan iklim memang penting. Tetapi ada yang jauh lebih penting, yakni membaca bagaimana narasi perubahan iklim digunakan untuk menghapus tanggung jawab politik dan ekonomi. Yang kita butuhkan adalah perubahan cara berpikir tentang lingkungan, dan mulai mengakui bahwa banyak kerusakan lingkungan terjadi karena keputusan politik yang berselingkuh dengan kuasa kapital.
Bencana ekologis, sekali lagi, bukan takdir dan perubahan iklim bukan alasan untuk menerima kerusakan sebagai sesuatu yang alamiah. Selama mitos semacam itu terus direproduksi oleh kekuasaan, maka kerusakan akan terus berlanjut. Mari berbenah.













