Oleh : Ahmad Barjie B
Penulis buku Perang Banjar-Barito dan 4 Pahlawan Nasional dari Banjar
Belum lama tadi, tepatnya 16 Mei 2023 lalu, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Pemerintah Kota Banjarmasin mengundang sejumlah Ketua RT-RW, tokoh masyarakat, pemuda dan mahasiswa untuk mengikuti acara Sosialisasi Wawasan Kebangsaan di Hotel Nasa Banjarmasin. Narasumber diantaranya Kepala Badan Dr Luqman Fadlun SH MH, anggota DPRD Kota Banjarmasin Ir Sukhrowardi MAP, mantan Ketua KPU Kota Banjarmasin Drs Bambang Budiyanto MSi, staf ahli Walikota Reno Azhari, dan lainnya. Penulis ikut hadir mewakili Kelurahan Pekapuran Raya, sempat bertanya dan juga memberi buku untuk para narasumber.
Materi yang disampaikan umumnya terkait dengan Pancasila dan UUD 1945, perlunya menjaga persatuan dan kesatuan dan sebagainya. Mengingat tanggal tersebut menjelang peringatan Hari Proklamasi 17 Mei. Diantara narasumber juga bertanya sekitar Proklamasi 17 Mei 1949. Peserta ada yang tahu, ada yang ragu-ragu, dan banyak pula nyaris tidak tahu peristiwa tersebut. Mengingat pentingnya untuk tidak melupakan sejarah, tulisan ini mencoba mengulang kaji sedikit peristiwa tersebut.
Dua Proklamasi
Sejarah Nasional dan Kalimantan era 1945-1949 memang mencatat dua proklamasi, yaitu Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 di Jakarta yang ditandatangani Soekarno-Hatta, dan Proklamasi ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan di Kandangan 17 Mei 1949 yang ditandatangani Gubernur Tentara Hassan Basry. Proklamasi Kalimantan ini memperkuat Proklamasi 17 Agustus 1945 meskipun tidak diakui Belanda. Kolonialis Belanda yang berganti baju menjadi NICA ingin meneruskan penjajahan yang sempat jeda oleh pendudukan Jepang 1942-1945. Ketika Jepang kalah usai Perang Dunia II (1939-1945), Belanda yang sudah ratusan tahun menjajah Indonesia ingin menyambungnya kembali.
Belanda memang ingin menjajah Indonesia selamanya. Di masa Perang Banjar Barito (1859-1906), Belanda sering menjanjikan hadiah-hadiah besar dan bebas pajak tujuh turunan bagi siapa saja yang berhasil meringkus pejuang hidup atau mati. Belanda sering merayakan secara besar-besaran hari-hari penting negaranya di Indonesia, seperti kelahiran dan pengangkatan ratu-raja. Di masa revolusi (1945-1949), selain memusuhi pejuang juga menanamkan ketakutan dan inferioritas kepada rakyat yang ingin merdeka. “Memangnya punya orang pintar berapa, uang berapa, senjata berapa, berani-beraninya ingin merdeka,” begitu kata para pejabat Belanda dan antek-anteknya dari kalangan pribumi yang suka menjilat penjajah. Semua ini mengisyaratkan Belanda tidak pernah berpikir memberi kemerdekaan secara sukarela.
Itu sebabnya usai PD II, Belanda sangat gigih untuk bercokol kembali. Belanda tidak dapat menyembunyikan hasratnya dengan melakukan Agresi I dan II. Meskipun mau berunding, tapi Belanda tetap ingin menang sendiri, sehingga wilayah RI yang ‘diakui’ hanya Jawa dan Sumatra, selebihnya milik Belanda. Termasuk Kalimantan dianggap milik Belanda, apalagi Pemerintah RI di pusat (Yogyakarta) tidak berdaya mempertahankannya. Pangeran Muhammad Noor sebagai Gubernur Kalimantan yang diangkat Presiden Soekarno tidak bisa pulang ke Banjarmasin, karena Kalimantan diblokade armada laut Belanda.
Di luar dugaan Belanda, di daerah-daerah muncul satuan-satuan perjuangan yang mendukung Proklamasi 17 Agustus 1945 dan tidak mau dipisah dengan NKRI. Salahsatunya ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan pimpinan Hassan Basry, Aberani Sulaiman, M Hammy, M Yusie, Damanhuri dan banyak lagi. Setelah bertahun-tahun berjuang dengan banyak korban di pihak pejuang, rakyat dan musuh, tidak ragu menyatakan Proklamasi 17 Mei. Proklamasi ini tidak semata bukti kesetiaan Kalimantan terhadap NKRI, tetapi juga ada keyakinan dan rasa percaya diri. Menurut Alihamdi Budhigawis dan Abdurrahman Karim, keduanya pejuang dalam ALRI Divisi IV, beberapa alasan mengapa pejuang Kalimantan menyuarakan Proklamasi 17 Mei. Pertama, mereka telah mendengar kabar Presiden Soekarno memberi mandat kepada Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara yang berkunjung ke Bukittinggi untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) sekiranya pemerintah pusat di Jakarta dan Yogyakarta benar-benar dikuasai Belanda, lumpuh dan tidak dapat menjalankan fungsinya lagi. Kedua, pemerintah pusat juga meminta agar para tokoh Indonesia yang sedang berada di New Delhi India mendirikan pemerintah darurat di luar negeri, sekiranya RI dinyatakan bubar oleh Belanda. Jadi, kalau Bukittinggi dan New Delhi gagal, pejuang kita di Kalimantan juga berhak dan siap menjadi tempat pemerintah darurat.
Di Kalimantan terdapat pula satuan-satuan pejuang rakyat sipil (milisi) yang terus bergerilya mengusir Belanda, seperti laskar-laskar Hizbullah, Saifullah, Sabilillah, Tengkorak Putih, Mandau Telabang, Barisan Pemberontak, Pasukan Berani Mati dan sebagainya. Termasuk sejumlah organisasi sipil dan pers-pers perjuangan yang bergerak secara politik. Semua perlu disatunafaskan dalam ALRI Divisi IV, karena kalau terpisah-pisah mudah sekali dipecah dan dikalahkan Belanda. Dan akibat gencarnya serangan gerilyawan, kebanyakan daerah di Hulu Sungai dikuasai pejuang, apalagi malam hari, Belanda hanya menguasai perkotaan di siang hari. Kevakuman pemerintahan itu mendorong ALRI Divisi IV mendirikan Pemerintah Gubernur Tentara, yang juga menangani urusan-urusan sipil seperti ekonomi, perdagangan, pendidikan, keagamaan, administrasi dan sebagainya.
Mencintai dan Dicintai
Damping melakukan kekerasan terhadap pejuang dan rakyat, Belanda gencar berperang urat saraf untuk membuat rakyat bingung, takut, sekaligus memberangus pejuang. Berbagai cara ditempuh, diantaranya memberi label gerombolan, ekstremis, penjahat, pengacau, pembuat onar, biang kerok dan berbagai istilah buruk lainnya kepada pejuang. Label ini sudah digunakan Belanda sejak masa Perang Banjar, misalnya Pangeran Hidayatullah yang memimpin perang disebut hoofdopstandeling (kepala gerombolan pemberontak). Sebaliknya, orang-orang yang memihak atau mendukung Belanda, dari kalangan pribumi atau Belanda sendiri, dipuji, diberi hadiah, jabatan, gelar dan bintang kehormatan.
Label gerombolan yang berkonotasi negatif ini juga diberikan Belanda kepada pejuang yang tergabung dalam ALRI Divisi IV. Mereka dianggap pengacau, pemberontak, termakan hasutan sesat (untuk merdeka) dan pengganggu pemerintahan yang sah (Belanda). Sebutan gerombolan ini banyak digunakan pejabat dan pers Belanda atau pers di daerah yang pro Belanda, (Lihat riset sejarah Wajidi dalam bukunya terbaru Nasionalisme 3 Zaman, 2023).
Untungnya hati dan pikiran rakyat saat itu masih jernih. Mereka dapat membedakan mana pejuang, penjahat, pecundang dan pengkhianat bangsa. Ketika Kalimantan tidak lagi aman akibat serangan gerilyawan yang makin gencar terhadap posisi-posisi Belanda, penduduk perkotaan seperti Banjarmasin, Martapura, Rantau dan Kandangan, mengungsi ke pedesaan dan pedalaman yang dikuasai pejuang, bukan ke perkotaan yang dikuasai Belanda. Meskipun hidup di pedesaan serba sulit, mereka merasakan suasana aman, damai. Pemimpin pejuang dan tentara rakyat saat itu berhasil menanamkan rasa sejuk dan merdeka di hati rakyat dan pengungsi.
Menurut kesaksian pelaku sejarah HM Lambran Ladjim (1926-2011), di antara penyebab pejuang dan rakyat saat itu menyatu hati dan gerakannya, karena para pemimpin pejuang seperti Hassan Basry, Aberani Sulaiman, Muhammad Hammy AM, Muhammad Yusie, Martinus, Damanhuri, P Arya dan banyak lagi, rela hidup suka dan duka bersama rakyat. Rela menahan lapar agar rakyat yang dinaunginya bisa makan. Rela berjaga-jaga terhadap musuh agar rakyat yang mengungsi bisa tidur nyenyak dan merasa aman. Rela mengorbankan harta dan nyawanya demi rakyat, sehingga rakyat pun tanpa ragu memberi dukungan. Rakyat meminjamkan rumahnya sebagai markas pejuang, memberikan harta, materi dan uang sebagai bekal dan logistik, bahkan juga ikut barisan perjuangan. Pengrajin besi di Nagara-HSS juga aktif membuat senapan rakitan dan senjata-senjata tradisional, sehingga oleh Belanda disebut biang kerok ekstremisten.
Kalau pemimpin, elit dan pejabat sekarang ingin dicintai dan didukung rakyat, mereka harus mewarisi semangat pejuang, hidup menyatu dan setara dengan rakyat dalam suka dan duka. Kesejahteran rakyat harus didahulukan untuk diperjuangkan secara adil dan merata. Pemimpin yang benar adalah yang paling awal merasakan penderitaan dan paling akhir menikmati kesejahteraan, bukan sebaliknya.
Rakyat Kalimantan sebagai pendukung setia NKRI dalam masa-masa perjuangan, dan sekarang mengorbankan kandungan SDA untuk pembangunan, sudah sepantasnya diprioritaskan mendapatkan kehidupan yang lebih sejahtera. Wallahu A’lam.