Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
HEADLINE

WALHI Sebut Banjir di Kalsel Bukan Bencana Alam, Melainkan Kejahatan Ekologis

×

WALHI Sebut Banjir di Kalsel Bukan Bencana Alam, Melainkan Kejahatan Ekologis

Sebarkan artikel ini
IMG 20251228 145501

BANJARBARU, Kalimantanpost.com – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Selatan menegaskan bahwa banjir yang kembali melanda sejumlah wilayah di Kalimantan Selatan bukanlah bencana alam semata.

Banjir tersebut dinilai sebagai kejahatan ekologis akibat kegagalan negara dalam mengelola lingkungan hidup, lemahnya mitigasi bencana, serta masifnya kerusakan ekosistem yang dibiarkan terjadi.

Kalimantan Post

Menurut WALHI, curah hujan tinggi hanya menjadi pemicu. Akar persoalan sesungguhnya terletak pada rusaknya daya dukung dan daya tampung lingkungan akibat deforestasi, aktivitas pertambangan, perkebunan monokultur skala besar, serta pemberian izin pengelolaan hutan dan lahan yang tidak terkendali.

“Kerusakan lingkungan di Kalimantan Selatan adalah hasil kebijakan eksploitatif yang terus diberi ruang oleh negara. Dalam kondisi ekosistem yang rapuh, hujan sedikit saja bisa berujung banjir besar,” tegas WALHI dalam pernyataannya.

WALHI pun menilai pemerintahan Prabowo–Gibran belum menunjukkan komitmen nyata dalam penyelamatan lingkungan hidup.

Berbagai kebijakan yang diklaim sebagai program pembangunan, pangan, energi, dan pertahanan justru dinilai mempercepat perampasan ruang hidup masyarakat serta memperdalam krisis ekologis.

Di tingkat global, WALHI juga menyoroti kegagalan pertemuan iklim dunia seperti Conference of the Parties (COP), termasuk COP 30 di Brasil.

Forum tersebut dinilai tidak menyentuh akar persoalan krisis iklim, melainkan hanya melahirkan skema yang menguntungkan negara maju dan korporasi melalui konsep kapitalisme hijau.

Di Kalimantan Selatan, program REDD+ dan skema perdagangan karbon turut mendapat sorotan.

Bahkan WALHI menilai program tersebut tidak menghentikan deforestasi, justru menjadikan hutan sebagai komoditas baru dalam pasar karbon global.

“REDD+ memberi legitimasi bagi negara dan korporasi perusak lingkungan untuk terus mencemari wilayahnya, dengan dalih membeli pengurangan emisi dari wilayah lain,” ujar WALHI. Padahal, hutan-hutan di Kalimantan Selatan telah lama dijaga oleh masyarakat adat dan lokal tanpa skema karbon.

Baca Juga :  Ini Himbauan MUI Kalsel Terkait Kegiatan Rutin Bulan Rajab dan Peringatan Haul Abah Guru Sekumpil

WALHI menegaskan bahwa kerusakan lingkungan tidak dapat ditebus dengan sertifikat karbon. Pemulihan seharusnya dilakukan langsung di lokasi kerusakan, bukan dengan memindahkan tanggung jawab ke wilayah lain.

Berdasarkan Catatan Akhir Tahun (CATAHU) WALHI Kalimantan Selatan 2025, kondisi lingkungan di provinsi ini telah melewati batas aman.

Dari total luas wilayah sekitar 3,7 juta hektare, 51,57 persen atau sekitar 1,9 juta hektare telah dibebani izin industri ekstraktif.

Luasan tersebut setara hampir 29 kali luas DKI Jakarta. Sementara itu, sisa tutupan hutan primer di Kalimantan Selatan hanya sekitar 49.958 hektare, angka yang dinilai sangat timpang dibandingkan luas konsesi tambang, sawit, dan kehutanan.

Kondisi ini menjadi penyebab berulangnya banjir, longsor, krisis air bersih, serta hilangnya sumber penghidupan masyarakat.

WALHI juga menilai pemerintah selama ini lebih fokus pada penanganan dampak, seperti distribusi bantuan dan normalisasi sungai, tanpa menyentuh penyebab utama bencana. Evaluasi dan pencabutan izin industri ekstraktif terus tertunda, sementara kerusakan terus meluas.

Dalam banyak kasus, pemerintah juga dinilai enggan menetapkan status bencana secara layak, sehingga masyarakat kehilangan hak atas pemulihan dan perlindungan pascabencana.

Selain itu, lambannya penindakan terhadap aktivitas ekstraktif ilegal turut memperparah kerusakan lingkungan. Aparat penegak hukum dinilai belum bertindak tegas dan cepat dalam menindak pelanggaran.

{{Tuntutan WALHI}}

Atas kondisi tersebut, WALHI Kalimantan Selatan menyampaikan lima tuntutan kepada pemerintah, yakni:
1. Menghentikan seluruh perluasan dan operasi industri ekstraktif yang merusak lingkungan.
2. Mengevaluasi dan mencabut izin-izin bermasalah tanpa menunggu jatuhnya korban.
3. Menghentikan solusi palsu krisis iklim, termasuk REDD+ dan perdagangan karbon.
4. Melakukan pemulihan lingkungan berbasis keadilan ekologis dan pengakuan wilayah kelola rakyat.
5. Menegakkan hukum secara tegas terhadap perusak lingkungan.

Baca Juga :  Jelang Pengajian 5 Rajab Haul Abah Guru Sekumpul, Supian HK Hadir dan Pimpin Apel Gelar Pasukan Pengamanan di Lapangan Murjani

WALHI menegaskan, banjir di Kalimantan Selatan merupakan peringatan keras bahwa krisis ekologis telah menjadi kenyataan. Selama negara terus berpihak pada kepentingan korporasi dan menutup mata terhadap akar persoalan, bencana akan terus berulang dan masyarakat akan menjadi korban.(nug/KPO-1)

Iklan
Iklan