Oleh : Hana Nafisah
Pemerhati Sosial Keagamaan
Data kasus kekerasan yang terhimpun dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) yang digagas Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) hingga 2022, menyebutkan, bahwa kekerasan seksual menempati urutan atas sebagai jenis kekerasan yang kerap dialami korbannya, yakni sebanyak 11.016 kasus. Sepanjang 2022 terdapat 26.112 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan. Dari jumlah kasus itu, korban perempuan mencapai 23.684 orang. Angka ini jauh lebih banyak dibandingkan dengan korban laki-laki sebanyak 4.394 korban. Survei ini juga menyebutkan bahwa Provinsi Lampung masuk zona oranye tentang kerentanan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Sementara di Kalimantan selatan, sejak Januari hingga Agustus 2022 lalu, Polda Kalsel dan jajaran Polres menangani 74 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, yang pelakunya didominasi lingkungan keluarga. Dari 74 kasus ini, 30 pelakunya orang tua. Selain lingkungan keluarga, pelaku yang berlatar belakang teman dan pasangan kekasih alias pacar juga cukup banyak melakukan kekerasan seksual. Disusul tetangga dan ada beberapa kasus pelakunya guru di sekolah. Sementara dari 74 kasus, 28 korban adalah perempuan dan 48 anak-anak alias di bawah umur.
Data ini dipastikan merupakan fenomena gunung es, mengingat kasus KtP atau KtA (apalagi kekerasan seksual) banyak terjadi di ranah privat. Tidak semua orang berani melapor, apalagi membawa kasusnya ke jalur hukum. Bisa dikatakan, tidak ada satu tempat pun yang aman dari terjadinya tindak kekerasan. Di semua tempat, kekerasan bisa terjadi dan pelakunya bisa saja orang yang paling dekat dan dihormati, seperti saudara, bahkan orang tua di rumah, di tempat umum, lembaga sekolah, bahkan di pondok pesantren. Sebagaimana terjadi pada awal 2023 lalu, dimana setidaknya empat kasus kekerasan seksual terungkap di Lampung dan Jember, Jawa Timur. Mayoritas pelaku adalah ketua atau pimpinan pondok pesantren itu sendiri. Seperti kasus pemerkosaan pimpinan sebuah pondok pesantren di Bandung, Herry Wirawan kepada 13 santriwatinya.
Kondisi ini menunjukkan pemerintah belum mampu memberi solusi atas masalah kekerasan seksual terhadap perempuan maupun anak. Bahkan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi belum mampu dituntaskan, meskipun Mendikbudristek Nadiem Makarim mengesahkan Permendikbudristek Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Regulasi yang menjadi bagian dari amanat MBKM Episode 14 : Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual. Faktanya, kasus kekerasan seksual masih kerap terjadi di lingkungan kampus.
Jika mencermati, maraknya kekerasan seksual terhadap perempuan, karena tidak adanya perlindungan terhadap perempuan, baik dalam negara, masyarakat, maupun keluarga, akibat minimnya pemahaman tentang kewajiban masing-masing serta tidak berlakunya aturan baku di tengah umat. Nyatanya, adanya frasa “sexual consent” dalam regulasi Permendikbudristek Nomor 30 tahun 2021 tentang PPKS di lingkungan perguruan tinggi. Malah makin menunjukkan “liberalisasi pergaulan”, sebagaimana yang ditengarai dalam UU TP-KS. Jelas sekali ini berbahaya bagi generasi dan umat Islam, dikarenakan regulasi ini secara tidak langsung melegalkan perbuatan yang melanggar aturan Allah seperti perzinaan, aborsi dan lain-lain selama tanpa ada unsur paksaan. Bahkan di lingkungan kampus sekalipun.
Regulasi apapun yang dihasilkan atas landasan sekularisme sebagai ruh lahirnya aturan yang ada takkan membawa perubahan perbaikan umat (generasi). Karena di dalam setiap aturan yang dihasilkan, tidak menganggap keberadaan agama sebagai bagian penting pengatur hidup manusia. Sebaliknya justru memisahkan agama dalam kehidupan pergaulan dan sosial masyarakat. Ini akan menggiring umat tanpa atau dengan kesadaran melakukan pembangkangan terhadap aturan Allah. Pembangkangan ini menyebabkan kebebasan berperilaku tumbuh subur, khususnya dalam naungan payung individualisme yang terjamin oleh sistem demokrasi dan kapitalisme dengan aturan sekular yang menjadi pelumasnya.
Sistem sekular menebarkan kehidupan bebas (liberal) yang dianut negara barat kepada masyarakat. Barat melakukan kesalahan dalam memandang hubungan pria-wanita, yakni sebatas aspek seksual (jinsiyah) yang berujung pada mendewakan syahwat. Mereka menganggap bahwa syahwat harus dipenuhi. Jika terhalang, maka akan menghantarkan kepada kematian. Dan ironisnya, pemikiran salah ini terus disebarkan secara masif oleh Barat ke seluruh penjuru dunia demi membangun dan menjaga hegemoninya, melalui metode ghazwul fikri (perang pemikiran), ghazwul tsaqofi (perang kebudayaan), dan ghazwul siyasi (perang politik) yang dilancarkan melalui kaki tangannya di negeri-negeri muslim, termasuk di Indonesia. Berbagai sarana pun dimanfaatkan, mulai dari media visual, audio visual, maupun cetak, juga berbagai kanal media sosial menayangkan berbagai tontonan yang dapat membangkitkan syahwat, seperti pornografi dan pornoaksi. Juga perilaku perempuan yang mengumbar aurat, turut berkontribusi memperparah cara pandang terhadap lawan jenis dengan pandangan seksual dan syahwat. Maka tak heran, jika teknologi dan media informasi dunia hari ini justru dikendalikan oleh barat untuk merusak umat terutama generasinya. Dan jelaslah kemudian bahwa segala regulasi tentang kekerasan seksual yang ada hari ini tentu tak lepas dari pengaruh pemikiran dan pandangan barat yang telah ditanamkan kepada umat melalui penguasa-penguasa negeri-negeri demokrasi yang menjadikan sekularisme liberal sebagai asas negaranya. Walhasil, bukannya memberi solusi, justru penerapan sistem ini telah mengikis ketakwaan individu. Menyebabkan kriminalitas marak terjadi, mulai dari perundungan, penganiayaan, pelecehan, intimidasi, hingga pembunuhan. Kasus-kasus seperti ini adalah efek penerapan sistem sekularisme. Kejahatan yang ada seperti tindak kekerasan seksual, tidak akan terkikis dari tubuh umat dengan perubahan UU atau pembuatan RUU yang berasal dari pikiran manusia yang lemah dan terbatas. Sekularisme justru membuat tindak kekerasan seksual tumbuh subur karena sistem ini me
njunjung tinggi HAM dan kebebasan perilaku serta menjadikan dunia sebagai pusat orientasi kehidupan.
Mengharapkan kapitalisme dan demokrasi mampu menuntaskan kekerasan seksual layaknya pungguk merindukan bulan. Berharap kebaikan, tetapi tidak jua mendapatkannya. Sejatinya, jika pemerintah bersungguh-sungguh ingin menghapuskan kekerasan seksual yang terjadi ditengah umat, maka ada beberapa Langkah yang harus ditempuh untuk menyelesaikan persolan ini. Pertama, membangun asas kehidupan bernegara berdasarkan akidah Islam yang menerapkan syariat Islam secara kaffah, termasuk melarang keras paham kebebasan (liberalisme). Kedua, menutup rapat semua pintu terjadinya tindak pelecehan dan kekerasan seksual, baik berupa tontonan, tayangan dan iklan yang mendorong bangkitnya syahwat dan seksualitas. Ketiga, memberi sanksi tegas yang membuat jera pelaku dengan menerapkan had (hukuman) Islam atas pelaku pelecehan seksual, perkosaan, ataupun tindak pidana lainnya dengan hukuman jilid, rajam, atau hukuman lain yang lebih berat sesuai tindak pidana yang dilakukan. Dan keempat, negara membangun ketakwaan individu dan mendorong selalu taat dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala larangannya.
Namun, langkah ini mustahil diwujudkan, karena bertolak belakang dengan asas sistem sekularisme. Maka solusi tuntas problem kekerasan seksual dan problem umat lainnya hanya mampu diwujudkan melalui sistem dari Sang Pencipta, yang tak lemah dan terbatas, yakni sistem yang bersandar pada akidah Islam sebagai ideologi (khilafah). Khilafah menerapkan aturan Allah secara kafah dalam kehidupan. Penerapan ini bertujuan memberikan kebaikan pada umat manusia. Allah menjelaskan maksud dan tujuan pemerintahan Islam, yakni memelihara agama, mengatur urusan masyarakat, menjaga negara dan umat dari orang-orang yang merongrong, menyebarkan dakwah Islam keluar wilayah daulah, serta menghilangkan pertentangan dan perselisihan antara anggota masyarakat dengan penuh keadilan.
Hanya regulasi negara yang berasaskan akidah Islam yang mampu mewujudkan perlindungan sejati. Akidah membentuk ketakwaan individu yang membangun kesadaran akan adanya pertanggungjawaban di akhirat, sehingga menjadi pengikat untuk selalu taat pada aturan Allah. Ini mendorong perilaku baik terhadap sesama, termasuk perempuan dan anak. Negara menjadi perisai yang mewujudkan pelindungan secara nyata. Melahirkan regulasi yang menutup celah yang memicu kekerasan terhadap perempuan dan anak secara menyeluruh dan komprehensif. Oleh karena itu, satu-satunya harapan masyarakat ialah sistem Islam (Khilafah) secara menyeluruh menjaga manusia dari berbagai tindakan kejahatan, bukan hanya perempuan dari kekerasan seksual. Dengan Islam, manusia tidak akan berpikir liberalisasi seksual, karena itu adalah tindak kriminal/kejahatan besar (jarimatul kubra).
Allah melengkapi hukum Islam yang mengatur segala bentuk interaksi manusia di dalam kehidupan. Allah juga memberikan jaminan berupa surga bagi siapa saja yang terikat hukum Islam. Islam yang sempurna tidak akan lengkap eksistensinya tanpa adanya khalifah. Keterikatan banyaknya hukum-hukum agama dengan keberadaan khalifah menjadikan kehadirannya wajib menurut syara, kemudian menjadikan usaha untuk mengadakannya juga wajib. Maka wajib bagi kaum muslim, baik individu, jemaah, maupun negara, untuk menerapkan hukum-hukum Islam secara sempurna, tanpa menunda-nunda, memperlambat, ataupun bertahap dalam penerapannya. Hari ini Islam masih dicampakkan, bahkan oleh umatnya sendiri. Kewajiban umat yang memiliki kesadaran penerapan Islam kaffah untuk mendakwah dan memperjuangkannya.
Jika menelaah arah perjuangan Rasulullah SAW, akan terlihat beberapa hal yang menjadi refleksi arah perjuangan saat ini. Pertama, Rasulullah SAW melakukan dakwah secara berjemaah. Kedua, dakwah Rasulullah SAW tidak mengenal kompromi. Beliau berdakwah dengan ajakan lugas, tidak bermanis muka, dan tanpa tedeng aling-aling di hadapan pemimpin Quraisy. Ketiga, orientasi perubahan Rasulullah SAW adalah perubahan rezim dan sistem. Beliau bukan sekedar mengajak orang kafir memeluk agama Islam, melainkan untuk mewujudkan masyarakat Islam, yang menggantikan sistem jahiliah. Maka yang mampu kita lakukan sebagai Muslimah dalam perjuangan zaman ini tetaplah mengikuti jejak perjuangan Rasulullah saw. Pertama, menjadikan akidah dan hukum Islam sebagai landasan gerak dan perjuangan. Dengan senantiasa intensif menanakan dengan kuat akidah melalui kajian islam kaffah. Karena, keterikatan seorang muslim terhadap aturan Allah adalah salah satu benteng pelindung dari liberalisasi seksual, selain kontrol masyarakat dan penerapan aturan Islam oleh negara Islam (Khilafah). Kedua, berjuang Bersama jamaah dakwah, serta mengambil visi dan misi yang sama dengan pergerakan kolektif (jemaah) Islam, yakni bertujuan menegakkan Islam kafah di tengah umat. Ketiga, kaum muslimah tidak boleh memisahkan diri dari perjuangan umat Islam secara keseluruhan. Keempat, gerakan muslimah harus mengarahkan perjuangannya pada upaya optimalisasi peran politik perempuan di tengah masyarakat sesuai aturan Islam, dengan memanfaatkan berbagai sarana yang tersedia menopang perannya, termasuk optimalisasi media sosial untuk membangun opini Islam yang massif dan kuat melawan opini rusak yang menyebar di tengah umat. Muslimah harus tahu dan paham segala hal tentang berbagai ide kufur, opini negatif, dan segala sepak terjang para musuh Islam yang berseliweran di dunia maya.












