Oleh : Haritsa
Pemerhati Generasi dan kemasyarakatan
Dalam sepekan ini perhatian publik nasional tengah tertuju pada kasus di luar nalar. Seorang anak membunuh ibunya dengan sadis dan juga membuat ayahnya terluka parah. Peristiwa sadis ini bukanlah kali pertama. Publik belum lupa dengan kasus seorang pemuda membunuh bapak-ibu dan saudara perempuannya dengan cara meracuni. Kasus-kasus ini menambah panjang daftar kejahatan dan kekerasan di dalam keluarga khususnya dengan pelaku anak.
Kasus pembunuhan yang melibatkan anggota keluarga sebagai pelaku dan korban tentu sangat memprihatinkan. Mengapa keluarga yang mestinya menjadi wadah tumbuhnya jiwa-jiwa yang sehat serta tempat luapan kasih sayang justru menjadi sumber pesakitan dan horor?
Seketika banyak yang menghakimi mereka, anak durhaka dan orang tua yang gagal mendidik anak. Memang benar ada anak durhaka dan orang tua yang tidak berhasil. Akan tetapi terlepas dari masalah keluarga yang bersangkutan, peristiwa ini bukanlah sekedar anomali, penyimpangan yang ada di alam, seperti gagal tumbuh atau kecacatan yang menjadi bagian hukum alam Allah SWT. Peristiwa ini bukan kasuistik belaka. Banyaknya kejadian serupa menunjukkan kasus ini adalah gejala dari kondisi keluarga dan generasi yang sedang sakit dan menjadi bom waktu. Ketika ada faktor pemicu, maka akan muncul ledakan seperti kasus pembunuhan ini dan bentuk kekerasan lainnya.
Kita juga bisa memotret kasus ini dalam gambaran besar dimana budaya kekerasan seperti tawuran dan bulliying menjadi kebiasaan generasi. Sebagaimana beberapa waktu lalu diberitakan konvoi remaja yang membawa senjata tajam dan sedang mencari musuh (kalimantanpost.com, 08/08/2023). Atau anak SMA yang menusuk temannya karena dendam perundungan. Ada apa dengan generasi muda?
Kegagalan Pendidikan
Hari ini banyak yang sakit. Sakit dalam bahasa Banjar adalah keadaan yang serba sulit. Banyak orang yang mengalami kesulitan dalam urusan hidupnya. Sakit disini juga bermakna sebenarnya yaitu sakit fisik dan mental. Orang tua harus berjuang dalam ekonomi untuk memenuhi standar kebutuhan hidup dan kadang juga gaya hidup. Anggota keluarga harus menjadi mesin uang untuk kebutuhan hidup yang serba berbayar dan mahal.
Interaksi dengan anak tidak memenuhi kuantitas dan kualitas. Hubungan orang tua dengan anak berjarak karena interaksi ala kadarnya. Relasi anak-orangtua tidak memberi nilai tambah kepada tumbuh kembang anak secara positif. Anak tumbuh secara biologis, tapi mental dan spiritualnya kempis. Fungsi keluarga tergerus karena teralihkannya fokus orang tua khususnya ibu. Selain itu banyak orang tua tidak paham bagaiamana mendidik, membersamai dan mendampingi anak, misalnya bagaimana orang tua harus menjadi figur teladan bagi anak-anaknya. Orangtua seharusnya berakhlak baik pada anaknya sehingga mendorong anaknya untuk berlaku dengan akhlak pula.
Namun akibat ketidakpahaman, orang tua justru bisa menorehkan luka pengasuhan pada anak. Tidak sedikit orang tua yang menyakiti fisik dan psikis anak mereka yang akan berdampak pada mental dan jiwa anak. Tekanan hidup membuat orang tua emosional dan melampiaskan emosi pada anak.
Orang tua menyerahkan urusan pendidikan anaknya pada sekolah. Namun harapan orang tua pada sekolah tidaklah sesuai kenyataan. Sistem pendidikan yang sekuler-materialis tidak bisa berbuat banyak. Pendidikan minus orientasi pada pembentukan generasi berakhlak dan berkarakter unggul dan mulia sesuai tujuan pendidikan Islam. Pelajaran agama sangat minim untuk mencapai target penanaman keimanan dan pemahaman yang utuh tentang syariat sebagai patokan amal perbuatan. Pelajaran agama yang minim pun disajikan tanpa memperhatikan keberpengaruhannya sebagai pembentuk pola pikir dan pola sikap anak. Terbentuknya pribadi anak yang sekuler dan liberal jauh dari visi hidup ketaatan pada syariat. Tidak heran pula jika mereka juga minus kepedulian, empati. Alih-alih mengurus orang lain, menolong diri sendiri mereka tidak mampu.
Parahnya lagi, sistem hukum di masyarakat tampak melumrahkan dan meremehkan kejahatan. Persepsi ini terbentuk dari hukum-hukum sanksi yang ringan dan penegakkan hukum yang korup. Kejahatan menjadi sekedar ekspos media massa dan media sosial, yang efeknya justru menginspirasi. Akibatnya, kejahatan bukan lagi perkara dahsyat dan yang akan dibalas di dunia dan di akhirat. Sistem nilai baik-buruk, benar-salah dan terpuji-tercela menjadi relatif dan abu-abu pada masyarakat dan generasi. Keterikatan pada nilai dan moral yang sekuler begitu lemah. Sikap individualis lebih kuat. Kontrol sosial tidak membudaya. Inilah buah tatanan hukum sekuler kapitalisme pada diri anak. Kejahatan menjadi biasa, termasuk yang dilakukan generasi.
Darurat kejahatan dan kekerasan seharusnya menyadarkan kita semua betapa nelangsanya kehidupan yang diatur dengan tatanan kapitalisme sekuler. Ini bisa simpulkan demikian karena kehancuran masyarakat; keluarga dan generasi terjadi pada negeri yang menerapkan sekularisme kapitalisme Amerika dan negara Eropa.
Sedangkan Islam adalah pembentuk pribadi dan arah kehidupan terbaik. Sistem syariah menyeluruh menjadi patokan perilaku. Bukan standar relatif dan kebebasan yang rusak dan merusak pada sistem kapitalisme sekularisme.
Sistem ekonomi dan politik ekonomi Islam memberikan jaminan kesejahteraan dengan kaidah kepemilikan menurut syariat. Pemenuhan kebutuhan dasar: pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan dijamin untuk tiap individu rakyat. Penjaminan ini dengan mekanisme penegakkan syariat. Setiap keluarga akan terbebas dari tekanan ekonomi karena kesejahteraan bukan sepenuhnya tanggungjawab keluarga. Para orang tua khususnya ibu bisa menjalankan perannya sebagai pendidik generasi dengan optimal.
Sistem hukum sanksi Islam menjadi tatanan hukum yang mencegah maraknya kejahatan. Hukum pidana Islam berfungsi sebagai jawabir (pencegah) dan jawazir (penebus). Hukum sanksi syariat memberikan tatanan nilai pada masyarakat. Nilai itu pasti terhadap setiap kejahatan atau jarimah, karena nilai perbuatan tidak berubah dalam pandangan Islam, seperti pandangan terhadap pencurian, pembunuhan, begal dan sejenisnya. Spiritualitas, atau keimanan yang melandasi sistem sanksi juga akan menguatkan keterikatan pada hukum syariat bagi masyarakat dan komunitas dan membangun kontrol sosial dengan dakwah dan amar makruf nahi munkar. Generasi akan terjaga.
Dan yang sangat penting adalah penyelenggaraan pendidikan berbasis aqidah Islam. Pendidikan ini akan menguatkan penanaman iman dan membekali generasi dengan pemahaman syariat. Target besar pembinaan dan pendidikan menurut Islam adalah mencetak generasi pemimpin; imam bagi muttaqin. Generasi muslim berkarakter peduli dan bertanggung jawab, menjadi problem solver dan penampil keluhuran peradaban Islam.
Tentu kita tidak ingin ada korban-korban akibat penerapan kapitalisme sekularisme. Mari selamatkan generasi muda dengan menerapkan syariat Islam yang menyeluruh. Wallahu alam bis shawab.