Banjarmasin, KP – Kasus penusukan yang menimpa siswa salah satu SMA Negeri di Banjarmasin baru-baru ini, mendapat sorotan dari legislatif, mengingat pelaku dan korban sama-sama masih di bawah umur dan peristiwa terjadi di lingkungan sekolah.
“Kejadian ini sangat memprihatinkan, karena sekolah semestinya menjadi wadah mereka belajar dan mengembangkan diri, bukan mencoreng dunia pendidikan,” kata Ketua Komisi IV DPRD Kalsel, HM Lutfi Saifuddin kepada wartawan, Selasa (1/8/2023), di Banjarmasin.
Lutfi Saifuddin menegaskan, meskipun masuk ranah kriminal, tetapi hal ini merupakan tanggung jawab semua pihak, terutama untuk mengantisipasi terulangnya kejadian serupa.
“Salah satunya dengan menekan risiko terjadinya tindakan perundungan atau bullying terhadap sesama rekan pelajar, seperti yang jadi alasan penusukan di sekolah tersebut,” ujar politisi Partai Gerindra.
Ditambahkan, pendidikan karakter dinilai menjadi penting agar peserta didik memiliki rasa empati kepada rekannya serta menahan diri untuk tidak melakukan perbuatan yang merugikan.
Mengingat, dampak dari perundungan terbilang fatal, khususnya bagi psikis korban.
“Kita tidak ingin lagi ada praktik-praktik negatif yang dilakukan sekelompok peserta didik yang mengakibatkan temannya merasa di-bully atau disisihkan,” jelas Bang Lutfi, panggilan akrab Lutfi Saifuddin.
Bahkan Bang Lutfi setuju dengan wacana psikotes bagi calon peserta didik baru, untuk memastikan kondisi psikologinya, sebagai gambaran dan pedoman untuk mengatasi resiko konflik.
“Bukan untuk mendiskriminasi, melainkan untuk mengetahui masalah apa yang pernah dialami oleh yang bersangkutan, untuk menekan potensi konflik,” ujar wakil rakyat dari daerah pemilihan Kalsel I, yakni Kota Banjarmasin.
“Kegiatan pengenalan sekolah juga harus jadi acara yang menyenangkan, bukan menjadi ajang perundungan,” tegasnya.
Hal senada diungkapkan Sekretaris Komisi IV DPRD Kalsel, Firman Yusi yang sangat prihatin dengan kejadian tersebut serta meminta agar semua pihak menghentikan semua publikasi dokumen kejadian di berbagai media sosial.
“Hentikan publikasi di berbagai media sosial, baik rekaman CCTV, wajah pelaku maupun korban, mengingat yang terlibat berusia di bawah umur,” kata Firman Yusi.
Ketentuan UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memuat larangan untuk mengungkap jati diri anak, baik pelaku anak, korban anak dan saksi anak untuk kasus anak yang berhadapan dengan hukum.
“Penyebarluasan dokumen foto, video dan materi lainnya terkait kasus ini dapat dikategorikan pelanggaran atas UU tersebut,” tegas Firman Yusi.
Selain itu, juga perlu segera menangani kondisi psikologis pelaku, korban dan anak yang menyaksikan kejadian tersebut, karena pasti ada pengaruhnya terhadap psikologi mereka.
“Langkah ini perlu segera dilakukan untuk meminimalisir dampak buruk ke depan,” jelas wakil rakyat dari daerah pemilihan Kalsel V, meliputi Kabupaten HSU, Balangan dan Tabalong.
Firman Yusi menambahkan, pihaknya akan segera mengundang stakeholder terkait, khususnya Dinas Pendidikan dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Kalsel untuk merumuskan langkah agar kasus seperti ini tidak terulang kembali.
“Mudah-mudahan ini jadi pelajaran agar tidak terulang kembali, baik di sekolah maupun di luar,” kata Firman Yusi.
Selain itu, stakeholder yang terlibat, baik orangtua, sekolah maupun lingkungan harus dapat menciptakan pergaulan anak yang bebas bullying, serta tidak menganggap hal biasa dalam pergaulan.
“Perlu edukasi kepada semua pihak untuk mengetahui batasan bercanda yang dapat diteloransi, ataupun yang sudah masuk kategori bullying. Ini harus jadi perhatian,” tegasnya. (lyn/KPO-1)