Oleh : Relliyanie, S.Pd
Praktisi Pendidikan
Sejak 2019 wacana penggantian Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan robot sudah disampaikan pemerintah, bahwa para Pegawai Negeri Sipil (PNS) akan digantikan oleh robot yang memiliki Artificial Intelegence (AI). Sebagaimana arah revolusi 4.0 yang sedang terjadi di dunia hari ini. Selain itu, alasan untuk efisiensi pengeluaran negara juga menjadi latar belakang dari opini ini. Hal ini seperti yang disampaikan Kepala Biro Hubungan Masyarakat, Hukum Dan Kerja Sama Badan Kepegawaian Negara (BKN) Satya Pratama kepada detikcom, Minggu (28/11/2021), “Jadi (PNS digantikan robot), ke depannya pemerintah akan menggunakan teknologi digital untuk meningkatkan pelayanan kepada publik. Jumlah PNS tidak akan gemuk dan akan dikurangi secara bertahap,”. Dengan digantikan robot, maka jumlah PNS akan lebih dirampingkan.
Pemerintah menganggap beban negara amat besar karena harus mengeluarkan dana ratusan triliun setiap tahunnya untuk membayar PNS. Nominal belanja negara mencapai 15 persen. Berdasarkan APBN 2022, belanja pegawai tahun depan bisa mencapai Rp400 triliun, meliputi pembayaran gaji dan tunjangan, serta pemenuhan kebutuhan utama birokrasi. (CNBC Indonesia, 29/11/2021). Jika dilihat dari buku statistik ASN per Juni 2021, jumlah pegawai abdi negara memang mengalami penurunan sejak 2016 silam. Sejalan dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah.Per Agustus 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran di Indonesia sebanyak 9,1 juta orang (indozone.id, 28/11/2021).
Jika banyak PNS yang digantikan oleh robot, sudah pasti angka pengangguran akan bertambah. Makin banyak persoalan baru muncul karena pemerintah mengambil kebijakan dengan bersandar pada tren Global dan ingin dinilai modern. Padahal belum mampu menyelesaikan masalah krusial, yakni kemiskinan dan angka pengangguran. Kondisi ini semakin parah dengan Pandemi yang terjadi dan berlarut hingga sekarang. Malah kok bisa-bisanya pemerintah membuat statement seperti ini, yang tentunya tidak memberikan solusi. Malah sebaliknya akan menuai masalah baru yang makin meresahkan masyarakat.
Pemerintah sibuk mengikuti perkembangan zaman dan melakukan berbagai pencapaian fisik dan kemajuan teknologi. Namun, hal tersebut tidak memberi pengaruh besar bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Akankah persoalan kesejahteraan rakyat terjawab dengan memangkas jumlah pekerja dan menggantikannya dengan mesin atau robot? Sistem demokrasi kapitalistik makin memperlihatkan kemajuan bangsa yang semu. Kemajuan teknologi dan kehadiran berbagai produk digitalisasi malah membawa masalah baru di tengah rakyat. Pada satu sisi berupaya setara dengan negara maju yang andal dalam menggunakan teknologi, pada sisi lain malah mengabaikan kebutuhan rakyat akan lapangan pekerjaan. Bukankah majunya suatu bangsa terlihat dari meningkatnya kualitas kehidupan, baik dari sisi perlindungan, kesejahteraan, maupun kecerdasan? Oleh sebab itu, sudah seharusnya parameter tersebut tidak bersandar pada tren global, melainkan pada terjaminnya pemenuhan seluruh kebutuhan rakyat. Inilah pentingnya memahami dengan benar tujuan bernegara
. Negara akan berupaya meningkatkan teknologi dengan tidak merugikan rakyatnya sendiri. Hal ini karena sejatinya tujuan bernegara adalah menyejahterakan setiap individu masyarakat, termasuk menciptakan ketenangan dan kestabilan untuk meninggikan peradaban.
Hal ini sangat berbeda jauh dengan pemerintahan Islam yang berasal dari Allah SWT. Dimana sejarah telah membuktikan gemilangnya hasil penerapan aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Negara akan hadir untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan rakyat dengan seperangkat kewajiban yang harus dilaksanakan individu rakyat, seperti kewajiban bekerja bagi yang memiliki kewajiban itu. Selain itu negara juga memiliki tanggung jawab menyediakan berbagai fasilitas yang memudahkan setiap orang untuk berusaha (bekerja). Mulai dari kemudahan permodalan, keahlian dan regulasi yang mendukung. Pemberian negara (i’tha ad dawlah) dari harta Baitul Mal adalah hak rakyat. Sebagaimana Umar RA mengambil harta Baitul Mal untuk menyediakan benih dan pupuk bagi para petani di Irak. Demikian pula Rasul SAW membayar hutang-hutang seorang warga yang tidak mampu. Abu Bakar dan Umar RA juga memberikan lahan siap tanam kepada warga untuk menjadi modal usahanya.
Dengan diberlakukan sistem ekonomi Islam, negara akan mampu memerankan dirinya sebagai penanggung jawab terpenuhinya kesejahteraan rakyat. Lapangan kerja tersedia memadai, kualitas SDM unggul disiapkan dengan tanggungan biaya negara, kebutuhan energi (listrik, BBM, transportasi) bisa dijangkau karena harga yang sangat murah atau bahkan gratis. Ditambah biaya pendidikan dan kesehatan yang diperoleh rakyat secara gratis.
Dengan semua mekanisme itu, kebutuhan hidup masing-masing warga negara begitu mudah didapat. Maka bekerja akan menjadi salah satu cara seorang muslim menaikkan derajatnya di mata Allah SWT., karena mencurahkan tenaga dan keringatnya untuk beribadah memenuhi kewajibannya dan tidak saja untuk mendapat manfaat lebih besar, tetapi juga untuk memberi manfaat lebih besar. Bekerja bukan menjadi satu-satunya cara memperoleh kesejahteraan. Apalagi menjadi buruh (ajir) juga hanya salah satu diantara pilihan pekerjaan, karena lapangan kerja tersedia memadai. Posisi tawar buruh dengan pengusaha adalah setara. Bagi mereka yang memilih membuka usahanya sendiri maka ada banyak kemudahan disediakan oleh negara.
Kemajuan bangsa semestinya tidak diukur dengan sekedar pencapaian fisik dan kemajuan teknologi yang digunakan. Semestinya menggunakan ukuran dasar sebagaimana direkam Islam berupa tercapainya tujuan bernegara yaitu menyejahterakan setiap individu, terciptanya ketenangan-stabilitas dan meninggikan peradaban. Negara yang memiliki visi demikian hanya ada ketika Islam diterapkan dalam naungan khilafah. Wallahu ‘alam.