Banjarmasin, KP – Rencana penghapusan tenaga honorer dari pemerintah pusat yang akan dijalankan pada tahun tahun 2023 mendatang.
Apalagi, rencana penghapusan tenaga honorer itu termaktub dalam surat edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) nomor B/185/M.SM.02.03/2022, yang diterbitkan pada 31 Mei lalu.
Namun kebijakan tersebut dinilai bukan menjadi solusi bagi nasib pegawai yang menyandang status tersebut oleh Akademisi di Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Reja Pahlevi.
“Yang harus dilakukan adalah memikirkan bagaimana caranya agar status tenaga honorer bisa diubah,” ucapnya saat dihubungi Kalimantan Post, Rabu (17/08) malam.
Pengubahan status honorer tersebut bisa dilakukan dalam bentuk tenaga apapun sebutannya. Atau masuk dalam unsur Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Meski demikian, menurutnya dalam unsur PPPK pun memiliki catatan, karena nyatanya masih banyak guru honorer yang belum masuk.
Entah karena prasyaratnya yang tidak terpenuhi, atau faktor lantaran tidak lulus saat menjalani tes. Hal itu pun menurutnya lantas menjadi persoalan tersendiri.
Alhasil, ketika ada wacana bahwa rekrutmen PNS ditiadakan lalu diganti dengan PPPK, ia pun termasuk orang yang berada dalam barisan yang tidak setuju terkait hal tersebut.
“Harusnya PPPK hanya dikhususkan bagi guru yang berstatus honorer. Bukan mereka yang fresh graduate, atau baru lulus kemudian mengikuti PPPK,” tekannya.
“Bagi mereka yang fresh graduate, biarkan tetap mengikuti tes pengangkatan PNS melalui rekrutmen CPNS,” sarannya.
Di sisi lain, Reja juga menyoroti kebijakan penghapusan honorer itu dari berbagai sisi. Salah satunya, dari sisi aturan yuridis atau peraturan perundang-undangan.
Ia menilai, bahwa sejak tahun 2014, ketika Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) diterbitkan, posisi tenaga honorer masih belum menemui kejelasan.
“Di dalam undang-undang itu, hanya mengatur dua hubungan kerja. Pertama PNS atau ASN dan kedua yakni PPPK,” jelasnya.
Selanjutnya, ketika posisi atau status honorer belum menemui kejelasan, kini muncul lagi surat nomor B/185/M.SM.02.03/2022 dari Menpan-RB, tentang penghapusan tenaga honorer. \
“Ini justru semakin membuat posisi tenaga honorer tak menemui kejelasan. Padahal bila kita lihat secara sosiologis, tenaga honorer masih banyak yang bekerja di berbagai lembaga atau instansi pemerintah,” jelasnya.
Ambil contoh, tenaga honorer di bidang pendidikan alias guru. Di situ saja, menurutnya ada tenaga honorer yang digaji melalui APBD dan pula guru honorer yang digaji oleh dana BOS.
“Mengapa hal itu masih terjadi, secara sosiologis, karena di sekolah-sekolah, masih memiliki keterbatasan pengajar atau guru,” tekannya lagi.
“Dalam rangka mengisi kekosongan itu, maka sekolah pun pada akhirnya merekrut guru-guru honorer itu. Meskipun digaji di bawah UMP,” tekannya.
Terlepas dari hal itu, Reja pun berpesan agar para guru honorer tidak berkecil hati. Karena menurutnya, pengabdian tidak bisa dilihat dari jumlah penghasilan yang layak.
Tapi pengabdian merupakan ketulusan, keikhlasan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
“Di mana-mana kita sering mendengar, banyak guru honorer yang mengabdikan diri ke dunia pendidikan dengan penuh keikhlasan,” ucapnya. Ia pun lantas berharap, agar pemerintah terus berupaya mencari formula yang pas agar kesejahteraan guru honorer atau tenaga honorer meningkat.
“Di sisi lain, guru honorer atau tenaga honorer lainnya pun harus tetap mengembangkan kompetensinya sebagai seorang guru. Baik kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan kompetensi profesionalnya,” pungkasnya. (Kin/K-3)