Oleh : Haritsa
Pemerhati Generasi dan Kemasyarakatan
Meninggalkan 2023 dan memasuki 2024, negeri ini menorehkan pencapaian. Namun sayangnya, bukan prestasi yang membanggakan. Utang luar negeri menembus Rp8.000 triliun lebih. Tercatat oleh Kemenkeu per November 2023, utang pemerintah telah mencapai Rp8.041,01 triliun. Bahkan sejumlah ekonom mencatat posisi utang lebih dari nominal tersebut. Akumulasi utang sektor publik, termasuk utang Pemerintah, diperkirakan menembus Rp18 ribu hingga Rp20 ribu triliun. Namun besaran utang ribawi ini tidak mendapatkan perhatian yang seharusnya.
Sejumlah ekonom memperingatkan pemerintah tentang kondisi utang ini. Namun penguasa seperti tidak bergeming dan mengabaikan. Bahkan peringatan senada sudah disampaikan Bank Dunia tahun lalu. Pemerintah berdalih dengan alasan ketentuan UU keuangan yang mengatur batas utang dan rasio (perbandingan) utang terhadap Produk Domestik Bruto atau PDB. Di lain kesempatan, utang juga dibela dengan alasan utang tersebut adalah utang produktif.
Namun fakta menunjukkan bahwa UU yang menjadi legalitas pemerintah bisa diubah-ubah menyesuaikan dengan kepentingan dan langkah pemerintah. UU sekuler memang tidak memberi patokan sahih dan baku. Yang ada adalah revisi UU untuk pembenaran bukan kebenaran.
Lebih jauh alasan PDB tidak bisa menjadi acuan, karena sebagian besar PDB kita sudah dikuasai kapitalis. Seharusnya pemerintah secara jujur mengukur hutang terhadap penerimaan negara, bukan pada kekayaan negeri ini dan ekonominya yang sudah dikuasai para kapitalis dan korporasi mereka. Faktanya, pemerintah mengandalkan penerimaan pajak. Ironinya, pajak rakyat miskin juga dikejar. Alasan memberi stimulus usaha, pemerintah memberi kelonggaran pada para kapitalis. Utang yang dibayar dari pajak rakyat dan berkurangnya layanan penguasa pada rakyat seperti dalam kesehatan dan pendidikan menambah keterpurukan rakyat. Rakyat seperti terjatuh dan tertimpa tangga.
Juga klaim bahwa utang yang ada adalah produktif seperti terbantahkan. Dari tahun ke tahun utang terus menjadi solusi terhadap defisit anggaran. Indonesia sudah masuk kepada jebakan utang karena untuk membayar utang setiap tahun, pemerintah harus menambah utang baru. Fakta ini menunjukkan bahwa utang tersebut tidak produktif tetapi konsumtif. Andai utang produktif, hutang tersebut seharusnya bisa memberikan hasil dan memampukan negara membayar tanpa harus berutang lagi. Atau jika hutang itu produktif, mengapa pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan tetap rendah?
Bahaya Meremehkan Utang
Jebakan utang dan keterpurukan ekonomi saat ini berpangkal pada peremehan utang ribawi dan sistem ekonomi kapitalisme yang sekuler. Riba, salah satunya dalam utang piutang adalah denyut nadi ekonomi kapitalis, dimana riba adalah salah satu jalan tanmiyatul milk atau pengembangan harta. Riba ada dalam bunga dan jual beli saham. Ini adalah wujud ekonomi non real yang sangat dominan dalam sistem ekonomi kapitalisme.
Sedangkan riba adalah jalan pengembangan harta yang diharamkan dalam Islam. Dalam Al Quran Allah SWT mengabarkan bahwa manusia menyamakan jual beli dan riba. Laba dalam jual beli sama dengan riba (tambahan) dalam utang piutang. Tentu ini persepsi yang keliru dan dibantah. Utang piutang adalah dalam rangka tolong menolong dan tidak boleh ada manfaat ataupun tambahan baik sedikit atau banyak, mengeksploitasi atau tidak. Pengembangan harta yang digariskan oleh syariat adalah syirkah syar’i dimana pihak berakad harus berbagi untung dan menanggung kerugian bersama.
Riba sangat tegas diharamkan dalam syariat Islam dan terkategori dosa besar. Allah SWT mengambarkan pemakan riba seperti orang yang kerasukan setan karena penyakit gila. Efek riba sangat dahsyat, kerugian di dunia dan di akhirat.
Paling minimal, utang riba telah sukses melumpuhkan dan membutakan negeri ini. Melumpuhkan, karena hutang menjadi beban yang semakin berat. Pembayaran bunga hutang saja melebihi subsidi liquefied petroleum gas (LPG), bahan bakar minyak (BBM), bantuan langsung tunai (BLT) dan sebagainya. Di 2023, pemerintah harus membayar bunga utang sebesar Rp437, 4 triliun dan di 2024 sebesar Rp497,32 triliun.
Utang telah menjadi candu yang ditawarkan para rentenir, yaitu negara-negara kapitalis. Penguasa seolah tidak bisa melihat dan berpikir tentang pembiayaan pembangunan selain dengan menjemput utang.
Padahal negeri ini memiliki sumber daya alam yang berlimpah yang dapat menjadi sumber pemasukan optimal jika dikelola berdasarkan syariat Islam. Namun pemerintah dengan prinsip kebebasan kepemilikan menyerahkan pengelolaan (penguasaan) pada para kapitalis. Berikutnya, jeratan utang kapitalis membuat negara kehilangan wibawa dan kedaulatan secara politik dan ekonomi. Utang membuat mereka, negara kapitalis semakin mendikte. Dengan kata lain, utang telah menjadi alat penjajahan.
Tanpa perlu berdalih dan membela kebijakan utang luar negeri, kita seharusnya melihat dan mengambil pelajaran dari sejumlah negara yang kolaps karena jebakan utang seperti Zimbabwe, Sri Lanka, Maladewa, Uganda, Kenya dan Pakistan. Apakah harus menunggu kolaps negeri ini baru menyadari dosa riba dan kesalahan tata kelola ekonomi?
Hanya dengan penerapan syariah kaffah dalam bingkai sistem politik Khilafah, negeri ini akan bisa keluar dari ketergantungan pada utang, mandiri mengelola kekayaan sumber daya alam untuk kesejahteraan dan kemuliaan Islam dan umat Islam. Wallahu alam bis shawab