Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Fenomena Hoaks dalam Pelaksanaan Pemilukada

×

Fenomena Hoaks dalam Pelaksanaan Pemilukada

Sebarkan artikel ini

Oleh : Ade Hermawan
Dosen STIA Bina Banua Banjarmasin

Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) di Indonesia Insya Allah akan dilaksanakan serentak pada tahun 2024. Pemilihan umum merupakan suatu hal yang menjadi salah satu bagian yang tak terpisahkan dari sistem demokrasi suatu negara, tidak terkecuali Indonesia. Pelaksanaan Pemilu yang merupakan bagian dari kegiatan politik saat ini telah menjadi fenomena tersendiri yang banyak menarik perhatian publik. Saat ini masyarakat dapat dengan mudah mengakses berbagai informasi mengenai kondisi politik Indonesia, termasuk Pemilu melalui platform media yang tersedia. Namun sayangnya dari berbagai platform madia masih banyak ditemui konten-konten yang mengandung berita bohong atau hoaks. Pemilihan umum yang dilaksanakan di Indonesia tidak lepas dari keberadaan berita bohong atau hoaks.

Kalimantan Post

Meningkatnya jumlah hoaks dengan tema politik berpotensi mengancam kualitas pesta demokrasi. Hoaks tidak hanya merusak akal sehat calon pemilih, namun juga mendelegitimasi proses penyelengaraan pemilu, dan yang lebih parah lagi mampu merusak kerukunan masyarakat yang mengarah pada disintegrasi bangsa.

Hoak terlihat seakan-akan dampaknya besar, karena memang kesadaran mengenai itu masih rendah. Kalau kesadaran itu tinggi maka tidak akan berdampak merusak. Ada empat cara kerja hoaks, yaitu dari rasa curiga yang mengakibatkan orang menjadi tidak percaya, ketika ketidakpercayaan itu timbul maka akan berakibat menjadi kemarahan, dampak yang timbul dari rasa marah itu adalah benci.

Di era sekarang ini teknologi informasi semakin berkembang cepat, media sosial semakin maju mengakibatkan penyebaran hoaks mayoritas melalui media sosial. Pada Pilkada, hoak muncul dan dimanfaatkan oleh pihak tertentu sebagai senjata politik dan konstestasi politik, yaitu muncul dalam bentuk black campaign dan informasi yang menyerang pihak tertentu yang dengan sengaja digunakan untuk mengelabui dan mengurangi kemungkinan lawan untuk menyerang. Di Indonesia isu yang paling banyak digunakan adalah agama, rasial, dan ideologi yang dikampanyekan secara online maupun offline.

Baca Juga :  Namimah, Perusak Persatuan

Undang-Undang Pilkada Nomor 1 tahun 2015 jo UU Nomor 8 tahun 2015 jo UU Nomor 10 tahun 2016 jo UU Nomor 6 tahun 2020 tidak mengatur secara khusus hoaks. Hanya ada satu ketentuan dalam UU Pilkada yang bisa dikaitkan dengan hoaks. Hal ini berarti penyikapan hoaks dalam Pilkada adalah lebih banyak menggunakan hukum di luar UU Pilkada. UU Pilkada tidak menampung kata hoaks. Kata paling dekat dengan arti hoaks adalah kata “fitnah” atau “memfitnah”. Sebagaimana yang tercantum dalam UU Nomor 1 tahun 2015 pasal 69c yang menyatakan, “Dalam kampanye dilarang melakukan kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba partai politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat”.

Kampanye dilaksanakan oleh partai politik dan/atau pasangan calon dan dapat difasilitasi oleh KPU provinsi untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur dan KPU kabupaten/kota untuk pemilihan bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil awalikota. Subjek hukum dalam pelaksanaan kampanye adalah partai politik, pasangan calon, partai politik dan pasangan calon, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota.

Pemerintah cukup direpotkan dengan kemunculan hoaks yang seolah tanpa henti. Kementerian Komunikasi dan Informasi membentuk satuan tugas khusus untuk memantau konten di internet, termasuk hoaks. Konten-konten semacam tulisan dan foto diberi penanda khusus oleh Kominfo dan diumumkan sebagai hoaks agar tidak lagi disebarkan masyarakat. Namun nampaknya tetap ada kecenderungan pengguna internet untuk tetap mengumbar hoaks, dan trennya terus meningkat menjelang Pemilukada.

Hoaks sudah menjadi bagian dari politik dan tidak bisa dipisahkan. Hoaks digunakan untuk mempengaruhi suara mayoritas muslim. Pemerintah bekerja sama dengan organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan NU untuk menangkal hoaks sekaligus membangkitkan kesadaran masyarakat tentang bahayanya.

Dari sisi regulasi, pemerintah sudah menyusun landasan hukum bagi penyebar hoaks. Sudah diatur ketentuan pemberian sanksi denda bagi penyedia platform yang tidak mengambil langkah untuk menangkal hoak. Google, facebook, twitter, youtube, dan media sosial lainnya bisa kena sanksi hukum, yaitu denda kalau mereka membiarkan platformnya dipakai untuk menyebarkan hoaks. Pemerintah masih menemui rintangan untuk mencegah penyebaran hoaks melalui jalur komunikasi pribadi, misalnya melalui platform Whatsapp. Kebiasaan masyarakat yang mudah menyebarkan informasi juga menjadi kendala. Dimana sebuah informasi yang sudah dikategorikan sebagi hoaks masih terus disebarluaskan. Untuk itu pemerintah sebagai regulator untuk mendorong penyedia platform lebih meyakinkan penggunanya untuk tidak menyalahgunakan dengan penyebaran konten negatif. Diperlukan juga solusi yang dapat mencegah produksi dan distribusi hoaks. Platform tidak hanya menawarkan produknya tetapi juga ada tanggung jawabnya. Mereka juga harus memahami konteks sua
u konten apakah melanggar aturan, standar komunitas, reguasi dan norma masyarakat.

Baca Juga :  NABI MUSA KECIL

Masyarakat harus menyadari bahwa hoaks berbahaya bagi masa depan bangsa. Namun itu saja tidak cukup masyarakat harus memiliki kemampuan memilah dan memilih mana berita yang benar dan mana yang keliru. Kegiatan literasi digital harus melibatkan multisektor bukan hanya kewajiban pemerintah saja, namun bagi seluruh masyarakat yang tidak ingin negeri ini larut dalam bencana informasi akibat hoaks.

Supaya hoaks tidak menjadi preferensi seseorang dalam menentukan pilihan dalam Pemilukada, maka sikap dan tindakan yang harus dilakukan calon pemilih adalah mencari kebenaran dari setiap berita yang diperoleh dengan mencari sumber yang benar sehingga tidak mudah dibohongi dan tidak mudah yakin dan percaya dengan adanya hoaks. Calon pemilih juga harus mempertimbangkan secara rasional setiap berita atau isu yang berbau SARA dan juga berita yang mengandung ujaran kebencian.

Iklan
Iklan