Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Aktualisasi Etnomedisin Kalimantan

×

Aktualisasi Etnomedisin Kalimantan

Sebarkan artikel ini

Oleh : Ahmad Barjie B
Penulis Buku Sejarah dan Budaya Banjar

Jangan duduk di atas bantal
Ujar orang tua bisa bisulan
Kita punya pengobatan tradisional
Perlu digali dan dilestarikan

Baca Koran

Pusat Bahasa Sastra dan Komunitas dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang dulu bernama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), belum lama tadi meneliti khazanah pengobatan tradisional di Kalimantan, khususnya Kalimantan Selatan. Didahului Focus Group Discusion (FGD) dengan narasumber Khairiadi, mantan dosen sejarah FKIP ULM dan Prof Dr Zulfa Jamalie, guru besar dan Direktur Pascasarjana UIN Antasari, dipandu BRIN dan menghadirkan kalangan terkait.

Selanjutnya, BRIN melakukan riset lapangan di tiga kota, Banjarmasin, Banjarbaru dan Martapura. Menyasar para praktisi pengobatan tradisional seperti tukang urut/pijat, pananamba, tuan guru yang biasa memberikan air/obat penawar dengan media doa-doa, tabib, serta sejumlah ahli lain yang sering diminta masyarakat mengobati suatu penyakit fisik dan nonfisik, baik dengan bahan tumbuhan (herbal theraphy), hewan (zoo theraphy), maupun pendekatan spiritual, magis dan sebagainya. Penulis menemani kru BRIN mewawancarai Syahriel Ishaq Komis, pemijat profesional Banua Anyar dan Tuan Guru HM Qadriansyah di Amanda Permai Banjarmasin. Wajidi dari Balitbangda Kalsel, Eka Suryatin dari Balai Bahasa mendampingi BRIN terjun ke Banjarbaru dan Martapura.

Meskipun BRIN hanya meriset selama 10 hari, namun menurut Khairiadi, waktu itu tidak akan cukup. Sebab, banyak sekali bahan obat tradisional di hutan-hutan Kalimantan, terlebih kawasan pegunungan Meratus. Diperlukan bertahun-tahun, kalau bahan-bahan obat tersebut diteliti secara detil, belum lagi para praktisi yang ahli menggunakan dan konsumennya. BRIN sendiri memiliki misi mendalami lebih jauh kekayaan alam Kalimantan terkait pengobatan tradisional, kemudian menginventarisasi dan mempublikasikan secara cetak dan online, dalam dan luar negeri. BRIN ingin ada kamus atau ensiklopedi pengobatan tradisional dari Kalimantan Selatan yang objektif, aktual dan dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu mereka berkomitmen meneliti di lapangan, bukan sekadar menggali bahan dari seminar, lokakarya, FGD atau mengambil data dari buku-buku dan internet saja.

Baca Juga :  Surga Dunia

Kekayaan Potensial

Profesor Dr Bani Sudardi dari Universitas Sebelas Maret Solo, dalam Seminar Manuskrip Borneo di Bandar Seri Begawan Brunei Darussalam (2017) menekankan, hutan Kalimantan sangat kaya, nomor dua setelah Brazilia. Di dalamnya tersimpan berbagai tanaman sebagai bahan obat, biasa disebut Tanaman Hutan Berkhasiat Obat (THBO). Yang sangat terkenal misalnya pasak bumi (eurycoma longifolio) dan tangkur buaya. THBO meliputi jenis rerumputan sampai pohon berbatang tinggi, bahkan ada tumbuhan liar dan pengganggu seperti benalu yang juga berkhasiat. Di Kalimantan juga ditemukan akar kuning (coscinium fenestratum) dan tanaman kerabat menispermaceae yang sekarang dilirik dunia internasional sebagai bahan baku obat. Masih banyak bahan lain seperti benalu teh (scarrula antropurperea), ilalang (imperata cylindrica) kumpai japang (eupatorium inaloefollium) dll.

Etnis Dayak, Banjar, dan Kutai dikenal terampil meramu obat-obat dengan bahan dari kekayaan hutan dan lingkungan. Tradisi pengobatan tersebut sering masih bercampur berbagai ritual sesuai kepercayaan masyarakat. Para ahlinya biasa disebut guru, tabib, dukun, balian, basir, orang pintar, pananamba dll. Pengobatannya sering memiliki filosofi keseimbangan (mirip konsep yin-yang China), berupa penggabungan tumbuhan dengan istilah “laki bini”, saurat, tawar sapuhun, dll. Tumbuhan sejenis yang berbeda warna bunga dianggap sepasang, ukuran dan bentuk daun yang berbeda dikategorikan pasangan yang memiliki khasiat lebih baik. Bagi etnis Dayak, pengambilan tumbuhan berkhasiat sering harus memohon izin kepada roh gaib penjaga hutan dengan mantra dan doa-doa tertentu (Hut, 2012).

THBO di Kalimantan dewasa ini menghadapi berbagai masalah, misalnya langkanya pohon tertentu seperti asam tandui, dan lenyapnya pengetahuan tradisional di kalangan generasi muda. Juga kurangnya catatan tradisional tentang pengetahuan obat-obatan, beberapa ahli pengobatan menganggap resep mereka rahasia, banyak ahlinya sudah meninggal tanpa penerus dan sebagainya.

Baca Juga :  Kader Peduli Pendidikan Dari Akar Rumput Sinergi Orang Tua Dan Sekolah Dalam Semangat Tri Dharma Uniska

Urgensi Kajian

Etnomedisin bagian dari kajian antropologi, penelitian tentangnya dapat menunjang pembangunan bidang kesehatan. Apalagi sebagian besar penemuan obat-obat modern juga berasal dari tradisi etonomedisin yang dikembangkan dan diolah dengan ilmu modern. Etnomedisin menjadi kekayaan yang dapat dikembangkan untuk berbagai kepentingan seperti penggalian kearifan lokal bidang kesehatan, bahan atraksi wisata, bahan pengembangan kuliner, serta pengetahuan pengobatan tradisional yang dikembangkan untuk pengobatan modern.

Beberapa negara, seperti India, Thailand dan China telah mengangkat sistem medik tradisional ke dalam salah satu alternatif pengobatan dan bagian dari atraksi wisata. Salahsatu bentuknya ialah pengembangan zoo theraphy, yang bagi China saat ini menjadi bagian dari atraksi wisata menarik, khususnya di Hongkong. Asia Tenggara khususnya Indonesia belum memberikan perhatian yang cukup terhadap zoo theraphy untuk menjadi pengobatan alternatif.

Riset dan dokumentasi secara akademik dan publikasi secara aktual langkah penting dalam usaha pengkajian dan memberikan dasar yang rasional untuk kebijakan lebih lanjut. Apabila tidak dikaji, potensi ini akan hilang musnah, bahkan hak patentnya bisa diambil negara lain. Jamu sebagai tradisi Jawa, dan ramuan kampung sebagai tradisi Melayu-Banjar pada dasarnya sama-sama berbahan THBO. Pihak yang memiliki kepedulian dan keahlian seperti BRIN perlu memvalidasi beberapa jenis resep etnomedisin guna melihat kelayakan dan keamanan dalam penggunaannya.

Diperlukan pula kajian tentang ukuran dosisnya. Misalnya pisang awa/laguk berguna mengobati maag dan berak-berak, tapi kalau kebanyakan akan sulit BAB akibat tinja yang mengeras. Juga kajian tentang kehalalannya, khususnya dari golongan zoo theraphy. Selama ini daging kura-kura, penyu, bakecot dan keong dapat mengobati gatal dan kudis. Namun karena bahan ini tidak halal bagi muslim, menurut Zulfa Jamalie bisa diganti lendirnya saja, atau perbanyak makan siput haliling dan ketuyung. Jadi, dalam pengobatan tradisional tetap perlu ada ukuran dan pertimbangannya.

Iklan
Iklan