BANJARMASIN, Kalimantanpost.com – Terdakwa Ridlan Mahfud Abdullah, kontraktor pembangunan gedung laboratorium dan pelayanan publik Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Banjarmasin, tahap II dituntut dua tahun penjara.
Tuntutan ini disampaikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Arri Wokas dari Kejaksaan Negeri Banjarmasin, pada sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin, Selasa (5/3/2024).
Selain itu, ujar Arri dihadapan majelis hakim yang dipimpin hakim I Gede Yuliartha, terdakwa juga dibebani membayar denda Rp50 juta subsidair selama tiga bulan, sementara uang pengganti yang harus dibayar oleh terdakwa berjumlah Rp127 juta lebih, bila tidak dapat membayar maka kurungan akan bertambah selama setahun.
JPU berkeyakinan, kalau terdakwa yang juga merupakan seorang terpidana di Lapas Makassar dalam perkara pidana yang lain, bersalah melanggar pasal 3 Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diuabah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Terdakwa adalah Direktur PT VMP ini dituduh telah melakukan tindak pidana korupsi pada pembangunan tahap II gedung yang berlokasi di perkantoran Pemprov Kalimantan Selatan (Kalsel) Jalan Bina Praja Utara Kecamatan Cempaka Kota Banjarbaru.
Pengakuannya dihadapan majelis hakim yang dipimpin I Gede Yuliarta, ia sebelumnya terlibat kasus korupsi pada tahun 2022 divonis bersalah oleh hakim Pengadilan Tipikor Makassar dengan pidana 1 tahun 6 bulan penjara.
Diakui terdakwa bahwa pada bulan Januari 2024 ternyata dirinya sudah bebas.
JPU dalam dakwaannya antara lain menyebutkan kalau terdakwa dari hasil pemeriksaan yang dilakukan tim ahli pada pembangunan gedung BPPOM Banjarmasin tahap II pada tahun 2019 terdapat kekurangan volume alias sama modusnya seperti perkara korupsi pembangunan tahap III dengan terdakwa Heri Sukatno (perkara terpisah).
Pengerjaan tahap II pembangunan pun dikatakan tidak dilaksanakan langsung oleh terdakwa, melainkan oleh pihak ketiga yang meminjam perusahaan milik terdakwa Ridlan dengan kesepakatan fee sekitar 13 persen.
“Akhirnya, pada saat ada keterlambatan dan ketika dihitung, ada kelebihan pembayaran karena kekurangan volume, maka dia (terdakwa) yang bertanggung jawab sebagai direktur perusahaan pelaksana,” ujar JPU kala itu.
Dari hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Kalsel, perbuatan terdakwa selaku pelaksana pembangunan tahap II telah merugikan keuangan negara sebesar Rp127,7 juta.(hid/KPO-3)
–