Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Perempuan, Objek Seksualitas dalam Jeratan Pelecehan Seksual 

×

Perempuan, Objek Seksualitas dalam Jeratan Pelecehan Seksual 

Sebarkan artikel ini

Oleh : Annisa Dwi Elfiyanti
Pemerhati Sosial Kemasyarakatan

Belakangan ini melihat kasus pelecehan dan kejahatan seksual yang marak terjadi di Indonesia. Hal tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara yang tidak aman khususnya bagi perempuan. Pelecehan seksual bisa terjadi di tempat ramai dan bisa terjadi pada siapa saja, sehingga kejahatan yang dilakukan tidak mengenal gender, waktu, atau lokasi. Pelecehan seksual seringkali disertai dengan janji atau imbalan. Bahkan bisa disertai ancaman, baik secara terang-terangan ataupun tidak.

Baca Koran

Pelecehan seksual merupakan suatu perilaku pendekatan-pendekatan yang berhubungan dan mengarah kepada seks yang berkaitan dengan perilaku secara verbal maupun fisik yang merujuk pada seks itu sendiri. Contoh dari perilaku atau tindakan pelecehan seksual diantaranya seperti catcalling atau siulan, sindiran atau ungkapan yang merujuk ke arah seksual serta komentar-komentar bernada seksual. Sedangkan untuk contoh dari perilaku atau tindakan pelecehan seksual secara fisik seperti melakukan sentuhan-sentuhan atau meraba dengan gairah seksual yang membuat seseorang merasa risih dan terganggu dengan perilaku tersebut.

Isu pelecehan seksual menjadi perhatian serius karena diperkirakan lebih dari 50 persen wanita pernah mengalami pelecehan seksual di tempat kerja dan 20-30 persen wanita mengalami pelecehan seksual di bangku kuliah. Berdasarkan data BBC, rok dan celana panjang 18 persen, hijab 17 persen, baju lengan panjang 16 persen, seragam sekolah 14 persen dan baju longgar 14 persen. Bentuk pelecehan seksual yang terjadi di ruang publik secara verbal 60 persen, fisik 24 persen, visual 15 persen , selain itu, transportasi umum yang sering terjadi pelecehan seksual, bus 36 persen, angkot 30 persen, KRL 18 persen, ojek dan taksi online 18 persen, ojek dan taksi konvensional 6 persen serta lokasi yang paling sering terjadi yaitu jalanan umum sekitar 33 persen.

Di ranah publik dan masyarakat terdapat 3.603 kasus, 58 persen di antaranya adalah kekerasan seksual, cabul (531), pemerkosaan (715), pelecehan seksual (520), persetubuhan (176), dan sisanya mencoba melakukan hubungan seksual. dengan pemerkosaan. Pelecehan seksual adalah yang paling umum ketiga setelah kecabulan dan pemerkosaan, berdasarkan data domain publik.

Baca Juga :  Menggugat Gaya Hidup yang Memisahkan Kita dari Alam

Isu pelecehan seksual di Indonesia belum menjadi topik yang prioritas untuk dibahas, terlihat bagaimana negara saya memandang isu pelecehan seksual, dan tidak jarang korban dijadikan tersangka. Entah korbannya dikatakan “Oh, mungkin dia salah memakai pakaian” atau “Oh, dia mungkin tidak memakai jilbab”. Alasan mengapa kasus pelecehan seksual di tempat umum tidak dilaporkan adalah karena pelecehan seksual di tempat umum dianggap biasa di masyarakat.

Salah satu penyebab terjadinya kasus pelecehan seksual adalah budaya patriarki. Sistem patriarki yang terjalin dalam masyarakat kita telah menciptakan ketidaksetaraan gender yang mempengaruhi semua aspek kehidupan manusia. Laki-laki dianggap memiliki peran utama dan memiliki hak atau kekuasaan atas perempuan. Dalam hal seks, laki-laki dianggap secara alami berperan aktif, sedangkan perempuan dianggap pasif. Ketimpangan peran gender pada akhirnya merupakan ideologi ideal bahwa laki-laki harus lebih aktif daripada perempuan.

Secara umum, korban pelecehan seksual sering dipengaruhi oleh perasaan rendah diri atau ingin menjauh dari orang lain atau tutup mulut. Hal ini terjadi karena korban merasa malu, menyalahkan diri sendiri, rendah diri, dihina oleh masyarakat, dan lain-lain. Korban tidak bisa berbuat apa-apa selain meminimalkan dirinya menjadi sasaran untuk pria bermoral rendah atau orang terpelajar yang akhlaknya sangat rendah.

Dampak terhadap kehidupan pribadi dan sosial korban adalah merasa direndahkan, dan hubungan keluarga dan sosial sangat sulit untuk dibangun kembali karena ketakutan, terutama pada laki-laki. Pada saat penyerangan, korban tidak percaya dan mengira bahwa serangan pelecehan seksual hanya terjadi pada orang lain, bukan dirinya sendiri. 

Menurut keterangan Komnas Perempuan dalam dokumen sistem penerimaan pengaduan menyebutkan bahwa dampak psikologis yang dirasakan antara lain perasaan tidak berharga, malu, tertekan atau stres, takut, kehilangan kepercayaan diri, kehilangan kemampuan bertindak, dan merasa tidak berharga. Kemungkinan efek seksual atau reproduksi, seperti kerusakan permanen atau sementara pada organ seksual/reproduksi eksternal dan internal. Dampak sosial yang mungkin terjadi adalah hancurnya status sosial, relasi sosial dan gaya sosial korban.

Baca Juga :  Indonesia Mantap Menuju Swasembada Pangan

Kita seharusnya bisa tidak menghakimi secara sepihak dan tidak menghakimi korban pelecehan seksual secara negatif. Ketika korban berani angkat bicara, kasus pelecehan seksual menjadi lebih mudah ditangani dan tidak akan meningkat setiap tahun. Menyikapi hal tersebut, dengan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, diperlukan pula perlindungan hukum yang kuat – hal ini juga menguntungkan semua pihak, tidak hanya perempuan, tetapi juga laki-laki.

Meski banyak kasus, masyarakat atau pihak berwenang masih tidak menganggap serius kasus pelecehan seksual. Karena tidak ada bukti yang kuat dan anggapan korban tetap menjadi korban yang akan selalu disalahkan, dan pelaku yang memiliki jabatan tinggi akan dibenarkan ataupun hanya diberi sanksi yang ringan dan tidak sebanding dengan trauma yang dialami korban. Tidak ada ruang untuk korban dibenarkan dan dilindungi, sungguh miris melihat hal ini, akan tetapi kenyataan yang terjadi memang seperti itu.

Sebagian perilaku, jika seseorang melanggar moral, akan dianggap sebagai perilaku cabul. Namun, pada kenyataannya, hukum di negara ini masih sangat terbatas, dan sulit untuk menghukum pelakunya dengan tepat. Selain kurangnya pemahaman masyarakat tentang pelecehan seksual, undang-undang pada akhirnya akan mencakup kejahatan yang dilakukan oleh pelaku dengan alasan tidak mencemarkan nama baik mereka. Dan cara lain untuk menyelesaikan kasus ini adalah melalui jalur damai, atau lebih dikenal dengan jalur kekeluargaan, dan mengatakan bahwa pelaku melakukan kesalahan secara tidak sengaja atau khilaf. 

Jika hukum tidak bisa melindungi perempuan dan memberi mereka hak, kapan kehormatan perempuan akan dihormati? Pelecehan seksual marak terjadi di tahun 2020-an, terkhusus pada tahun ini. Banyak hal yang harus dibicarakan, namun sebaiknya kritik disertai dengan gerakan agar pelaku segera diberikan sanksi yang berat atau sebanding yang akan menimbulkan ketakutan di masyarakat untuk tidak melakukan tindakan keji tersebut.

Iklan
Iklan