Oleh: Bunda Khalis
Pemerhati Sosial dan Kemasyarakatan
Tragedi longsor jalan negara di Kalimantan Selatan kembali membuka mata publik tentang rapuhnya tata kelola pertambangan di daerah ini. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Selatan menegaskan bahwa longsor tersebut bukan sekadar peristiwa alam, melainkan akibat langsung dari aktivitas tambang batu bara dan pertambangan secara umum yang tidak terkendali. Jalan negara yang seharusnya menjadi infrastruktur publik justru ambruk karena tekanan ekologis yang terus-menerus dibiarkan terjadi.
WALHI Kalsel mencatat, persoalan utama terletak pada perizinan tambang yang semrawut. Banyak izin konsesi tambang di Kalimantan Selatan saling tumpang tindih, bahkan ditemukan aktivitas pertambangan yang berjalan di luar wilayah izin resmi. Negara, dalam praktiknya, memang rajin mengeluarkan izin, tetapi sangat lemah dalam melakukan pengawasan dan penegakan hukum setelah izin tersebut diberikan. Ketika izin menjadi tujuan akhir, bukan awal dari pengawasan ketat, maka pelanggaran menjadi hal yang lumrah.
Padahal, fungsi utama negara adalah melindungi rakyat dan lingkungan. Namun fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Negara lebih sering bertindak sebagai regulator administratif yang memberi karpet merah bagi aktivitas tambang, sementara kewajiban melakukan pemeriksaan, pemantauan, dan penindakan pasca-izin justru diabaikan. Akibatnya, aktivitas pertambangan yang seharusnya dikontrol berubah menjadi sumber bencana ekologis, mulai dari longsor, pengikisan lahan pertanian, kerusakan lingkungan hidup, hingga ancaman langsung bagi keselamatan masyarakat.
Contoh nyata terjadi di Kabupaten Tapin, di mana WALHI menemukan bukaan tambang di luar konsesi seluas puluhan hektar. Fakta ini menunjukkan betapa lemahnya negara dalam menjamin kepastian hukum dan pengawasan lapangan. Ketika negara gagal memastikan batas izin dan tidak hadir mengontrol aktivitas setelahnya, maka “tambang bebas” justru menjadi norma, bukan pengecualian. Hukum kehilangan wibawanya, sementara alam dan rakyat menanggung dampaknya.
Dalam kerangka sistem kapitalisme, situasi ini sesungguhnya sangat mudah dipahami. Alam dipandang semata sebagai sumber daya ekonomi yang harus diambil secepat mungkin demi keuntungan. Tidak ada visi jangka panjang tentang keberlanjutan, apalagi kesadaran bahwa alam adalah amanah yang harus dijaga. Longsor di Kalimantan Selatan adalah konsekuensi alamiah dari mekanisme pengambilan sumber daya yang berjalan tanpa kontrol, tanpa tanggung jawab, dan tanpa etika pengelolaan.
Lebih ironis lagi, WALHI menyoroti praktik perpanjangan izin konsesi tambang besar yang tetap diberikan meski kerusakan lingkungan belum dipulihkan. Ini menegaskan satu hal penting: negara lebih berfungsi sebagai fasilitator investasi daripada sebagai pengawas yang berpihak pada rakyat dan lingkungan. Kepentingan ekonomi korporasi diutamakan, sementara keselamatan publik dan keberlanjutan ekosistem berada di posisi kedua, atau bahkan diabaikan sama sekali.
Dalam perspektif Islam, kondisi ini merupakan pengkhianatan terhadap amanah kekuasaan. Islam menempatkan negara sebagai ra’in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi rakyatnya, termasuk dalam urusan pengelolaan sumber daya alam. Oleh karena itu, solusi yang ditawarkan Islam tidak bersifat tambal-sulam, melainkan menyentuh akar persoalan.
Pertama, Islam menuntut penataan ulang kepemilikan dan pengelolaan sumber daya alam. Sumber daya strategis seperti tambang tidak boleh dikelola dengan paradigma eksploitasi bebas, apalagi diserahkan sepenuhnya kepada korporasi yang berorientasi keuntungan. Negara wajib mengelolanya dengan prinsip kemaslahatan umum, bukan kepentingan segelintir pihak.
Kedua, Islam menghapus sistem ekstraktif tanpa kontrol dan menggantinya dengan prinsip amanah. Setiap pengelolaan alam harus mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan dan keselamatan manusia. Eksploitasi yang menimbulkan kerusakan dan membahayakan jiwa adalah haram dan harus dihentikan.
Ketiga, penerapan hukum syariah secara tegas dan adil menjadi kunci. Dalam Islam, pelanggaran terhadap hak publik dan perusakan lingkungan tidak ditoleransi, siapa pun pelakunya. Hukum ditegakkan tanpa tebang pilih, baik terhadap individu maupun korporasi besar.
Keempat, restorasi ekosistem dan pencegahan bencana harus menjadi prioritas negara, bukan sekadar program pelengkap. Negara berkewajiban memastikan bahwa wilayah yang rusak dipulihkan dan potensi bencana dicegah sebelum menelan korban lebih besar.
Tragedi longsor di Kalimantan Selatan bukan kecelakaan alam yang “tak terhindarkan”. Ia adalah hasil dari sistem yang gagal—sistem ekonomi yang ekstraktif, negara yang lemah dalam pengawasan, korporasi yang mengeksploitasi tanpa tanggung jawab, dan rakyat yang terus menjadi korban tanpa keadilan.
Dalam kerangka negara Islam sebagaimana dicontohkan dalam sistem Khilafah, jalan keluarnya jelas. Alam dan manusia bukan komoditas yang boleh dieksploitasi sesuka hati, melainkan amanah yang harus dijaga bersama. Negara hadir sebagai pengurus bumi dan pelindung rakyat, bukan sebagai kaki tangan investor.
Sejarah Islam memberikan teladan nyata. Pada masa Rasulullah SAW, terdapat penetapan kawasan hima, yaitu wilayah lindung yang tidak boleh dieksploitasi demi menjaga kepentingan umum dan keseimbangan alam. Kebijakan ini dilanjutkan oleh Khalifah Umar bin Khattab r.a., yang sangat tegas dalam mengawasi pengelolaan tanah dan sumber daya alam, serta tidak segan mencabut penguasaan lahan jika terbukti merugikan rakyat dan lingkungan.
Dengan sistem yang berlandaskan syariah, amanah kekuasaan, dan orientasi kemaslahatan publik, bencana seperti longsor tambang di Kalimantan Selatan dapat ditekan. Rakyat tidak lagi harus membayar mahal atas kelalaian regulasi dan kerakusan eksploitasi. Inilah saatnya menata ulang sistem, bukan sekadar menambal kerusakan yang terus berulang.













