Oleh : ANDI NURDIN LAMUDIN
Sekarang ini begitu semarak mereka yang berkecimpung dalam pesta demokrasi politik. Nampaknya belum pernah terjadi pada tahun sebelumnya, begitu banyak baliho serta spanduk serta poster tentang calon legislatif (caleg), di sudut-sudut gang perkampungan.
Padahal begitu miris kejadian di dalam Negara Republik Indonesia. Karena harus melewati masa Covid-19 serta krisis ekonomi, yang nampaknya seperti disembunyikan dari raut-raut wajah. Kebalikannya, begitu banyak yang ingin jadi wakil rakyat. Mengapa mereka begitu antusias menjadi wakil rakyat? Padahal nilai pemerintah adalah kerja sama DPR dengan eksekutif, apakah itu presiden atau gubernur atau bupati?
Nampaknya tiga calon presiden (capres) yang perdebatannya sangat menarik itu, kembali seperti zaman yang pernah ada dengan tiga
pasang capres. Bahkan pada Nopember 2023, perdebatan capres sangat terbuka dan sensitif, namun dilakukan demi bangsa dan Negara.
Dimana akhir-akhir ini, mereka juga sudah mengumpulkan poin-poin ini untuk mengatasi permasalahan negara ke depan. Jika perdebatan
capres saling menyerang dan bertanya, kemudian wajib di jawab, maka untuk Amin (Anies-Muhaimin), mereka katanya akan membawa perubahan. Anies menjelaskan, jika kemampuannya selama ini dalam hal mengatasi dan membangun kota Jakarta, yang juga dengan kritisi telah ditinggalkan karena Presidennya telah fokus pada Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan. Itu baginya, sebuah pengalaman yang berharga, dan tantangan untuk bisa juga membangun Indonesia kedepannya. Bagi Anies, hukum memang harus ditegakkan, namun jangan selalu versi penguasa. Karena sasaran hukum adalah rasa keadilan. Dia mengingatkan kembali tragedy Km 50, antara Jakarta dan Bogor, sehingga menuai badai, dengan terbongkarnya kasus Sambo. Itukah gambaran daripada penegak hukum selama ini?
Begitu mudahnya menilai hak asasi manusia (HAM) dari versi penguasa semata? Padahal HAM itu sampai sekarang hanya merupakan slogan semata, karena tidak adanya pengadilan adhoc masalah HAM. Karena masih ketakutan atau memang ingin bangsa dan Negara ini selalu dirundung ketidakmajuan, karena rasa rendah diri dan ketidak jujuran. Maka hal itu juga dipertanyakan kepada kepada salah satu capres, yang pernah berkecimpung dalam dunia keamanan dan keluhan banyaknya orang hilang. Para penguasa semestinya memberi contoh, jika kehilangan suami atau anak atau keluarga tanpa ada berita, dimana kuburnya? Ini sesuatu yang sangat menyakitkan pada negeri ini. Inikah gambaran para penguasa pada pemerintahan selama ini? Apakah karena mereka belajar pada Barat? Bagaimana cara menangani keamanan serta tindakan untuk patuh pada hukum, sehingga keluar dari budaya bangsa.
Tentu, bagi yang mengikuti irama perdebatan itu, bedanya hanyalah mereka pada link kekuasaan. Sedangkan pada link rakyat biasa, maka patut jika salah seorang capres mempertanyakan, seandainya anda presiden, ketika melihat ketidakadilan HAM, apa yang ada lakukan? Kemudian ketika ada pelanggaran kode etika daripada lembaga negara setingkat MK, yang tentunya bukan daripada singkatan Mahkamah Keluarga . Lalu jika anda presiden, apa yang akan ambil tindakan atau apa yang akan anda lakukan? Karena keadaan rakyat di luar sana, sudah resah gelisah melihat keadaan para elit politik ini di dalam bertikai untuk memimpin negeri. Mereka seperti lupa untuk apa mereka di sana, mereka di sana untuk melayani rakyat yang memilih mereka bertugas di sana.












