Oleh : Ahmad Barjie B
Menulis beberapa buku sejarah dan budaya Banjar
Balai Bahasa seluruh Indonesia, termasuk Provinsi Kalimantan Selatan yang berkantor di Banjarbaru mengusung Trigatra Bahasa, yaitu mewujudkan masyarakat yang pandai berbahasa daerah sebagai bahasa ibu dalam komunitasnya, berbahasa Indonesia sebagai bahasa kesatuan nasional, dan berbahasa asing sesuai urgensinya, baik untuk transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi maupun pergaulan internasional antarbangsa dan antarnegara.
Berbahasa daerah penting karena dari sinilah kita menunjukkan identitas primordial dan entitas sebagai sebuah suku dan warga daerah yang cinta akan budaya leluhurnya, termasuk bahasanya. Orang yang maju dan terpelajar bukanlah yang hanya pandai berbahasa Indonesia dan berbahasa asing lantas melupakan bahasa daerahnya, tetapi bahasa daerah mestilah masih ia pahami dan gunakan secara proporsional sesuai situasi, kondisi dan domisili (sikondom).
DR KH Idham Chalid adalah ulama sekaligus tokoh nasional yang menguasai minimal enam bahasa asing (Arab, Inggris, Belanda, Jepang, Jerman dan Spanyol), tetapi dalam sikondom tertentu beliau tetap berbahasa daerah Banjar, khususnya dialek Banjar Hulu subdialek Amuntai-Alabio. Ir Pangeran Muhammad Noor, meskipun menguasai minimal tiga bahasa asing (Belanda, Inggris dan Jepang), pada sikondom tertentu beliau masih menggunakan bahasa daerah Jawa, Sunda dan Banjar Kuala subdialek Martapura.
Prof HM Kustan Basri, Rektor Unlam periode 1979-1987, menguasai Bahasa Inggris dan Belanda. Namun beliau sangat fanatik dengan Bahasa Banjar, dan dalam sikondom tertentu, beliau berbicara dengan Bahasa Banjar Hulu, subdialek Kandangan, dan masih banyak contoh lagi.
Bahasa Indonesia tentu sangat penting, baik ragam bahasa lisan maupun tulisan. Sebab, dengan berbahasa Indonesia kita menunjukkan identitas kebangsaan
sebagai bangsa dan warganegara Indonesia. Berbahasa Indonesia secara baik dan benar berarti kita ikut menjunjung tinggi satu bahasa kesatuan, seperti rumusan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Bahasa asing juga penting, sebab menjadi kunci dalam transformasi iptek, komunikasi dalam forum-forum resmi maupun berhubungan dengan pengguna bahasa tersebut.
Sedikit Ilustrasi
Sudah biasa ketika ada rombongan Umrah atau Haji dari Indonesia, khususnya Banjar, mereka menginap di hotel-hotel tertentu. Pasti di hotel yang sama juga menginap jemaah dari berbagai negara yang bahasanya tidak sama. Ibadah Umrah dan Haji hakikatnya juga sebuah “pertemuan internasional”, sebab di situ berkumpul orang muslim mancanegara. Namun karena kendala bahasa asing yang kita alami, pertemuan internasional itu boleh dikatakan tidak terwujud.
Tidak terjadi saling sapa, take and give dan sejenisnya. Ada kecenderungan orang bergaul dengan sesama rombongannya saja.
Ada jemaah Umrah dari Hulu Sungai bilang, dia bisa dan berani berbicara dengan orang-orang asing. Orang-orang mengiyakan saja, karena mengira dia pernah sekolah, kuliah atau belajar bahasa asing, katakanlah Inggris atau Arab. Suatu saat dia berdekatan dengan orang-orang asing. Ternyata hanya satu dua kata yang diucapkannya untuk bertanya. Kalau dilihatnya bule maka ditanya “England/Inggris?”, kalau dilihatnya Arab atau kearab-araban akan ditanya: “Saudi? Mesir? Iran? Irak? Syria? Turki? Kalau berwajah India akan ditanya: India? Pakistan? Bangladesh? Jika dilihatnya bermata sipit akan ditanya: China? Korea? Jepang? Dan seterusnya. Begitu saja, tidak ada kosakata yang lain. Kalau begini tentu tidak ada informasi dan pengetahuan yang bisa diketahui kecuali sebatas asal negara seseorang.
Kali lain ada ketua rombongan yang keulamaan dan titel kesarjanaannya sangat tinggi, terlambat balik ke kamar hotel sementara jam ckeck out sudah lewat, sehingga kamar hotel terkunci secara otomatis, tidak bisa dibuka lagi. Meskipun orang tersebut pernah mengajar Bahasa Arab dan Bahasa Inggris, tetapi berhadapan dengan situasi demikian tetap ilmu bahasanya yang dikuasai secara teoretis tidak efektif karena jarang dipraktikkan secara nyata.
Akhirnya terpaksa minta bantuan muthawwif setempat yang pandai berbahasa Arab (mungkin juga Inggris) untuk berurusan sehingga masalah teratasi.
Banyaknya masalah dalam perhajian selama ini, diantara kendalanya juga karena banyak petugas haji tidak profesional dan tidak pandai berbahasa asing.
Harus Memilih
Bahasa asing saat ini semakin penting. Seorang kenalan dari Arab Saudi datang ke Banjarmasin, dan minta dicarikan tempat kursus bahasa. Dikira ia minta diajari Bahasa Banjar. Ternyata yang dimaksudnya Bahasa Inggris, maka ikutlah ia kursus Bahasa Inggris beberapa lama, guna menambah kemampuan Bahasa Inggrisnya yang sebenarnya sudah bagus. Rata-rata orang Arab sekarang pandai Bahasa Inggris karena bagi mereka sangat penting.
Menguasai bahasa asing memerlukan waktu belajar yang lama, disertai keseriusan dan pengalaman lapangan. Tetapi sebaiknya kita, khususnya generasi muda, harus memilih. Pastikan bahasa asing mana yang harus dikuasai sesuai profesi yang akan diraih dan jalani.
Jika ingin menjadi ulama atau ustadz, prioritas tentu Bahasa Arab. Meskipun hanya secara pasif, pemahaman terhadap Bahasa Arab sangat membantu memahami kitab-kitab. Umumnya muslim Nusantara termasuk di banua Banjar, hanya menganggap seseorang sebagai ulama, mualim, guru atau kyai apabila bisa membaca kitab kuning berbahasa Arab, ilmu-ilmu yang lainnya pelengkap. Kalau ilmunya diperoleh dari sumber selain kitab, akan dijuluki alim majalah, suratkabar, televisi dan media online, dan dianggap kurang afdhal, tidak bersanad dan otentisitasnya lemah. Buku terjemahan sekalipun sering dianggap tidak persis maknanya dengan kitab aslinya.
Apabila ingin menjadi ilmuwan, intelektual, cendekiawan, dosen, peneliti dan sejenisnya, di antara bahasa-bahasa asing perlu dikuasai, minimal pasif. Tetapi jika ingin menjadi diplomat, pemandu wisata, MC professional, atau bekerja di luar negeri, bahasa asing aktif penting dikuasai, meskipun serba sedikit. Yang jelas kemampuan berbahasa bagian penting dalam kehidupan, tidak saja dalam konteks komunikasi dan tranformasi ilmu, juga menjadi sumber penghidupan dan penghasilan.
Jepang adalah bangsa maju yang sangat rajin mempelajari bahasa asing, termasuk bahasa negara-negara yang dulu memusuhi mereka dalam Perang Dunia I dan II. Orang Jepang berprinsip, “Kami memang bermusuhan dengan negaranya, tetapi tidak dengan ilmu dan teknologinya, jadi kami harus menguasai bahasanya”. Islam juga menyuruh kita mempelajari bahasa asing, sesuai pesan hadits: “Siapa yang mengerti bahasa suatu bangsa, maka selamatlah ia dari tipudaya bangsa itu”. Wallahu A’lam.