Oleh : Edy Rahmadi
Statistisi BPS Kota Banjarmasin
Isu inflasi hingga saat ini masih menjadi perbincangan hangat di berbagai tempat dan media. Banyak kalangan, baik pemerintah, pengusaha, pekerja atau buruh, perguruan tinggi, bahkan para pengamat dan politisi ramai membahas angka inflasi. Persoalan inflasi sejatinya tidak hanya terkait besaran angka, dampak dan strategi pengendaliannya, tetapi juga penting bagaimana memaknai angkanya agar hasil kasimpulannya tidak bias. Adanya inflasi sering ditafsirkan seolah semua sendi kehidupan mengalami perubahan sebesar beban angka inflasi. Padahal tidak, karena setiap komponen yang membangun angka inflasi memiliki porsi dan variasi yang khas. Sehingga dalam memaknainya perlu dipahami secara keseluruhan proses penyusunan dan berbagai komponen yang mempengaruhi pembentukannya.
Secara sederhana, inflasi diartikan sebagai kenaikan harga secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi, kecuali bila kenaikan itu meluas atau mengakibatkan kenaikan harga pada barang lainnya. Jika harga barang dan jasa di dalam negeri meningkat, maka inflasi mengalami kenaikan. Naiknya harga barang dan jasa tersebut menyebabkan turunnya nilai uang. Dengan demikian, inflasi juga diartikan sebagai penurunan nilai uang terhadap nilai barang dan jasa secara umum. Inflasi yang tinggi dan tidak terkendali secara umum akan menyebabkan menurunnya daya beli dan kesejahteraan masyarakat.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Nopember 2022, inflasi nasional tahunan mencapai 5,42 persen, dan laju inflasi tahun kalender 2022 mencapai 4,82 persen. Berdasarkan wilayah, inflasi tertinggi berada di Tanjung Selor 9,20 persen, dan terendah di Kota Ternate 3,26 persen. Sementara di Kalimantan Selatan, yang merupakan gabungan dari 3 kota (Banjarmasin, Tanjung dan Tabalong), lebih tinggi dari nasional yaitu 7,06 persen. Bila dilihat menurut kota penghitungannya, Banjarmasin mengalami inflasi sebesar 7,07 persen, Tanjung 4,98 persen dan Kotabaru yang paling terdampak dengan inflasi 8,69 persen. Secara tahun kalender pun juga telah melebihi target pemerintah 2-4 persen. Sampai di Nopember 2022, dari gabungan 3 kota tersebut, inflasi sudah mencapai 6,26 persen.
Angka inflasi diperoleh dari perubahan Indeks Harga Konsumen (IHK). Mulai Januari 2020, dengan adanya perubahan pola konsumsi, pengukuran inflasi di Indonesia menggunakan IHK tahun dasar 2018=100. Perubahan mendasar dibandingkan dengan penghitungan sebelumnya, terkait dengan cakupan, klafisikasi, pengelompokan komoditas, paket komoditas, metode penghitungan IHK dan diagram timbang. Perubahan tersebut berdasarkan pada Survei Biaya Hidup (SBH) yang dilaksanakan oleh BPS selama tahun 2018, sebagai dasar utama dalam penghitungan IHK.
Cakupan penghitungan inflasi Indonesia meliputi 90 kota, terdiri dari 34 ibukota provinsi dan 56 kabupaten/kota. Secara nasional pengelompokan komoditas terbagi dalam 11 kelompok dan 43 subkelompok. Adapun paket komoditas dari hasil SBH 2018 berjumlah 835 komoditas, terbanyak ada di Jakarta sebanyak 473 barang dan jasa, dan paling sedikit di Sintang dengan 248 komoditas. Jumlah paket komoditas yang termasuk komponen inti (core inflation) yaitu barang dan jasa yang perubahan harganya ditentukan oleh kinerja perekonomian secara umum sebanyak 711 komoditas, komponen harga yang diatur pemerintah (administered price) sebanyak 23 komoditas, dan komponen harga yang bergejolak (volatile foods) utamanya bahan makanan ada sebanyak 101 komoditas. Sedangkan perubahan metodologi mengacu pada Manual standar internasional dan penggunaan IHK ini juga sesuai dengan klasifikasi international: Classification of Individual Consumption According to Purpose (COICOP).
Untuk mengamati besaran perubahan harga, dilakukan pencacahan di tingkat konsumen, yaitu di pasar tradisional, pasar modern, outlet dan situs resmi di setiap kota penghitung inflasi. Data harga masing-masing komoditas diperoleh melalui wawancara langsung dari 3 atau 4 pedagang eceran, yang didatangi oleh petugas pengumpul data dan mengunduh/scracping di situs resminya. Hasil pencacahan diinput oleh masing-masing daerah dengan aplikasi yang berbasis web (webentry) yang frekuensi pengumpulan data harga berbeda antara satu komoditas dengan komoditas lainnya, tergantung karakteristik masing-masing komoditas, ada yang mingguan, dua mingguan dan bulanan.
Angka inflasi yang setiap awal bulan diumumkan BPS RI merupakan gabungan dari semua kota inflasi dan komoditas barang dan jasa. Oleh karenanya, dalam menginterpretasikan angka inflasi yang perlu di kaji adalah komoditas apa saja serta wilayah mana yang banyak mengalami perubahan harga serta memberikan kontribusi besar terhadap struktur atau pola konsumsinya. Intinya setiap angka inflasi nasional akan berbeda pengaruhnya antar suatu kelompok atau kelas ekonominya, karena tergantung dari lokasi tempat tingal, struktur dan kualitas komoditas barang dan jasa yang dikonsumsi, sumber perolehan barang yang di konsumsi serta strata kondisi sosial ekonomi kelompok masyarakatnya.
Dari sisi tempat tinggal, masyarakat di Jabodetabek akan menerima beban inflasi yang relatif sama dengana angka inflasi nasional. Hal ini karena jumlah komoditas dan bobot regional yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat yang tinggal di wilayah kota-kota kecil. Sedangkan, untuk pengaruh struktur dan kualitas barang dan jasa yang konsumsi, bila kelompok rumah tangga berbeda dengan rata-rata komoditas barang dan jasa yang diukur dalam penghitungan inflasi maka tidak selalu pararel dengan kenaikan beban inflasinya. Misalnya, inflasi yang banyak disumbang oleh kenaikan BBM, maka yang banyak menerima dampaknya adalah rumah tangga yang tinggal di kota yang setiap hari menggunakan angkutan untuk sekolah dan atau bekerja. Sebaliknya, jika inflasinya karena kenaikan harga pupuk dan barang konsumsi rumah tangga maka petani di desa yang akan lebih merasakannya.
Demikian juga pengaruh dari sumber perolehan barang, rumah tangga di desa yang sebagian besar konsumsi ikan, sayuran dan hasil pertanian yang diperoleh dari hasil usaha sendiri, akan merasakan dampak inflasi yang lebih ringan dibandingkan rumahtangga yang seluruh konsumsinya berasal dari pembelian. Adapun pengaruh terkait strata kondisi sosial ekonomi, sekecil apapun inflasi yang terjadi, bebannya akan langsung dirasakan oleh kelompok rumahtangga miskin dibanding kelompok rumahtangga ekonomi tinggi.
Selain itu, adanya faktor-faktor yang dapat mempengaruhi bagaimana angka inflasi itu di hasilkan juga menjadi sangat penting untuk selalu disertakan dalam proses interpretasinya. Hal ini akan menjadi lebih jelas misal ketika angka inflasi menjadi berbeda dari satu wilayah (baca : provinsi/kabupaten/kota) dengan wilayah lain. Sehingga, untuk dapat memaknai angka inflasi yang mendalam, hasil agregat dari sebuah proses penghitungan yang dilakukan, selain dilakukan interpretasi yang bersifat general, juga harus dikaji berdasarkan hasil penghitungan di tingkat wilayah yang lebih kecil sesuai karakteristiknya masing-masing.
Setelah memahami berbagai hal terkait proses penyusunan inflasi beserta komponen yang mempengaruhinya, maka yang juga penting adalah kejernihkan dan keikhlasan dalam memahami angka inflasi tersebut agar dalam memaknainya menjadi lebih obyektif tidak melibatkan hal-hal yang bersifat non teknis seperti adanya kepentingan pribadi atau kelompok. Berbagai pihak kadang masih meragukan adanya hasil pengukuran statistik yang dinilai bias, namun bias juga bisa muncul karena pemahaman dalam melihat data yang tidak utuh, dalam pandangan sempit dan obyektifitas yang tidak jernih.
Semoga adanya pemahaman mendalam dan jernih serta produktif dalam perspektif agregasi yang lebih luas sesuai sebaran wilayah dan jumlah ragam komoditas barang dan jasanya beserta bobot dan penimbang dalam penyusunannya, maka dalam memaknai angka inflasi akan menghasilkan kesimpulan yang lebih obyektif dan berkualitas.