Banjarmasin, KP – Mantan Ketua Ombudsman RI Perwakilan Kalimantan Selatan Noorhalis Majid angkat bicara mengenai polemik pembuatan film Jendela Seribu Sungai (JSS) yang digarap oleh Pemerintah Kota Banjarmasin.
Pemerhati kebijakan pemerintah itu secara tegas menilai, dana APBD yang dikucurkan sebesar Rp6,6 miliar hanya demi mewujudkan promosi wisata melalui satu film juga sangat besar.
“Kalau diserahkan kepada sineas banua kota, uang senilai itu bisa jadi enam film. Sangat besar dana itu,” tegasnya saat ditemui awak media di kediamannya, Kamis (17/11) sore.
Di sisi lain, Noorholis Majid mengatakan, film tersebut akan sangat mudah dinulai negatif oleh masyarakat akibat adanya peran seorang politisi di dalam film tersebut.
Namun ia mengaku memahami tujuan pembuatan film tersebut merupakan upaya promosi wisata yang menjadi alasan utama.
Menurutnya, memang ada film-film yang sejenis seperti Laskar Pelangi, jika alasan pembuatan adalah untuk meningkatkan pariwisata suatu daerah.
Karena dengan Laskar Pelangi, peningkatan pengunjung di Bangka Belitung sangat meningkat pesat, bahkan meningkat sampai 18.000 kali lipat.
Tapi kalau film ini memang diniatkan untuk itu, ia menegaskan semestinya jangan ada bagian yang dilakukan wali kota dalam film.
Pertama, jadikan ini sebagai ajang bagi seniman lokal, mulai dari pemerannya sampai ke produksi filmnya.
Kedua, film ini harus memang benar-benar mengangkat profil Kota Banjarmasin sebagai kota wisata. Jangan memuat atau bahkan mengangkat peran ketokohan seseorang di dalamnya. Apalagi wali kotanya sendiri juga ikut main dalam film tersebut.
Hal tersebut akan membuat film yang awalnya diharapkan menjadi sarana dalam upaya mempromosikan kepariwisataan menjadi tidak menarik
Bukan tanpa alasan, ia menilai bahwa niat baik tersebut dipastikan akan tertutup malah bisa saja terhapus gara-gara adanya keterlibatan peran Ibnu Sina dalam film.
“Karena orang akan berpikir kalau pembuatan film itu hanya untuk kepentingan seseorang,” ujarnya.
Apalagi, uang untuk membuat film ini sumbernya dari dana APBD daerah. Jika dalam konteks audit, hal itu menurutnya akan menjadi pertanyaan besar bagi masyarakat.
“Masyarakat akan berpikir kalau film itu akan menjadi feedback politik bagi di wali kota akibat perannya dalam film tersebut,” cecarnya.
Terkait film ini menjadi alat politik bagi seseorang, Norhalis menyebut bahwa sangat mungkin hal itu terjadi. Pasalnya jika berbicara masalah politik, maka segala apapun akan terjadi. Termasuk mempolitisasi kegiatan ddi lingkungan pemerintah daerah. “Itu sudah menjadi hal yang umum,” ungkapnya.
“Karena, kebijakan melakukan memajukan wisata melalui film ini juga merupakan kebijakan politik. Tapi kalau di dalam film ada peran Ibnu Sina tidak menutup kemungkinan ada masyarakat yang berpikir kalau film ini ditunggangi oleh tokoh politik,” pungkasnya. (kin/K-7)