Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Budaya Mistis di Tengah Modernisasi

×

Budaya Mistis di Tengah Modernisasi

Sebarkan artikel ini

Oleh : Dewi Ayu Larasati, SS, MHum
Pemerhati Sosial Kemasyarakatan

Masyarakat modern sebenarnya sangat sekuler, bahkan orang yang mengingkarinya sekalipun tetap sekuler. Ironisnya, setelah kita menggali tradisi mistik dari arus utama kebudayaan dan menyatakannya tidak relevan dengan zaman ini, kita semua merasa hampa tanpa kehadiran hal-hal yang mistik. (David Maybury-Lewis, Millenium).

Kalimantan Post

Modernitas telah menjadikan manusia memiliki ketergantungan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Nalar dan rasionalitas sejatinya telah menguasai pemikiran modern. Semakin beradab dan berbudaya, manusia akan semakin berpikir rasional. Namun sekalipun masyarakat sudah tergolong modern, bukan jaminan kalau mereka tidak lagi percaya hal-hal mistis. Kekuatan mistis masih dianggap fenomenal dan diyakini oleh sekelompok orang.

Secara etimologi, mistis berasal dari Bahasa Yunani, yaitu misterion dari asal kata mytes yang mengandung arti orang yang mencari rahasia-rahasia kenyataan, myen yang berarti menutup mata atau dekat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, mistis merupakan kata sifat dari mistik. Mistik, adalah hal gaib yang tidak terjangkau dengan akal manusia yang biasa. Jadi masyarakat yang mistis, dapat diartikan sebagai orang-orang yang tertarik atau menyukai hal-hal misterius dan rahasia. Dalam perspektif awam, mistis umumnya diasosiasikan dengan mitos, klenik, sihir atau gaib.

Seperti diketahui, dunia mistis masih belum bisa ditinggalkan oleh masyarakat Indonesia di tengah derasnya arus modernisasi. Tidak sedikit yang percaya terhadap mistik walaupun telah beragama, bahkan berpendidikan tinggi. Berbagai fenomena alam dan gejala sosial cukup sering dikaitkan dengan hal-hal mistis. Salah satunya adalah soal kepercayaan atas suara burung yang menandakan akan timbulnya bencana dan kematian. Burung Kedasih atau biasa disebut Emprit Gantil oleh masyarakat Jawa kerap dijuluki sebagai burung pencabut nyawa. Kabarnya, suara dari burung ini pertanda akan datangnya kematian, datangnya malapetaka, atau mengabarkan akan adanya orang yang sakit.

Selain itu, adanya kepercayaan di masyarakat yang demikian kuat mengakar, jika rumah tusuk sate bisa membawa sial. Alhasil, banyak orang yang menghindari rumah tusuk sate sebagai hunian. Bank sebagai institusi super rasional pun sedikit banyak juga memercayai hal ini. Bank tidak menerima jaminan properti yang berada pada posisi tusuk sate. Untuk diketahui, rumah tusuk sate adalah rumah yang posisinya terletak di ujung jalan, persis di tengah jalur pertigaan. Jika digambarkan, rumah ini membentuk huruf T.

Percaya kepada hal-hal mistis ini terasa merata di hampir semua tingkatan sosial, termasuk pembesar atau tokoh elite di tanah air juga kerap melakoni ritual mistis. Banyak dari mereka yang masih pergi ke makam-makam yang dianggap keramat sebagai tanda kaul atau menyampaikan permohonan atau ijin sebelum melakukan suatu hal yang dianggap penting, seperti akan diadakannya pesta, mendirikan rumah, dan melakukan usaha lainnya. Dan tidak jarang hal-hal yang berbau mistis dikemas sedemikian rupa menjadi bagian dari strategi atau propaganda politik.

Baca Juga :  Perempuan dan Anak Membutuhkan Jaminan Perlindungan Siber dari Negara

Karena adanya kedekatan unsur mistis dengan masyarakat, praktik perdukunan berkedok agama pun bermunculan di sana-sini. Jika tersiar kabar ada “orang sakti”, ke sanalah orang-orang berbondong-bondong pergi. 

Tak ayal, profesi praktisi spiritual yang mengatasnamakan dirinya paranormal menjadi kian kondang lantaran kerap diundang di berbagai acara televisi dengan tarif yang fantastis. Termasuk hadirnya pawang hujan di tengah gelaran perhelatan balap internasional MotoGP di Sirkuit Mandalika, Lombok, Nusa Tenggara Barat pada hari Minggu lalu (20/3/2022) yang sempat mencuri perhatian dunia.

Erat Budaya Mistis

Masyarakat Indonesia terkenal dengan lingkungan yang agamis. Sebagai umat beragama, kita diajarkan agar tidak percaya ada hal bersifat takhayul apalagi berbau mistis. Apalagi teknologi dan digitalisasi sudah berkembang pesat, ketertarikan pada dunia supranatural seharusnya mulai ditinggalkan.

Namun mistik telah mengakar di Indonesia, bahkan dalam perjalanannya, juga menjadi budaya atau kultur. Karena kedekatan unsur mistik dengan masyarakat, tidak heran ketika isu-isu terkait mistik menjadi perhatian dan dengan cepat bisa menjadi bahan perbincangan.

Fenomena kepercayaan pada dunia mistis yang sulit dilepaskan dalam masyarakat Indonesia dilandasi oleh beberapa faktor.

Pertama, romantisme hal-hal mistis. Masyarakat Indonesia masih banyak yang terpengaruh oleh budaya warisan nenek moyang yang kental dengan nuansa paham animisme dan dinamisme. Sehingga walaupun keagamaan seseorang sudah baik, namun berat meninggalkan mitos-mitos atau takhayul yang diwariskan oleh tradisi nenek moyang.

Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh seorang budayawan Indonesia, Mochtar Lubis, dalam orasinya di Taman Ismail Marzuki tahun 1977 bahwa ciri-ciri manusia Indonesia salah satunya adalah percaya takhayul. Bagi Mochtar, kepercayaan purba manusia Indonesia yang identik dengan animisme dan dinamisme mengakibatkan betapapun majunya cara kita bernalar, kita masih mempertahankan kesetiaan pada dunia supranatural.

Dalam jurnal Personifikasi Fakultas Psikologi Universitas Paramadina Jakarta, Haris Herdiansyah (dikutip dari tagar.id, 21/12/21) berpendapat bahwa hal-hal yang berbau mistis ini telah dipercaya turun temurun oleh masyarakat Indonesia. Menurutnya bagi orang yang berpegang teguh pada budaya dan kearifan lokal, hal-hal yang berbau mistis ini merupakan satu kesatuan yang membentuk kepercayaan dan kearifan lokal itu sendiri.

Kedua, masih bercokolnya budaya instan dalam masyarakat. Mereka lebih suka menyelesaikan masalah secara instan dengan bantuan hal-hal mistik daripada mengkaji secara empiris. Guru Besar Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada Heddy Shri Ahimsa-Putra dalam laman cnnindonesia.com (20/6/2021) mengatakan bahwa hal-hal magis masih ada hingga kini karena keyakinan masyarakat bahwa langkah tersebut memberikan ‘jawaban’ lebih cepat daripada cara atau pola pikir lainnya.

Baca Juga :  SABAR MENAHAN PERIH

Ketika masyarakat sudah menaruh kepercayaan pada orang yang memiliki kemampuan mistis, maka, akal sehat mereka akan menghilang. Sehingga, semua perintah dari dukun atau sebagainya dianggap sebagai kebenaran dan harus dilakukan atau dituruti. Padahal, orang-orang yang dikatakan memiliki kemampuan mistis belum terbukti kebenarannya. Sebab, dalam praktik mistis, biasanya banyak kebohongan atau tipu daya.

Ketiga, sebagai bentuk frustasi sosial. Banyak orang yang memiliki anggapan praktek dunia gaib adalah solusi untuk mengatasi kebuntuan atau persoalan hidup yang dihadapi. Hal ini muncul ketika masyarakat merasa gagal atau tidak berdaya (powerless) menempuh persoalan dengan cara-cara legal sehingga tidak mampu mengendalikan hidup. Bahkan segala hal modernisasi yang mereka terima tak membuat hidup mereka sejahtera. Akibatnya masyarakat menyimpang dari arus yang sebenarnya. Kepercayaan pada hal-hal mistis dijadikan perisai untuk mencari jawaban.

Hal ini sejalan dengan pendapat Fritjof Capra (1982), bahwa kepercayaan terhadap hal-hal mistik selalu menguat kembali dan terjadi pada saat manusia menemukan titik pengetahuan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dianggap mulai melambat dalam terobosan dan pencerahannya sehingga sedikit banyak menjadi berdampak buruk pada masyarakatnya, stagnan dan tidak menemukan jalan untuk keluar dari konsekuensi logis yang diambilnya.

Keempat, untuk mendapatkan rasa aman. Dalam konteks mistis, manusia sering kali memenuhi kebutuhan akan rasa aman ini dengan cara berdukun, bertapa, dan sebagainya Prof Sarlito Wirawan dalam Haroen (2014:227) berpendapat bahwa mitos dan mistik bukanlah monopoli manusia Indonesia semata, melainkan suatu sifat hakiki manusiawi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan akan rasa aman (security need). Selama manusia masih belum bisa mengatasi bahaya-bahaya dan ancaman-ancaman dengan kemampuan dan ilmu pengetahuannya sendiri, selama itu manusia masih akan cari pelindung terhadap mitos dan mistik.

Di zaman modern tidak dapat dipungkiri bahwa budaya mistis sebagai acuan sekaligus fondasi paradigma berpikir tetap menjadi bagian dari kehidupan manusia. Akan tetapi, kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap mistis yang masih tinggi seolah-olah mengindikasikan bangsa ini mengesampingkan upaya-upaya rasional dan kritis dalam memecahkan fenomena alam dan realitas sosial. Ketika bangsa lain sudah mampu mendarat di bulan, apakah kita masih membayangkan dari jauh mitos adanya seorang perempuan di atas bulan?

Iklan
Iklan