Kedua alat bukti yang diajukan penasihat hukum terdakwa Rahmat dan rekan tersebut berupa surat pangilan dari Polres Tapin kepada terdakwa Sugian Noor untuk dilakukan pemeriksaan. Sedangkan surat kedua berasal dari Unit Pemberantas Pungli Kabupaten Tapin untuk klasifikasi perkara yang dilakukan terdakwa.
BANJARMASIN, KP – Mantan Kepala Desa (Kades) Pipitak Jaya, Kecamatan Piani, Kabupaten Tapin, Sugian Noor yang menjadi terdakwa dalam
kasus gratifikasi dan pencucian uang ganti rugi lahan pembangunan Bendungan Tapin menyampaikan dua alat bukti baru kepada majelis hakim
yang dipimpin hakim Suwandi pada sidang lanjuta di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banjarmasin, Senin (21/8).
Kedua alat bukti yang diajukan penasihat hukum terdakwa Rahmat dan rekan tersebut berupa surat pangilan dari Polres Tapin kepada
terdakwa Sugian Noor untuk dilakukan pemeriksaan. Sedangkan surat kedua berasal dari Unit Pemberantas Pungli Kabupaten Tapin untuk
klasifikasi perkara yang dilakukan terdakwa. Untuk surat dari Polres Tapin tersebut dimaksud untuk pengecekan lokasi lahan yang akan
mendapatkan ganti rugi.
Ketua majelis hakim Suwandi mengatakan, sidang pembacaan tuntutan oleh JPU akan dilaksanakan Kamis (31/8) mendatang.
Untuk itu dia meminta JPU sudah siap pada tanggal tersebut, begitu juga pihak penasihat hukum terdakwa juga sudah menyiapkan nota
pembelaannya dengan waktu yang sama yang diberikan kepada JPU yakni 10 hari.
Seperti diketahui dalam perkara yang tengah berputar di Pengadilan Tipikor ini, tiga terdakwa yang terdiri dari Sugian Noor mantan
Kepala Desa Pipitak Jaya, Kecamatan Piani, Herman warga setempat dan Ahmad Rizaldy guru Sekolah Dasar sepakat untuk mengurusi surat
surat tanah milik warga yang memiliki lahan, agar sesuai dengan permintaan pihak proyek supaya ganti rugi bisa dibayar.
Ketiga terdakwa Sugiannor, Ahmad Rizaldy, dan Herman dikatakan secara bersama-sama melakukan pemotongan 50 persen dari lima korban yang
mendapatkan ganti rugi dari pembebasan lahan untuk pembangunan bendungan tersebut.
Dalam dakwaan disebutkan Sugianoor menerima sebesar Rp 800 juta, Ahmad Rizaldy dikisaran angka Rp 600 juta rupiah dan Herman yang
merupakan warga setempat jumlah justru paling besar Rp 945 juta lebih.
Umumnya yang menjadi korban dari kelima penerima uang ganti rugi tersebut, dikarenakan surat-surat tidak lengkap dan pengurusan
kelengkapan tersebut dilakukan oleh ketiga terdakwa.
Sebetulnya, ujar JPU, kelima korban ini tidak mau untuk memberikan uang dengan besaran yang diminta, tetapi karena kelengkapan surat-
surat tanah yang dimiliki kurang, mereka terpaksa memberikannya.
JPU kemudian menjerat ketiga terdakwa dengan pasal berlapis, yakni Pasal 12 huruf e Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
Kedua Pasal 11 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaiman diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
Sedangkan pelanggaran tentang pencucian uang, JPU pertama mematok pasal 3 UU RI Nomor 8 tahun 2012 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
dan kedua Pasal 4 UU RI Nomor 8 tahun 2012 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Khusus terdakwa Herman karena orang swasta, dikenakan Pasal 3 untuk yang pertama dan kedua Pasal 5 UU RI Nomor 8 tahun 2012 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang.
Seperti diketahui, proyek pembangunan bendungan menghabiskan anggaran mencapai Rp 1 triliun ini merupakan merupakan proyek tahun jamak
antara 2015 sampai 2020.
Dalam kasus ini, sudah ada 20 orang yang dijadikan saksi dan diperiksa. Dari pemilik tanah, kepala desa, hingga mantan kepala BPN
Tapin.(hid/K-4)