Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Sosialisasi W20, Mampukah Meningkatkan Perekonomian?

×

Sosialisasi W20, Mampukah Meningkatkan Perekonomian?

Sebarkan artikel ini

Oleh : Salsabilla Al-Khoir
Aktivis Muslimah Kalsel

Bak bola salju, persoalan persalinan ibu yang tidak di rumah sakit menjadi polemik hingga terciptanya berbagai upaya untuk menuntaskannya. Hal ini menjadi PR negeri ini untuk menuntaskan persoalan ini?

Baca Koran

Sebagaimana dilansir oleh Jawapos.com, Proses persalinan yang dilakukan dukun beranak menjadi salah satu topik yang dibahas dalam sosialisasi organisasi wanita dalam rangka W20 di Banjarmasin. Kegiatan itu dilaksanakan baik secara virtual maupun pertemuan langsung. Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Provinsi Kalsel Nurul Ahdani saat menjadi narasumber sosialisasi W20 mengatakan, salah satu penyebab masih tingginya angka kematian ibu dan anak di Kalsel, karena proses kelahiran sebagian ibu melahirkan masih ditangani dukun. (Jawapost.com , 2/3/2022).

Berdasarkan data Dinkes, angka kematian bayi (AKB) per seribu kelahiran sejak 2019 hingga 2021 rata-rata masih 9/1000 kelahiran. AKB tersebut turun dibanding pada 2016 yang masih mencapai 11/1000 kelahiran, dan 2017-2018 sebesar 10/1000 kelahiran. Khusus 2021, AKB tertinggi berada di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) yaitu 16 AKB naik dibanding 2020 sebanyak 15 AKB dan Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) sebanyak 16 AKB naik dibanding 2020 sebanyak 13 AKB. (Antara.com , 2/3/2022).

Persoalan perempuan dan anak memang semakin meningkat, akan tetapi jika kematian bayi dikaitkan dengan persalinan ibu di dukun, benarkah hal ini menjadi penyebabnya? Maka tentu persoalan ini harus di lihat dengan paradigma yang benar. Sebab, bagaimanapun lemahnya ibu saat ini sangat membuat rugi industri atau UMKM. Karena UMKM telah menjadi bagian tulang punggung perekonomian nasional. Ironisnya lagi bagi sistem kapitalisme sekularisme saat ini kesehatan ibu adalah sebagai peluang untuk meningkatkan perekonomian nasional.

Adapun dalam sistem kapitalisme sekularisme bahwa segala sesuatu diukur dengan materi. Siapa pun dianggap sebagai sumber daya ekonomi yang harus bisa mendatangkan manfaat secara materi. Sementara perempuan dipandang sebagai bagian dari sumber daya. Bagi sistem kapitalisme bahwa tercapainya partisipasi perempuan belum cukup mendongkrak perekonomian sehingga diperlukan peningkatan pemberdayaan perempuan agar lebih berkualitas dalam berusaha dan menjadi mesin ekonomi nasional.

Baca Juga :  Kampus Bentuk Satgas Perlindungan Perempuan, Sudah Cukupkah?

Perempuan akan terus di poles dan di puji-puji dengan narasi positif seakan berpihak padanya. Apalagi saat ini, stigma berganing position perempuan lebih rendah dari laki-laki. Maka tentu dalam hal ini pemberdayaan perempuan seolah menjadi alasan kuat untuk mewujudkan kesetaraan gender. Bahwa narasi kesetaraan gender senantiasa digaungkan saat ini oleh para feminis. Semestinya umat menyadari bahwa kegagalan ekonomi kapitalisme menciptakan kesejahteraan bagi perempuan bukan memuliakan perempuan.

Sangat berbeda dengan Islam telah menempatkan perempuan dalam kemuliaan dan keutamaan. Potensi perempuan yang cenderung penyayang dan lemah lembut menjadikan peran domestik perempuan sangatlah penting bagi lahirnya sebuah peradaban. Pemberdayaan perempuan bukanlah tuntutan kesetaraan gender atau pendongkrak ekonomi.

Pemberdayaan perempuan dalam Islam tercakup dalam dua peran, antara lain : pertama, peran domestik sebagai istri dan ibu bagi anak -anaknya. Peran ini tidak akan digeser oleh siapa pun. Allah SWT telah menempatkan potensi perempuan sebagai pendidik generasi. Sebagai seorang ibu maka akan mengandung, melahirkan, menyusui, mengasuh serta mendidik anak adalah serangkaian tugas bagi kaum Ibu. Meskipun ayah pun mempunyai kewajiban mendidik anak-anaknya, namun potensi pengasuhan anak telah Allah SWT fitrahkan kepada kaum ibu. Posisi tersebut sangat strategis, sebab masa depan generasi dan sebuah bangsa ditentukan oleh posisi ini. Proses pendidikan pada anak yang dilakukan oleh kaum ibu menjadi kunci utama tingginya peradaban sebuah bangsa. Sedangkan kewajiban mencari nafkah dibebankan pada kaum laki-laki. Bukan berarti hal ini untuk menunjukkan kekuatan laki-laki dan kelemahan perempuan, akan tetapi peran ini diberikan sesuai kemampuan fisik dan tanggung jawab yang diberikan Allah pada laki-laki.

Kedua, dalam hal ini baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak dan kedudukan yang sama dalam mengenyam pendidikan, menuntut ilmu, mengajarkan ilmu dan berdakwah. Adapun jika terdapat ketentuan hukum yang berkaitan peran laki-laki dan perempuan maka hal tersebut tidak bermakna tak setara. Allah Swt memberikan diferensiasi atas peran laki-laki dan perempuan dalam kehidupan pernikahan dan bermasyarakat, namun tidak berdasarkan sesuai kesetaraan gender. Akan tetapi, apa yang diperlukan secara efektif untuk mengatur kehidupan keluarga dan masyarakat secara proporsional dan berkeadilan sehingga tercipta kehidupan yang harmoni dan sinergi.

Baca Juga :  Waspadai Transaksi Rumah di Luar Prosedur Resmi (SOP)

Perbedaan ketentuan hukum tersebut bukan berarti diskriminasi. Namun, disinilah rasa keadilan yang Allah SWT beri untuk makhluk-Nya sesuai kapasitas dan potensi masing-masing. Sebagaimana Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS An-Nisa : 32).

Adapun yang tidak kalah penting adalah pemberdayaan perempuan dalam aktivitas dakwah amar makruf nahi mungkar. Bagi laki-laki dan perempuan memiliki peran yang sama ialah mengoptimalkan peran dan potensinya untuk kepentingan perjuangan Islam. Sehingga pemberdayaan perempuan haruslah diarahkan pada upaya pencerdasan politik umat dengan membentuk kesadaran Islam di tengah masyarakat, mengubah pemikiran rusak seperti sekularisme, kapitalisme, liberalisme, feminisme, demokrasi dan sebagainya.

Mengubah peta hidupnya dengan menjadikan Islam sebagai jalan kehidupan. Para muslimah harus memberdayakan perannya untuk mewujudkan sistem kehidupan Islam yakni sebagai ibu pendidik generasi, sahabat bagi suami, dan penyelamat kaum ibu dari sesatnya pemikiran yang bertentangan dengan Islam. Hal ini adalah bukti pemberdayaan hakiki, bukan sekedar mencari materi (profit) dan bukan pula menjadi penjaja ide kesetaraan gender yang menyesatkan serta menyalahi Islam. Akan tetapi, pengaturan Islam ini lebih mengaktifkan jati dirinya sebagai hamba Allah dan senantiasa melakukan amar Maruf nahi mungkar di lingkungan keluarga, masyarakat, dan negara. Berdakwah dan membina masyarakat agar menjadikan Islam sebagai jalan hidup yang harus dipilih hingga kaum muslimah merasa bangga dengan berIslam secara menyeluruh (kaffah). Wallahu ‘alam Bishowab.

Iklan
Iklan