Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Banjarmasin

Dunia Digital dan Medsos Ancaman Munculnya Radikalisme dan Terorisme

×

Dunia Digital dan Medsos Ancaman Munculnya Radikalisme dan Terorisme

Sebarkan artikel ini
Hal 9 3 Klm Diseminasi Radikalisme
KAJIAN – Inikah kajian Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) indeks potensi radikalisme di Kalimantan Selatan 2020. (KP/Istimewa)

Sementara untuk penanganan, sejauh ini sudah melakukan upaya seperti komunikasi terhadap guru agama atau penceramah supaya turut menekan ajaran radikalisme melalui kegiatannya

BANJARMASIN, KP – Dari hasil kajian Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) indeks potensi radikalisme di Kalimantan Selatan tahun 2020 mencapai 10,4 atau masuk kategori waspada menuju aman.

Baca Koran

Ketua FKTP Kalsel, Drs. Aliansyah Mahadi, M.APp menyampaikan bahwa potensi radikalisme tersebut paling berbahaya karena dunia dugital maupun media sosial (medsos) mudah di jangkau warga khususnya anak-anak hingga remaja saat ini.

“Kenapa kita katakan berbahaya, karena anak-anak sekarang cukup akrab dengan medsos, seperti youtube dan lainnya, dan kekhawatiran kita konten di sana ada yang menganut radikalisme,” katanya.

Sementara untuk penanganan, sejauh ini pihaknya sudah melakukan upaya seperti melakukan komunikasi terhadap guru agama atau penceramah supaya turut menekan ajaran radikalisme melalui ceramahnya.

Sementara itu Kabid Pengkajian dan Penelitian, Dr. Ir. H. Muhammad Fauzi, MP menyebutkan, potensi radikalisme dilihat dari tiga dimensi yaitu dimensi pemahaman sebanyak 6,1%, dimensi sikap sebanyak 23,7% dan dimensi tindakan sebanyak 1,3%.  

Artinya masyarakat yang tidak paham atau sekedar ikut saja cukup tinggi. Indeks potensi radikalisme di Kalimantan Selatan cenderung lebih tinggi dikalangan rural dan perempuan. 

Indeks potensi radikalisme juga cenderung pada kalangan gen Z, dan mereka yang aktif di internet dan sosial media. Indeks potensi radikalisme cenderung lebih tinggi pada mereka yang terliterasi dan pada mereka yang eksklusif.

 Potret literasi digital di Kalimantan Selatan menunjukkan 54,4% rendah.  Artinya responden menerima informasi begitu saja, tidak mencari informasi pembanding dan menshare informasi tersebut.

Akibat literasi yang masih rendah ini maka konten-konten keagamaan yang terima oleh responden beberapa berpotensi memicu provokasi (penistaan agama, ujaran kebencian, dll).

Internet merupakan alat informasi yang paling banyak digunakan karena ada 73% responden yang mendapatkan informasi dari internet yang terbesar dengan durasi terlama dalam penggunaan internet adalah dilakukan oleh generasi Millennial dan Gen Z. 86 % menyatakan menerima informasi keagamaan dari internet. 

Akun sosial media yang paling banyak digunakan adalah Facebook dan Instagram sedangkan akun untuk pesan yang paling banyak digunakan adalah Whatsapp dan Facebook Messengers.

Bila menggunakan internet maka yang paling banyak digunakan adalah Youtube; kemudian Facebook dengan bentuk konten yang dicari adalah video dan narasi tulisan. Konten yang didapatkan adalah tentang tata cara peribadatan; keimanan; sejarah agama; nasib saudara seiman ditempat lain.

Indeks kebhinekaan di Kalimantan Selatan mencapai 84,8. Indeks kebhinekaan dari sisi pemahaman 92,2 pada sisi sikap 77,5. Masyarakat yang eksklusif (eksklusivisme) hanya mencapai 2% sedangkan yang inklusif 98%. Jadi pada dasarnya masyarakat di Kalimantan Selatan terbuka serta bisa menerima perbedaan. 

Maraknya terpaan paham radikalisme oleh gerakan radikal melalui berbagai media termasuk media sosial membuat masyarakat Indonesia rawan terpapar paham ini, bahkan tidak sedikit yang akhirnya menjadi simpatisan dan pelaku teror.

Faktor yang membuat terpaan paham radikalisme berhasil membuat masyarakat terpapar adalah adanya kerentanan sosial. Kerentanan sosial merupakan kondisi negatif di masyarakat yang membuat mereka mudah dimasuki berbagai paham negatif.

Jika negara mampu mengelola kerentanan tersebut menjadi kuat maka kerentanan tersebut berubah menjadi daya tangkal. Adapun daya tangkal yang dimaksud adalah (1) Kepercayaan pada Hukum, (2) Kesejahteraan, (3) Pertahanan Keamanan Masyarakat, (4) Keadilan, (5) Kebebasan, (6) Profil Keagamaan, dan (7) Kearifan Lokal.

Berdasarkan temuan hasil survey Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme tentang daya tangkal paling signifikan secara nasional adalah kearifan lokal dan kesejahteraan, pengetahuan masyarakat terkait kearifan lokal yang sangat rendah, serta pola pendidikan keluarga yang merupakan media paling efektif dalam menangkal potensi radikalisme.

Berdasarkan temuan hasil survey nasional tahun 2017 bahwa potensi radikalisme masyarakat di Indonesia menunjukkan angka yang perlu diwaspadai yaitu 55,12 pada rentang 0 sampai 100.

Angka ini menunjukkan bahwa tingkat potensi radikalisme tersebut berada pada kategori Potensi Sedang. Potensi Radikal tertinggi dicerminkan oleh faktor dominan dari Potensi Pemahaman Radikal yang berada pada angka 60,67 (Potensi Kuat) dan Potensi Sikap Radikal pada angka 55,70 (Potensi Sedang).

Selanjutnya berdasarkan survey 2019 menunjukkan bahwa indeks potensi radikalisme secara nasional mencapai 38,43 (kategori rendah) pada skala 0 – 100.  Artinya potensi radikalisme secara nasional mengalami penurunan 16,69 dibanding tahun 2017 yang mencapai 55,12 (kategori sedang) dan potensi radikalisme dikalangan terdidik pada tahun 2018 yang mencapai 42,58 (kategori sedang).

Menurut Suhardi (2019) turunnya angka indeks tersebut disebabkan oleh empat faktor yaitu, kearifan lokal, kampanye di media sosial, pola pendidikan keluarga, dan kontra atau program penangkalan radikalisme.

Di Kalimantan Selatan, potensi radikalisme pada tahun 2018 dan 2019 menunjukkan angka yang aman menuju waspada. Hanya saja, kemudian pada tanggal 1 Juni 2020  terjadi kejadian di Kabupaten Hulu Sungai Selatan Kalimantan Selatan yaitu tepatnya di Kecamatan Daha Selatan. 

Terjadi penyerangan terhadap pos polisi oleh seseorang yang diguga teroris.   Polisi menyita sejumlah barang bukti saat olah tempat kejadian perkara (TKP). Di antaranya satu unit sepeda motor yang dipakai pelaku, sebuah jerigen bensin, sebilah pedang ‘Samurai’.

Kemudian, dokumen terkait grup teroris internasional ‘ISIS’ seperti syal dan tanda pengenal berlogo ‘ISIS’, serta selembar surat wasiat bertulis tangan dan kitab Alquran kecil yang disimpan dalam tas pinggang pelaku.

Berdasarkan hasil kajian dan FGD dengan para pemangku kebijakan serta tokoh budaya di 32 provinsi, didapatkan konsep yang cukup komprehensif mengenai definisi dan dimensi kearifan lokal.

Kearifan lokal merupakan nilai-nilai kebijakan nan arif yang muncul akibat interaksi manusia dengan alam, maka kearifan lokal dibuat sebagai tata nilai yang mengarahkan manusia agar bisa hidup berdampingan secara sinergis dengan alam untuk kemaslahatan.

Kearifan lokal sendiri terdiri atas 4 dimensi besar yaitu tata nilai/moral, tutur lisan, tata ruang (landscape), dan kesenian yang kesemuanya berfungsi sebagai situs untuk mengingatkan manusia tentang aturan-aturan yang harus dijaga demi keseimbangan alam tempat manusia melangsungkan kehidupan.

Dari ke empat dimensi kearifan lokal tersebut, tutur lisan merupakan kearifan lokal yang paling tinggi pengaruh dan signifikansinya sebagai daya tangkal potensi radikalisme-terorisme. (vin/K-3)

Baca Juga :  HUT Bhayangkara ke-79, Wali Kota Banjarmasin Apresiasi Peran Polri Jaga Kondisi Trantibum Kota Seribu Sungai
Iklan
Iklan