Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan
Opini

Abaikan Bahaya Corona Demi Ekonomi

×

Abaikan Bahaya Corona Demi Ekonomi

Sebarkan artikel ini

Oleh : Siti Rahmah
Pengajar

Virus Corona telah menjadi pemberitaan internasional hampir sepanjang satu bulan ini. Tidak lain karena dampak dan bahaya yang ditimbulkan dari virus Corona yang bisa mematikan. Organisasi Kesehatan Dunia mendeklarasikan virus Corona baru sebagai darurat kesehatan masyarakat pada Jumat (31/01/2020). Lebih dari 8.000 kasus virus tersebut telah dikonfirmasi di seluruh dunia, dengan sebagian besar di Tiongkok.

Baca Koran

Wabah ini pun berdampak buruk bagi Indonesia. Dampak kerugian Corona bagi perekonomian Indonesia menyasar ke sektor pariwisata, perdagangan, investasi, dan pertambangan. Pada titik ekstrim, sektor pariwisata bisa terkena dampak berupa penurunan jumlah wisatawan, baik mancanegara maupun domestik, terutama yang berkunjung ke Bali. Hal ini terjadi karena dari Bali terdapat penerbangan langsung dari Wuhan, China, asal virus tersebut.

Penurunan kunjungan turis bisa terjadi akibat travel allert dari negara-negara yang warganya banyak ke Indonesia, terutama Bali. Hal ini sangat mungkin terjadi karena China merupakan negara asal turis mancanegara terbesar ketiga di Indonesia. Per November 2019, jumlah turis Negeri Tirai Bambu yang berkunjung ke Indonesia sebanyak 147.500 pelancong atau 11,7 persen dari total turis asing. Komposisi ini menjadi tantangan bagi Indonesia untuk meyakinkan dunia bahwa virus Corona tidak akan masuk ke Indonesia.

Apabila terjadi outbreak di daerah wisata maka tindakan paling ekstrim adalah menutup atau mengisolasi sementara tempat wisata tersebut untuk kunjungan. Secara ekonomi, hal ini akan merugikan dua hal sekaligus. Pertama, perolehan devisa dan kedua geliat ekonomi lokal menjadi terganggu.

Sangat disesalkan, terbukti pemerintah lalai. Tampak dari kecerobohan terhadap sumber wabah, ketergantungan pada WHO, serta ketidaksungguhan mengupayakan pencegahan dan pengobatan. Kecerobohan terhadap sumber wabah tampak dari tidak adanya keputusan pemerintah melarang pendatang dari Cina masuk ke Indonesia, sejak dari terjadinya wabah di Wuhan hingga saat ini.

Pemeriksaan suhu di bandara serta pelabuhan dan tindakan apa pun itu, tetapi dengan tetap mengizinkan pendatang dari Cina masuk ke Indonesia justru memfasilitasi terjadinya wabah di Indonesia. Sebab, riset terkini yang dimuat di The Lancet, menunjukkan penderita infeksi 2019-nCoV bisa hanya dengan gejala ringan bahkan tanpa gejala. Karena begitu sulitnya mendeteksi pengidap infeksi 2019-nCoV, maka yang harus dilakukan pemerintah adalah pencabutan visa bebas kunjung bagi warga negara Cina.

Kelalaian pemerintah berikutnya adalah begitu percaya bahkan pembebek setia WHO, yang ketulusan WHO sendiri dalam banyak peristiwa sangat patut dipertanyakan. Juga terbukti pada kasus 2019-nCoV dengan menyatakan wabah 2019-nCoV belum menjadi persoalan dunia sementara indikasi ke arah itu begitu kuat.

Juga, sangat disesalkan ketidaksungguhan pemerintah dalam upaya pencegahan dengan peningkatan imunitas masyarakat melalui asupan bergizi. Sebab, nyaris tanpa tindakan, jauh dari langkah antisipatif, praktis produktif yang berbuah kebaikan pada setiap individu masyarakat.

Ia menyatakan, “Ini termasuk self-limited disease’ artinya bisa disembuhkan sendiri, karena itu jaga nomor satu jaga imunitas tubuh itu yang paling penting”. Sembari menyampaikan beberapa hal yang bisa menurunkan daya tahan tubuh seperti asupan gizi (Antaranews.com).

Baca Juga :  Warisan dan Tantangan untuk Wali Kota Hanyar

Di saat yang bersamaan ada puluhan bahkan ratusan juta penduduk Indonesia yang miskin. Dan, kemiskinan itu sendiri identik dengan buruknya akses pada segala aspek yang penting bagi peningkatan daya tahan tubuh. Seperti asupan bergizi, sanitasi dan air bersih, tempat tinggal dan perumahan yang sehat.

Ini semua jelas-jelas membutuhkan uluran tangan pemerintah untuk penyelesaiannya. Ini di satu sisi. Di sisi lain, angka kesakitan berbagai penyakit menular yang menjadi faktor risiko kematian 2019-nCoV begitu tinggi, seperti TBC, HIV, dan malaria.

Kelalaian itu juga tampak pada upaya pengobatan. Karena efektivitas kemampuan fasilitas kesehatan di Indonesia terbatas pada jumlah tertentu. Sebagaimana ditegaskan Tri Yunis Miko Wahyono, Ketua Departemen Epidemiologi di Universitas Indonesia, “Dari 100 rumah sakit, paling banyak rata-rata masing-masing merawat 3 pasien, jadi sekitar 300 pasien yang mampu di rawat di rumah sakit isolasi itu.”

Lebih lagi, tambah Miko, jika jumlah pasien terus bertambah, ada kemungkinan pihak rumah sakit mengalami kekurangan peralatan bagi petugas kesehatan, seperti pakaian pelindung. (bbc.com). Dengan demikian dari aspek mana pun, jelas sekali pemerintah Indonesia lalai dan tidak siap menghadapi wabah 2019-nCoV. Yang bila ditelisik secara mendalam semua kelalaian itu berpangkal dari berbagai paradigma batil sekuler yang menyandera pemerintah. Baik yang terhimpun dalam konsep good governance, maupun aspek-aspek lain.

Yang semua itu berpangkal dari kehadiran rezim berkuasa sebagai pelaksana sistem kehidupan sekuler kapitalisme, khususnya sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme itu sendiri. Sementara itu, membebaskan Indonesia dan dunia dari ancaman pandemi kuman mematikan merupakan persoalan yang mendesak.

Islam memiliki kekayaan konsep dan pemikiran cemerlang yang bersifat praktis. Terpancar dari akidah Islam yang sahih dan mengalir dari telaga kebenaran Alquran dan Sunah serta apa yang ditunjukkan oleh keduanya. Bahkan telah teruji kemampuannya di seluruh penjuru dunia selama puluhan abad.

Sehingga, baik di tataran teoretis maupun praktis, hanya paradigma dan konsep-konsep Islam berupa syariah kafah satu-satunya pembebas Indonesia dan dunia dari penderitaan ancaman global berbagai wabah juga wabah 2019-nCoV yang mematikan.

Berwujud sistem ekonomi Islam dan sistem politik Islam, yakni khilafah, yang bila diterapkan secara praktis akan menjadi solusi segera yang dapat dirasakan dunia kebaikannya. Berikut sejumlah paradigma dan konsep Islam tersebut.

Negara dan pemerintah adalah pihak yang paling bertanggung jawab melakukan tindakan pencegahan bahaya apa pun termasuk wabah virus mematikan 2019-nCoV. Yang demikian itu karena fungsinya yang begitu vital, sebagaimana ditegaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya, “Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya”. (HR Al- Bukhari).

Baca Juga :  ARTI WAKTU

Sementara kemudaratan atau bahaya itu sendiri apa pun bentuknya wajib dicegah, sebagaimana tutur Rasulullah SAW, dari Abu Sa’id bin Malik bin Sinan Khudri ra : “Tidak ada mudarat (dalam Islam) dan tidak boleh menimbulkan mudarat (penderitaan)”. Sehingga haram negara hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator, apa pun alasannya

Negara wajib melarang masuk warga negara yang terbukti menjadi tempat wabah. Yang pada kasus ini adalah Cina, karena Rasulullah SAW bertutur melalui lisannya yang mulia, “Jika kalian mendengar suatu negeri dilanda wabah, maka jangan kalian memasukinya. Jika wabah itu terjadi di negeri yang kalian berada di dalamnya, maka jangan kalian keluar darinya”. (HR Bukhari dan Muslim).

Negara harus terdepan dalam riset dan teknologi tentang kuman-kuman penyebab wabah, alat kedokteran, dan obat-obatan. Baik untuk tujuan pencegahan dan mengatasi wabah sesegera mungkin, maupun untuk tujuan menimbulkan rasa sungkan dan takut bagi negara kafir penjajah pelaku kejahatan agenda hegemoni senjata biologi, sebagaimana diperintah Allah SWT yang artinya, “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu…”.

Negara wajib melakukan langkah praktis produktif untuk peningkatan daya tahan tubuh masyarakat. Berupa pembagian segera asupan bergizi kepada setiap individu masyarakat terutama yang miskin. Di samping menjamin pemenuhan kebutuhan pokok individu dan publik yang semua itu penting bagi terwujudnya sistem imun yang tangguh.

Baik pangan bergizi, sanitasi dan air bersih hingga perumahan dan pemukiman yang sehat. “Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya”. (HR Al- Bukhari).

Ketersediaan fasilitas kesehatan terbaik dengan jumlah yang memadai lagi mudah diakses kapan pun, di mana pun, oleh siapa pun. Di samping itu juga disertai kelengkapan alat kedokteran dan obat-obatan terbaik yang efektif bagi penangan masyarakat yang dicurigai dan atau terinfeksi wabah termasuk 2019-nCoV. Pelayanan kesehatan berkualitas ini diberikan secara cuma-cuma.

Kekuasaan tersentralisasi, sementara administrasi bersifat desentralisasi. Ditegaskan oleh Rasulullah saw yang artinya, “Apabila dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya”. Aspek ini meniscayakan negara memiliki kewenangan yang memadai untuk pengambilan tindakan yang cepat dan tepat dalam penanggulangan dan pembebasan dunia dari serangan wabah mematikan.

Pelaksanaan prinsip sahih ini beserta keseluruhan ketentuan syariat Islam secara kafah dalam bingkai khilafah, bersamaan pemanfaatan teknologi terkini meniscayakan segera terwujud Indonesia dan dunia yang bebas dari serangan berbagai wabah mematikan.

Pada tataran inilah, kembali pada pangkuan syariah kaffah, khilafah adalah kebutuhan yang mendesak bagi bangsa ini dan dunia. Lebih dari pada itu, khilafah adalah syariat Allah SWT yang diwajibkan pada kita semua.

Iklan
Iklan