Oleh : Ummu Wildan
Pemerhati Perempuan
Seperti negara-negara lain di dunia, Indonesia pun merayakan Peringatan Hari Ibu (PHI) ke-94. Bedanya PHI bukan perayaan Mother’s Day sebagaimana di negara lain. Demikian menurut KemenPPA.
Tema yang diusung adalah Perempuan Berdaya Indonesia Maju. Dua dari empat sub temanya bahkan dikaitkan langsung dengan pemberdayaan ekonomi, yaitu kewirausahaan dan ekonomi digital. Tak satupun berkorelasi dengan revitalisasi perempuan sebagai seorang ibu.
Perempuan seakan lebih dianggap sebagai mesin penggerak ekonomi. Begitulah kesan yang mungkin didapatkan terkait berbagai program yang berkaitan dengan perempuan. Sebelum PHI ke-94 inipun Menteri PPPA pada perayaan Hari Kartini tahun ini menyebut bahwa Kartini masa kini harus mandiri, berdaya dan setara.
Perjuangan menempatkan perempuan agar setara dengan laki-laki telah lama dilaksanakan negeri ini. Maka tak mengherankan berbagai program terkait perempuan lebih bersifat umum ketimbang secara khusus mengarahkan perempuan pada peran alamiahnya perempuan.
Alamiahnya perempuan diberikan perempuan dengan rahim yang berfungsi untuk mengandung. Berikutnya tubuh berproses menjalani tahapan melahirkan dan menyusui. Berbagai perubahan fisik,
Proses-proses ini pun tak hanya bersifat biologis semata. Ada sisi emosional yang terlibat. Anak dapat merasakan kehangatan hubungan bahkan sejak dalam kandungan. Begitupun ketika melahirkan dan menyusui. Anak-anak yang kehadirannya diterima dan disyukuri dapat tumbuh secara maksimal. Begitupun sebaliknya. Anak-anak yang miskin kasih sayang akan tumbuh hingga dewasa miskin simpati apalagi empati. Jiwa yang kasar pun rapuhlah yang akan mewarnai dunia.
Saking pentingnya peran seorang ibu, ia bahkan disebut sebagai tiang negara. Kokoh maupun rapuhnya suatu negara dipengaruhi perempuan dalam melaksanakan perannya sebagai seorang ibu.
Sayangnya di sistem kapitalisme ini ibu, seperti perempuan lainnya, lebih dipandang sebagai penggerak roda perekonomian. Berbagai program dibuat agar ibu beramai-ramai beraktivitas di ranah publik.
Sebaliknya penguatan ibu di ranah domestik terkesan diabaikan. Banyak ilmu parenting yang tak dikuasai para ibu. Bahkan sesederhana bahwa anak memerlukan bonding dan kehangatan kasih sayang di usia golden age mereka. Anak-anak sudah masuk taman penitipan anak ketika usia mereka masih hitungan bulan. Pojok ASI memang disarankan, namun anak memerlukan tak hanya nutrisi fisik, tapi juga nutrisi jiwa.
Begitulah ketika sistem kapitalisme diterapkan di negeri ini. Tolak ukur utama yang digunakan adalah materi. Sesuatu dianggap berharga dan layak diperjuangkan ketika menghasilkan materi. Sebaliknya, sesuatu yang tidak menghasilkan materi cenderung dipandang rendah dan tidak menjadi prioritas.
Berbeda dengan aturan yang diturunkan Sang Pencipta. Dalam Islam, perempuan tak diminta menjadi mesin penghasil uang. Nafkahnya ditanggung oleh lelaki dan negara.
Ia diserahi tanggung jawab non materi yang sejatinya tidak kalah penting dibandingkan tugas para pencari nafkah. Ibarat seorang sutradara, sebuah film takkan sempurna tanpa perannya. Sebagus apapun lakon aktor dan aktris di depan layar, ada sutradara hebat di baliknya.
Sejarah menceritakan betapa banyak kemajuan yang dihasilkan kaum lelaki dengan perempuan hebat di baliknya. Ada Imam Syafi’i. Seorang anak yatim yang dibesarkan seorang ibu tangguh hingga menjadi seorang ulama besar yang mazhabnya diikuti mayoritas penduduk negeri ini. Ada pula Imam Bukhari. Seorang anak kecil buat di tangan ibu yang pantang menyerah akhirnya menjadi ulama hadis fenomenal.
Di bidang pemerintahan pun kita menemukan peran penting ibu di balik keberhasilan seorang ibu. Misalnya saja Khalifah Harun al Rasyid. Ibu beliau, Khaizuran, adalah seorang mantan budak. Namun dengan optimalisasi peran dalam mengurus anak, terbentuklah seorang pemimpin hebat yang namanya dikenal hingga ratusan tahun kemudian.
Maka untuk menjadikan Indonesia maju bukanlah dengan mengerahkan sebanyak-banyaknya perempuan ke ranah publik seperti yang dirancang oleh sistem kapitalisme sekuler saat ini. Telah banyak kita saksikan negara-negara yang mengarahkan para ibu bekerja, namun masa keemasan itu tak kunjung menyapa peradaban mereka. Alih-alih mereka mendapatkan generasi yang kering jiwanya.
Tidakkah kita ingin meniru kerahmatan yang pernah dirasakan umat manusia ketika Islam dijadikan panduan? Ketika perempuan dimaksimalkan perannya sebagai ibu dan pengatur urusan rumah tangga. Ketika para lelaki dan anak-anak yang telah lelah berjibaku seharian di luar rumah punya surga di rumah mereka. Seorang perempuan yang menyambut dengan pelukan hangat, bukan perempuan yang lelah terkuras fisik dan mentalnya.
Begitupun perempuan dapat menjalani hidup sesuai fitrahnya. Menjalankan peran utamanya tanpa harus dililit kewajiban bekerja yang tak pernah diberikan Tuhan kepadanya. Walaupun ia bekerja yang hukumnya dibolehkan oleh Sang Pencipta, dia dalam mode siap secara fisik dan mental. Bukan karena jeratan ekonomi karena ketidakjelasan penafkahan.
Negara pun dengan bersandarkan kepada hal tersebut akan menetapkan sistem pendidikan yang mengarahkan perempuan yang siap menjadi ibu, baik secara fisik juga secara keilmuan. Demikian agar terwujud generasi yang sehat, cerdas dan kuat mentalnya. Generasi yang akan menghasilkan Indonesia maju lewat ibu-ibu cerdas. Ibu-ibu tangguh pencinta ilmu seperti Khaizuran, bukan ibu-ibu minim ilmu yang sibuk menggosip dan nonton drama akan lebih mudah dibentuk dengan sistem pendidikan yang benar oleh negara.
Semoga peringatan hari ibu kali ini menjadi momentum mengembalikan peran ibu sebagai sosok penting peradaban. Bukan sebagai budak ekonomi, tapi sebagai tiang negara.