Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Bantuan Salah Sasaran, Kok Bisa?

×

Bantuan Salah Sasaran, Kok Bisa?

Sebarkan artikel ini

Oleh : Gita Pebrina Ramadhana, S.Pd, M.Pd
Dosen STAI Darul Ulum Kandangan, Pemerhati Masalah Pendidikan dan Remaja

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan pelaksanaan Program Indonesia Pintar (PIP) belum memadai. Hal ini disebabkan karena data yang digunakan sebagai sumber pengusulan calon penerima tidak handal. Adapun data yang digunakan adalah data pokok pendidikan (dapodik). Sedangkan, Nomor Induk Siswa Nasional dan Nomor Induk Kependudukan belum digunakan sebagai acuan untuk pemberian bantuan.(https://www.cnbcindonesia.com/news/20210622165926-4-255132/duh-program-indonesia-pintar-rp28-t-tak-tepat-sasaran)

Kalimantan Post

Hal ini mengakibatkan penyaluran bantuan untuk PIP belum tepat sasaran dan masih banyak anak yang seharusnya mendapatkan bantuan justru tidak menerima. BPK mencatat, dana bantuan PIP sebesar Rp2,86 triliun yang diberikan kepada sebanyak 5.364.986 siswa tidak tepat sasaran, karena diberikan kepada siswa yang tidak layak atau tidak diusulkan menerima.

Tidak hanya PIP, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan penyaluran Bantuan Produktif Usaha Mikro (BPUM) yang dilaksanakan Kementerian Koperasi dan UKM dalam rangka penanganan dampak Covid-19 juga tidak tepat sasaran. Laporan Iktisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2020 BPK mencatat Rp1,18 triliun terdistribusi untuk 414.590 penerima bermasalah.( https://tirto.id/data-penerima-bpum-semrawut-blt-umkm-rp118-triliun-salah-sasaran-ghcl?utm_source=CopyLink&utm_medium=Share)

Sampai dengan pemeriksaan berakhir, dana BPUM gagal salur sebesar Rp23,5 miliar tersebut belum dikembalikan ke kas negara serta sebesar Rp43.200.000 masih belum mendapatkan jawaban dari Kementerian Keuangan sesuai surat KUKM Nomor 262/Dep.3/III/2021 tanggal 24 Maret 2021 tentang pengembalian dana penerima BPUM double debt sehingga belum jelas perlakuan pendataannya.

Data Semrawut, Bikin Kalut!

Dalam bantuan PIP ini, BPK merekomendasikan Kemendikbud untuk melakukan verifikasi dan validasi isian dapodik dari satuan pendidikan dalam rangka pengelolaan PIP serta melakukan cleansing dan perbaikan data sesuai ketentuan tata kelola data yang berlaku.

Kemendikbud juga diharapkan memiliki prosedur standar bagi operator dapodik untuk mengusulkan penerima PIP, menggunakan NISN dan NIK sebagai acuan pemberian bantuan. BPKS juga minta Kemendikbud untuk mempertanggungjawabkan penyaluran PIP kepada siswa yang tidak layak dan belum dicairkan dengan menyetorkan kembali ke kas negara.

Baca Juga :  KEBANGKITAN UMAT

Begitupun dengan BPUM, Penyaluran tidak tepat sasaran ini, menurut Arif, disebabkan oleh dua faktor yakni, tidak adanya database tunggal terkait UMKM dan pandemi Covid-19.

Namun, dengan melakukan perbaikan tata kelola dan sebagainya, apakah manajamen tersebut sudah cukup dan berhasil? Kenyataannya tidak. Buktinya setiap ada bantuan yang digelontorkan pihak pemerintah di tiap tahunnya selalu terjadi ketidaktepatan sasaran dalam pemberian bantuan.

Dari data diatas bocornya dana PIP maupun BPUM untuk penanganan dampak Covid-19 merupakan hal yang sangat merugikan negara. Dana tersebut diperoleh negara dengan cara yang tidak mudah, baik itu dari pajak yang dipungut dari rakyat maupun utang ke luar negeri. Namun ternyata, dana itu merembes kemana-mana, persis perahu retak.

Persoalannya ada pada data yang semrawut. Anehnya, tidak ada kesamaan data kementerian. Data pemerintah pusat dan daerah pun tidak sinkron.

Akibat buruknya manajemen data, baik siswa PIP dan pelaku UMKM yang semestinya berhak mendapat bantuan menjadi kehilangan haknya. Selama Juni 2021 saja, Transparency International Indonesia (TII) mencatat ada 44 pelaku usaha yang mengadu terkait salah sasaran bantuan ini.

Data yang semrawut ini berpotensi menjadi celah terjadinya tindakan korup. Misalnya adanya pelaku UMKM fiktif, pungutan liar saat mengurus Surat Keterangan Usaha (SKU), dan dana yang tidak digunakan untuk usaha. Padahal, setiap rupiah uang negara haruslah dipertanggungjawabkan secara benar. Ini menyangkut hak rakyat dan tugas negara sebagai pengurus rakyat.

Ketika ada rakyat yang tidak mendapatkan haknya, itu berarti penguasa telah bertindak zalim. Sementara ketika ada dana yang diberikan tidak sesuai dengan yang seharusnya, itu berarti penguasa tidak bersikap amanah. Sementara jika ada oknum yang sengaja membocorkan dana negara untuk kepentingan pribadi, maka dia telah berbuat khianat.

Sistem Islam Mewujudkan Fungsi Riayah

Kebocoran uang negara terjadi karena lemahnya fungsi riayah (pengurusan) dan pengawasan oleh negara. Penguasa yang me-riayah (mengurusi) rakyatnya akan memastikan setiap rakyat memperoleh haknya. Juga memastikan setiap sen uang negara disalurkan pada yang berhak.

Baca Juga :  Eksistensi dan Peran Sultan Muhammad Seman

Inilah akibat sistem Kapitalisme, yang sangat memudahkan para pelaku untuk melakukan tindak korupsi. Sistem kapitalisme yang membuat para pelaku terus ingin mencari untung tanpa pandang halal haram dan tidak mengenal apakah merugikan semua rakyat atau tidak. Yang terpenting untung bagi individunya.

Berbeda dengan sistem Islam. Dalam sistem Islam, para Khalifah mewujudkan fungsi riayah dalam kekuasaan mereka. Khalifah Ali bin Abi Thalib, misalnya, memberikan panduan kerja pada para pejabat, sehingga hak-hak rakyat bisa ditunaikan dengan baik.

Khilafah mendistribusikan harta negara pada yang berhak berdasarkan data kependudukan yang valid. Hal ini sudah dilakukan secara profesional sejak masa Umar bin Khaththab ra, karena sejak masa beliaulah pemasukan negara Khilafah jumlahnya amat besar.

Umar ra mendistribusikan harta negara di Baitulmal berdasarkan prinsip keutamaan. Beliau membentuk Al-Diwan, yaitu daftar distribusi harta negara. Beliau memerintahkan komite nasab yang terdiri dari Aqil bin Abu Thalib, Mahzamah bin Naufal, dan Jabir bin Mut’im untuk membuat laporan sensus penduduk demi pendistribusian keuangan negara yang adil.

Philip K Hitti dalam History of The Arabs menyebutkan bahwa langkah Umar ra. tersebut merupakan sensus pertama dalam peradaban Islam untuk menyalurkan pendapatan negara. Berdasarkan sensus tersebut, pendapatan negara didistribusikan secara bertingkat, sesuai jasa seseorang dalam perjuangan dan perkembangan umat Islam. Sayyidah Aisyah, misalnya, berada di urutan teratas dan mendapatkan santunan sebesar 12.000 dirham per tahun.

Ketika ada dugaan penyalahgunaan harta negara oleh pejabat atau tidak dijalankannya fungsi riayah, Mahkamah Mazhalim akan membuktikannya dan memberi sanksi yang tegas pada pelaku khususnya penguasa yang melanggar.

Itulah sistem islam dalam naungan Khilafah mewujudkan kekuasaan yang amanah, tegas dan mampu melaksanakan periayahan sehingga terwujud rakyat yang sejahtera.

Iklan
Iklan