Oleh : Nailah, ST
Pemerhati sosial politik
Akhir Desember 2022 lalu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui Wakilnya, Dante Saksono Harbuwono, mengungkapkan bahwa kasus stunting di negeri ini masih tinggi. Setidaknya ada 12 provinsi yang perlu penanggulangan khusus. Tujuh di antaranya NTT (37,8 persen), Sumatra Barat (33,8 persen), Aceh (33,2 persen), NTB (31,4 persen), Sulawesi Tenggara (30,2 persen), Kalimantan Selatan (30 persen), dan Sulawesi Barat (29,8 persen). Sedangkan lima wilayah yang menduduki kasus terbesar adalah Jawa Barat (971.792 kasus), Jawa Timur (651.708 kasus), Jawa Tengah (508.618 kasus), Sumatera Utara (347.437), dan Banten (265.158 kasus). (Tempo, 24-1-2023).
Stunting bukan sekadar masalah kesehatan. Menurut Perpres RI 72/2021, stunting dapat diartikan sebagai gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang, ditandai dengan panjang atau tinggi badannya di bawah standar yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
Penyebab stunting adalah kurangnya asupan gizi dan kandungan nutrisi pada anak-anak, pola asuh yang salah karena kurangnya pengetahuan, kurangnya edukasi pada ibu hamil dan menyusui, buruknya lingkungan sanitasi tempat tinggal (seperti tidak tersedianya MCK yang layak), juga sulitnya akses kesehatan bagi ibu hamil dan menyusui.
Dampak stunting meliputi jangka pendek dan panjang. Jangka pendeknya, anak akan mengalami pertumbuhan di bawah rata-rata pertumbuhan anak seusianya. Kemampuan kognitifnya juga terganggu. Pada jangka panjang, mereka akan rentan terjangkit penyakit diabetes, obesitas, penyakit jantung, pembuluh darah, kanker, strok, dan disabilitas saat usia tua. Berdasarkan hal ini, jelaslah bahwa stunting akan memengaruhi kualitas SDM pada masa mendatang.
Menurut Wahyu Pratomo, Kepala Perwakilan BI Kalsel, persoalan UMKM ada hubungan dengan tingkat inflasi serta stunting (terhambatnya tumbuh kembang anak/bayi).
Dukungan BI terhadap penanganan stunting tercakup dalam lima aspek. Kelima aspek itu adalah pengendalian inflasi, pemberdayaan UMKM, ekonomi digital, pengelolaan uang rupiah, dan Program Sosial Bank Indonesia (PSBI). Seluruh aspek tadi, kata Wahyu, bertujuan memperkuat ketahanan dan mengakselerasi pemulihan ekonomi, yang pada gilirannya akan berkontribusi terhadap penurunan angka stunting.
“Khusus aspek terakhir, pada lingkup kepedulian sosial, BI akan memprioritaskan penyalurannya ke lima daerah dengan angka prevalensi stunting tertinggi di Kalsel, yakni Barito Kuala, Kotabaru, Hulu Sungai Tengah, Balangan, dan Hulu Sungai Utara,” kata Wahyu (Jumat, 10 Maret 2023).
Faktor Utama: Kemiskinan
Penyebab langsung stunting ada tiga sebab terbanyak, yakni 79,8 persen bayi dan anak di bawah dua tahun (baduta) mengonsumsi MPASI buah sayur, 78,6 persen mengonsumsi MPASI protein hewani, dan 72,5 persen prolonged ASI (7—24 bulan).
Dari angka ini, jelas bahwa sejatinya persoalan stunting terkait erat dengan kurangnya akses terhadap gizi lengkap dan seimbang. Faktor utama penyebab rendahnya akses terhadap gizi adalah kemiskinan.
Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy pun mengakuinya (2/3/2021). Menurutnya, kemiskinan merupakan penyebab sebagian besar stunting, yakni ibu dan anak tidak memperoleh gizi cukup. Walhasil, kunci untuk menurunkan stunting adalah penanganan kemiskinan.
Jika telaah secara mendalam, faktor utama stunting adalah rendahnya akses terhadap makanan bergizi yang terkait erat dengan faktor kemiskinan—sebagaimana halnya rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan, termasuk sanitasi dan air bersih.
Kemiskinan juga membuat para calon ibu dan ayah memiliki tingkat kesehatan rendah yang jelas berisiko stunting. Ini karena gizi seorang wanita sebelum hamil terkait erat dengan kesehatan masa hamil.
Akibat Kapitalisme
Ketakmampuan masyarakat dalam memenuhi gizi adalah akibat kemiskinan yang melanda dunia. Meskipun banyak SDA yang dapat dikelola, hasilnya dinikmati kelompok tertentu saja. Belum lagi sulitnya mencari lapangan pekerjaan. Kalaupun ada, upahnya “murah” yang turut menambah penderitaan. Di bawah kapitalisme, dunia dipenuhi pemilik modal yang rakus yang hanya ingin kaya sendiri, sedangkan rakyat biasa bisanya gigit jari.
Negara pun tidak bisa apa-apa. Meski berbagai solusi teknis dilakukan, tetap saja tidak bisa menyelesaikan sebab problem utamanya masih ada. Negara juga tidak mampu menekan para pemodal yang meraup untung demi kesenangannya. Negara hanya bisa memberi regulasi, itu pun tetap lebih menguntungkan mereka.
Semua ini akibat penerapan sistem global yang mengambil kapitalisme sebagai acuan. Sistem ini memberi kebebasan para kapitalis untuk menumpuk kekayaan, semuanya “halal” demi mencapai kepentingan. Akhirnya, si kaya makin kaya, si miskin tambah mengenaskan. Kalau sudah miskin, rakyat tentu tidak mampu memenuhi kebutuhannya secara ideal.
Didalam sistem kapitalisme sekuler masyarakat dianggap sebagai kumpulan individu yang hidup dalam suatu wilayah sehingga ketika ada masalah kesejahteraan individu masyarakat dianggap sebagai masalah pribadi mereka sendiri dan harus dipecahkan sendiri.
Peran negara hanya menstimulasi dan meregulasi. Salah satunya dengan melakukan pembinaan UMKM, yang ada disisi terujung perdagangan mikro.
Sosialiasi dan pemberian makan tambahan untuk balita stunting, pemberian obat tambah darah untuk ibu hamil juga bukan pangkal masalah, yang sebenarnya pangkal adalah kesejahteraan dan akses pangan bergizi akibat penerapan sistem kapitalis.
Penyelesaian Serius
Mengingat masalah stunting adalah masalah sekunder, sedangkan masalah pokoknya adalah penerapan kapitalisme, maka perlu mencari solusi yang benar. Islamlah jawabannya. Dengan penerapan Islam yang total, negara akan memenuhi tanggung jawabnya dan tidak akan membiarkan para korporasi menguasai kekayaan alam.
Negara akan mengelola sumber daya alam (SDA) dan memberikan hasil pengelolaan itu pada masyarakat. Untuk menanggulangi stunting, negara akan menjamin dan memastikan kebutuhan masyarakat terpenuhi, terutama makanan yang dikonsumsi halal dan bergizi.
Apabila ada yang masih belum bekerja, negara memberi fasilitas membuka lapangan pekerjaan hingga seseorang bisa memenuhi kebutuhan keluarganya secara baik. Seiring waktu, stunting pun bisa dihilangkan. Jadi, satu-satunya sistem yang pantas dan mampu untuk menyelesaikan masalah stunting secara serius dan sistemik hanyalah Islam.