Oleh : Ismail Wahid
Dosen dan Pemerhati Masalah Keagamaan
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS. Al Baqarah : 183).
Ayat tersebut di atas, menyatakan bahwa kewajiban berpuasa adalah bukan hal yang baru, karena Allah telah mewajibkan kepada umat terdahulu sesuai dengan syariat yang berlaku bagi mereka. Menurut Sayyid Tanthawi dalam tafsirnya (at-Tafsir al-Wasith ; 1/299), menyatakan bahwa salah satu faedah Allah menginformasikan hal tersebut adalah agar umat ini bisa lebih sempurna menjalankan kewajiban puasa, dibanding apa yang telah dikerjakan oleh umat terdahulu.
Di dalam ayat 183 yang dikemukakan di atas, juga dijelaskan tujuan dari pelaksanaan ibadah puasa, yaitu untuk mencapai ketakwaan. Kata takwa berasal dari kata “waqa–yaqi-waqayah”, yang artinya memelihara. Orang yang bertakwa artinya orang yang mau menjaga dan memelihara dirinya dari api neraka dengan selalu menjalankan perintah Rabb-Nya dan menjauhi larangan–larangan-Nya. (Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat At-Tahrim ayat 6.
Oleh karena itu, takwa sebagaimana disebutkan dalam definisi, adalah merupakan konsekuensi logis dari keimanan yang kokoh yang dipupuk dengan “muraqabatullah”, merasa takut terhadap murka dan azab Allah, serta selalu mengharapkan limpahan karunia dan ampunan Allah SWT.
Dengan takwa yang diperoleh dari puasa, seorang muslim sebagaimana dikatakan oleh seorang ulama, akan terlindungi dari perbuatan tercela, hatinya diliputi rasa takut kepada Allah sehingga senantiasa terjaga dari segala perbuatan dosa. Di malam hari mengisi waktu dengan kegiatan ibadah seperti salat tarawih, membaca Al-Qur’an, berzikir, bersedekah, membantu anak yatim dan fakir miskin serta melaksanakan qiyamul lail secara rutin dan lebih suka menahan kesusahan dari pada mencari hiburan atau kesenangan, rela merasakan lapar dan haus dan membayangkan atau merasakan bahwa ia telah dekat ajal yang akan menjemput, sehingga mendorongnya untuk selalu memperbanyak segala amal ibadah dan perbuatan kebaikan lainnya kepada sesama dan makhluk Allah lainnya.
Dari sinilah sebagian ulama mengatakan “at–taqwa jima’u kullil khair”, takwa adalah kumpulan dari seluruh kebaikan. Baik kebaikan pribadi maupun kebaikan sosial. Nilai puasa semacam inilah yang ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam beberapa sabdanya.
Muncul pertanyaan, bagaimana cara untuk mencapai atau mendapatkan ketakwaan. Apa hanya cukup dengan berpuasa orang lantas menjadi takwa. Karena ternyata banyak orang yang berpuasa atau mengerjakan shalat, namun prilakunya tidak mencerminkan sebagai orang yang bertakwa. Jawabannya adalah bahwa shalat, puasa dan berbagai ibadah lainnya tidak otomatis mampu membuat seseorang menjadi bertakwa, walaupun hal tersebut menjadi sarana yang wajib dilakukan, jika dalam pelaksanaan ibadah tersebut hanya sekedar ritual, tidak dilandasi rasa cinta kepada Allah atau ketundukan kepada Allah dan muraqabatullah. Dengan adanya muraqabatullah akan lahir al-haya atau rasa malu. Rasa malu karena dilihat Allah dan inilah yang akan mampu mendorong untuk berbuat kebaikan dan menjauhi segala larangan Allah. Dalam hal ini, Syaikh Musthafa as-Siba’i, memberikan saran dengan mengatakan, “Apabila Anda terdorong untuk berbuat kemaksiatan, maka tahanlah dengan mengingat Allah. Jika tidak tertahan, maka ingatlah akhlak pasa salafus saleh.
Jika tidak juga tertahan, maka ingatlah malu jika dilihat orang. Apabila kemaksiatan tersebut tetap tidak tertahan, maka ketahuilah bahwa ketika itu anda telah berubah menjadi hewan”.
Apabila seseorang telah mampu untuk mencapai dan mengistiqamahkan ketakwaan, maka berbagai keistemewaan akan Allah berikan kepadanya. Baik di dunia maupun di akherat. Di dunia antara lain akan memberikan solusi terhadap probelemanya, diluaskan rezekinya (QS. ath-Talak : 2-3), dimudahkan urusan hidupnya (QS. ath-Thalak : 4), dicurahkan berbagai keberkahan dari langit (QS. al-Arif : 96), disayang Allah, malaikat dan seluruh alam (QS. Ali Imran : 76), serta dijaga dari kejahatan musuh (QS. Ali Imran : 102). Adapun keistemewaan di akhirat, diantaranya dengan ketakwaan yang dimiliki akan menjadi syarat terkabulnya amal. Hal ini terdapat dalam Al Qur’an (QS. Al Maidah ; 27), pelebur dosa dan pelipat ganda pahala (QS. ath-Thalaq : 5), dan tentunya menjadi syarat pewaris surga (QS. Maryam : 63). Tidak hanya menjadi pewaris surga, mereka orang-orang yang bertakwa juga menjadi penghuni VIP di surge (QS. Maryam : 85 dan Az-Zumar : 77).
Momentum bulan suci Ramadhan ini hendaknya mampu dioptimalkan mengisinya secara penuh dengan berbagai amal ibadah baik yang wajib dan hal hal yang disunnahkan oleh Allah SWT, sehingga akhirnya seusai Ramadhan akan mendapat predikat muttaqin.
Demikian pengertian sekilas takwa dan keutamaannya dan semoga Allah selalu menganugerahkan pertolongan-Nya kepada kita semua sehingga mampu untuk menjadi orang yang selalu bertakwa dan tetap dalam ketakwaan sampai akhir hayat. Aamiin.