Oleh : Amirah Al Bayan
Pemerhati Perempuan
Beberapa waktu yang lalu sebuah kabar duka begitu menyesakkan dada. Seorang ibu ditemukan meninggal dunia bersama dengan dua anaknya yang masih kecil. Ia diduga meracuni kedua buah hatinya terlebih dahulu sebelum mengakhiri hidupnya sendiri. Di samping jasadnya terdapat surat yang ia tulis, tentang lelah, kecewa, dan dunia yang terlalu berat untuk dihadapi.
Berita itu singkat, tapi menyayat hati dan meninggalkan bekas mendalam. Kita terdiam, antara ngeri dan rasa tidak percaya. Bagaimana mungkin seorang ibu, sosok yang kita yakini begitu penyayang dapat melakukan hal yang begitu menyedihkan? Rasa-rasanya air mata bahkan kata-kata tidak dapat keluar untuk kejadian itu. Tapi, alih-alih pertanyaan “mengapa ia tega?” tidak terdengar lebih layak daripada “apa yang membuatnya sampai ke titik itu?”
“Kasih ibu sepanjang masa” adalah ungkapan yang tidak pernah lekang oleh waktu, namun sekarang, dapatkah hal itu dipertanyakan kembali? Bagiku, kasih ibu adalah cinta paling tulus yang pernah dikenal manusia. Ia menanggung nyeri sembilan bulan, berjaga di malam yang panjang dan tetap tersenyum di tengah letih yang tak terlihat. Jika pada akhirnya seorang ibu mengakhiri hidupnya, bahkan membawa serta anak-anak yang ia cintai, maka itu bukan karena cintanya yang hilang. Namun, ia sudah kehilangan harapan. Dunia sekelilingnya terlalu senyap untuk mendengar jeritannya, terlalu dingin untuk menampung air matanya.
Kita sering terburu-buru menyimpulkan, menyalahkan ibu yang “kehilangan naluri keibuannya”, padahal yang lebih tepat bahwa dunia inilah yang kehilangan naluri kemanusiaannya. Ada banyak ibu yang terhimpit di antara tekanan ekonomi, kekerasan rumah tangga, dan rasa gagal menjalankan peran. Ada yang tiap hari dihantui tagihan, ada yang berjuang sendirian membesarkan anak tanpa dukungan, ada pula yang terus dibandingkan, diremehkan, dianggap tak cukup berharga hanya karena tidak berpenghasilan. Mereka semua berjalan di ambang batas kewarasan dan kita, masyarakat, hanya menonton dari jauh. Tragedi seperti ini sering diberi label “gangguan jiwa” atau “depresi pascamelahirkan” atau lainnya. Penjelasan medis memang penting, tapi terlalu sempit jika berhenti di situ. Sebab akar persoalan ini lebih kompleks. Karena bukan hanya tentang satu individu yang rapuh, melainkan tentang sistem yang gagal menopang manusia di dalamnya.
Kita hidup di tengah sistem yang menuntut perempuan menjadi segalanya, ibu yang lembut, istri yang kuat, sekaligus tulang punggung ekonomi. Sementara harga kebutuhan pokok naik, biaya pendidikan dan kesehatan menjerat, dan upah suami sering kali tak cukup untuk sekadar bertahan. Dalam dunia seperti ini, banyak ibu kehilangan ruang untuk bernafas. Kelelahan menjadi norma, dan depresi menjadi sesuatu yang diam-diam dinormalisasi.
Padahal, seorang ibu tidak seharusnya memikul beban hidup sebesar itu sendirian. Ia butuh sistem yang menopangnya, bukan hanya sekadar simpati. Dalam pandangan Islam, ibu memiliki kedudukan yang sangat mulia. Rasulullah menempatkan sosok ibu tiga kali lebih utama dibanding ayah. Namun kemuliaan itu bukan hanya kata-kata indah, melainkan diwujudkan dalam aturan hidup yang nyata yang memastikan ibu dapat menjalankan perannya dengan tenang dan terhormat.
Islam menempatkan kewajiban mencari nafkah pada laki-laki. Seorang istri berhak atas nafkah penuh dari suaminya, dan jika ia tidak bersuami, maka kewajiban itu berpindah kepada wali terdekatnya. Negara pun berkewajiban memastikan para ayah memiliki pekerjaan yang layak, agar mereka mampu menafkahi keluarganya. Dalam sistem Islam, kebutuhan dasar rakyat yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan akan dijamin oleh negara tanpa biaya. Dengan jaminan seperti itu, seorang ibu tidak akan terjebak pada dilema memilih antara lapar dan waras. Ia bisa fokus mengasuh, mendidik, dan mencintai anak-anaknya tanpa dihantui kekhawatiran ekonomi.
Lebih dari itu, Islam memberi ruang bagi perempuan untuk dijaga dan dimuliakan. Saat hamil atau menyusui, ia boleh tidak berpuasa sebagai bentuk perlindungan atas kesehatannya dan bayinya. Ia dilindungi dari segala bentuk kekerasan, baik fisik maupun mental. Sebab Islam memahami, keutuhan seorang ibu adalah keutuhan sebuah generasi. Bayangkan jika sistem seperti ini benar-benar diterapkan: seorang ibu yang tak perlu khawatir tentang biaya rumah sakit, yang tahu anaknya bisa bersekolah tanpa utang, dan yang yakin suaminya mendapat pekerjaan yang manusiawi. Ibu seperti itu akan hidup dalam ketenangan, dan naluri keibuannya berkembang sempurna. Ia menjadi sumber cinta, bukan korban dari sistem yang melukainya.
Sayangnya, dunia hari ini diatur oleh logika ekonomi kapitalistik yang menilai manusia berdasarkan produktivitas, bukan kemanusiaan. Seorang ibu dihujani tuntutan untuk “tetap waras” dan “tetap kuat,” tapi jarang ada yang benar-benar memastikan bahwa ia memiliki sistem pendukung yang memadai. Negara sibuk menambal luka sosial dengan kampanye kesehatan mental, sementara akar masalahnya yaitu struktur kehidupan yang menekan, tak pernah benar-benar disentuh.
Islam tidak menolak pendekatan medis atau psikologis terhadap masalah ini. Namun Islam menegaskan bahwa penyembuhan sejati bukan hanya pada individu, tetapi juga pada sistem yang menaunginya. Sebab manusia, sebaik apa pun, akan rapuh jika hidup di bawah tatanan yang menindas. Dalam Islam, kesejahteraan ibu bukan sekadar urusan domestik, melainkan tanggung jawab publik dan negara. Karena itu, seorang ibu bisa menjalankan fungsi mulianya tanpa merasa sendirian.
Kita sering menyebut ibu sebagai “madrasah pertama bagi anak-anaknya.” Namun bagaimana madrasah itu bisa berdiri kokoh jika fondasinya rapuh? Ketika seorang ibu merasa dunia terlalu berat untuk ditanggung, itu adalah tanda bahwa ada yang salah dalam cara kita menata kehidupan. Dan ketika tragedi seperti filisida terjadi, itu bukan sekadar berita duka, melainkan alarm keras bahwa sistem sosial kita sedang sakit. Dunia seharusnya menjadi tempat aman bagi seorang ibu untuk mencintai dan dicintai. Tapi selama sistem yang menopang kehidupan masih abai terhadap kebutuhan dasarnya, tragedi akan terus berulang dalam wajah yang berbeda.
Mungkin sudah saatnya kita berhenti menyalahkan para ibu yang menyerah, tapi mulai mempertanyakan sistem seperti apa yang sudah membuat seorang ibu merasa tak lagi sanggup bertahan?













