Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Space Iklan
Space Iklan
Space Iklan

Space Iklan
Opini

Ancaman Kelaparan Menghantui di Tengah Pandemi

×

Ancaman Kelaparan Menghantui di Tengah Pandemi

Sebarkan artikel ini
Space Iklan

Oleh : Saadah
Pendidik

Koordinator Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, Luhut Binsar Panjaitan telah menekankan kepada jajaran pemerintah dan aparat keamanan untuk memastikan tidak ada masyarakat di wilayahnya yang mengalami masalah pemenuhan kebutuhan pokok. (m.merdeka.com, 11/7/2021)

GBK

Dedy menyampaikan, Kementerian Sosial menyiapkan tiga jenis bansos. Yakni Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan NonTunai (BPNT), Kartu Sembako, serta Bantuan Sosial Tunai(BST). (nasional.okezone.com, 11/7/2021)

Pertanyaannya, sejauh mana realisasi bansos ini benar-benar tersalurkan dan tepat sasaran? Mengingat, kasus korupsi bansos membuat publik meragukan kinerja pemerintah.

Dimana diketahui proyek bansos Covid-19 berupa paket sembako Rp300.000 di Kemensos tahun 2020 yang bernilai total sekitar Rp5,9 triliun diduga dikorupsi sebesar Rp20,8 miliar.

Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara diduga mendapat fee dari proyek tersebut Rp17 miliar. Diketahui ada total 272 kontrak yang dilaksanakan dalam dua periode. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan bahwa dari periode pertama terkumpul Rp12 miliar dan Juliari menerima Rp8,2 miliar secara tunai. (kompas.com, 6/12/2020)

Saat rakyat membutuhkan bantuan, pejabatnya sibuk berbagi jatah dalam korupsi bansos. Belum lagi pelaksanaan bansos yang terlihat amburadul selama ini. Setiap ada bansos, selalu terjadi kerumunan dan kericuhan. Ada pula yang merasa kecewa karena namanya tidak terdaftar sebagai penerima bansos. Bahkan sudah terdaftar pun tak mendapat jatah. Itulah yang terjadi di lapangan.

Di sisi lain Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan pelaksanaan Program Indonesia Pintar (PIP) bermasalah. BPK juga menyatakan penyaluran Bantuan Produktif Usaha Mikro (BPUM) yang dilaksanakan Kementerian Koperasi dan UKM dalam rangka penanganan dampak Covid-19 tidak tepat sasaran.

Dana bantuan PIP sebesar Rp2,86 triliun untuk PIP belum tepat sasaran dan masih banyak anak yang seharusnya mendapatkan bantuan justru tidak menerima. Sebanyak 2.455.174 siswa pemilik KIP dan/atau yang berasal dari keluarga peserta PKH atau KKS kehilangan kesempatan karena tidak diusulkan dalam SK penerimaan bantuan PIP. (cnbcindonesia.com, 22/6/2021)

Baca Juga :  Semangat Huma Betang: Warisan Budaya dan Karakter Generasi Muda dalam Perspektif Semiotika Peirce

Memang ironis. Ketika setiap warga negara berhak untuk diurusi oleh negara dan tanggung jawab mengurusi warga negara menjadi tupoksi dasar pemerintah. Namun bantuan ribet dan Berbelit.

Dampak pandemi memang memukul sektor ekonomi. Lebih-lebih bagi rakyat yang berpenghasilan rendah. Jika negara memang benar-benar hadir, di mana negara saat ada satu keluarga kelaparan di tengah kebun di Polewali Mandar, Sulawesi Barat? (kompas.com, 1/5/2020)

Semua peristiwa kelaparan itu terjadi tahun lalu. Hanya secuil yang tampak, tetapi bisa jadi faktanya lebih banyak. Kerena kemiskinan sudah meningkat sebelum pandemi, lebih lagi setelah pandemi. Jadi, permasalahannya bukan sekadar perkara teknis, lebih dari itu, ini persoalan paradigmatis yang terjadi dalam sistem sekuler demokrasi.

Dalam sistem sekuler kapitalisme, penilaian kemiskinan warga negara tidak diukur dengan batasan syariat, sehingga sangat subjektif. Masyarakat miskin menurut BPS harus memenuhi 14 kriteria, salah satunya terkait besaran pendapatan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), garis kemiskinan nasional pada Maret 2020 ialah Rp454.652 per kapita per bulan. Padahal, garis kemiskinan Bank Dunia adalah 1,9 dolar AS per kapita per hari atau setara Rp798.200 per bulan (kurs Rp14.000).

Bila rumah tangga terdiri atas empat orang (menurut kriteria Bank Dunia), perlu minimal penghasilan Rp3.192.800 per bulan agar tidak disebut rumah tangga miskin.

Jika dengan standar WHO, angka kemiskinan Indonesia lebih dari dua kali lipat data BPS. Konsekuensinya, penggunaan garis kemiskinan yang terlalu rendah dapat memunculkan angka kemiskinan yang keliru. Banyak orang akan terklasifikasi tidak miskin, padahal faktanya sangat membutuhkan. Mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan primernya secara layak dan manusiawi.

Jadi, bagaimanapun sistem birokrasi diperbaiki, tetap saja akan menimbulkan sengkarut masalah ketika standar penilaian terhadap kemiskinan mengambil dari luar syariat.

Adapun penilaian kemiskinan menurut syariat, mendasarkan pada standar yang sama di negara mana pun serta kapan pun.

Menurut Islam, kemiskinan adalah tidak terpenuhinya kebutuhan primer secara menyeluruh yang layak dan manusiawi, baik terkait tempat tinggal, pakaian, dan pangan.

Baca Juga :  Perkembangan Media Siber dan Dampak yang Ditimbulkan dalam Komunikasi Informasi

Dalam Islam, upaya memenuhi kebutuhan primer serta mengusahakannya untuk orang yang tidak bisa memperolehnya, adalah wajib. Mekanisme tanggungan nafkah bagi fakir miskin telah ditetapkan syariat pula, mulai dari kepala keluarga, kerabat yang mewarisi, sampai menjadi kewajiban Baitulmal (negara).

Abu Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja yang meninggalkan harta, maka harta itu menjadi hak para ahli warisnya. Siapa saja yang meninggalkan kalla, maka ia menjadi kewajiban kami.” (HR Muslim)

Maka, kemiskinan tidak dinilai berdasarkan besaran pendapatan seseorang, tetapi berdasarkan kemampuannya memenuhi kebutuhan pokok secara layak.

Negara wajib hadir untuk memberikan solusi praktis untuk menanggung kebutuhan fakir miskin dan mengeluarkannya dari kemiskinan. Bukan sebatas memberikan bantuan seadanya dengan birokrasi yang berbelit-belit.

Rasulullah SAW bersabda, “Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Seluruh kebutuhan publik menjadi hak setiap warga negara serta kewajiban negara secara langsung. Masyarakat yang miskin tidak akan dipermalukan dan bersusah payah untuk mendapatkan haknya. Masyarakat yang kaya juga tidak akan dibebani pajak yang bersifat abadi seumur hidup.

Pajak hanyalah sumber pendapatan alternatif yang bersifat insidental pada saat kas Baitulmal negara Khilafah kosong saja. Pajak dalam Islam tidak bersifat permanen sepanjang tahun, sebagaimana kezaliman pajak yang terjadi pada sistem kapitalisme.

Demikian mekanisme Islam mengurus masyarakat. Maka kita saat ini membutuhkan pemimpin yang benar benar bertanggung jawab. Untuk menghadirkan sosok pemimpin yang benar dan amanah, dibutuhkan sistem yang berkah, yakni sistem Khilafah, sistem yang telah terbukti selama lebih dari 13 abad memberi jaminan dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Semoga Allah segerakan Khilafah dengan tumbangnya kezaliman yang kian nyata.

Iklan
Iklan