Oleh : Mahrita Nazaria, S.Pd
Pemerhati Sosial Ekonomi
Chairman Centennial Z, Dinno Ardiansyah, berharap Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara dapat menjadi peradaban yang maju saat seluruh pembangunan sudah selesai. Dinno, yang sudah dua kali mengunjungi IKN pada Maret dan Juli 2023, mengaku banyak mendengar respons positif dari teman-temannya, berbanding terbalik dengan stigma negatif yang beredar di media sosial.
“Apa yang dikatakan di media sosial terpatahkan karena mungkin mereka gak lihat langsung. Saya sudah dua kali ke sana karena informasi yang simpang siur di media sosial. Kami cari tahu, kaji, riset, ngobrol sama teman-teman di sana. Pas ke sana, yang kita senang, anak muda sangat excited dengan IKN,” ujar Dinno.
Meski begitu, anak muda tetap perlu mengawasi dan mengkritisi pembangunan IKN. Ia mewanti-wanti jangan sampai ada anggaran yang sebenarnya diperuntukkan untuk sektor lain, namun justru dialihkan untuk IKN.
Sementara itu, Eks Menteri PPN/Kepala Bappenas 2016-2019 Bambang Brodjonegoro mengatakan, generasi muda yang terekspos teknologi sudah memiliki bayangan seputar kota layak tinggal. Di antara konsep liveable yang nanti diwujudkan di IKN Nusantara adalah penataan utilitias sehingga tidak ada kabel listrik atau telepon yang menggantung. Selain itu, air di IKN juga dipersiapkan untuk siap konsumsi sejak keluar dari kran (drinkable). (www.idntimes.com)
Pada sisi yang lain, akademisi/dosen Universitas Mulawarman Samarinda Dr. Sudarman, S.Pd. M.Pd menyatakan multikultural masyarakat Kaltim juga dapat menjadi aset utama untuk mendukung kemajuan Ibu Kota Nusantara (IKN). Meski secara budaya masyarakat Kaltim sangat mendukung keberadaan dan kemajuan IKN, namun ia tetap mendorong semua kalangan, termasuk kaum pendidik baik guru maupun dosen untuk menyiapkan sumber daya manusia (SDM) Kaltim agar mampu berperan aktif di IKN.
Dampak lain dari peningkatan SDM selain bisa berperan aktif di IKN adalah agar bisa masuk di lapangan kerja berbagai sektor dan untuk peningkatan ekonomi. Bahkan di IKN juga terdapat peluang pengembangan pendidikan dan pengembangan karir, untuk memperkuat identitas dan budaya lokal, kemudian sebagai peningkatan inovasi pengetahuan dan teknologi.
Ia juga mengatakan, jumlah penduk Kaltim yang saat ini berjumlah 3,77 juta jiwa, memiliki berbagai potensi di berbagai bidang dan sesuai dengan jenjang usia, seperti Gen X atau generasi yang lahir pada 1965-1980 (sekarang berusia 43-58 tahun) yang jumlahnya ada 21,5 persen. Kemudian generasi Milenial, yakni generasi yang lahir pada 1981-1996 (saat ini berusia 27-42 tahun) dengan jumlah 27,6 persen. Lantas Gen Z atau generasi yang lahir pada 1997-2012 (saat ini berusia 11-26 tahun) dengan jumlah 29,1 persen. Ada pula Post Gen Z, yakni generasi yang lahir pada 2013 sampai sekarang dengan jumlah sebanyak 12,6 persen. (antaranews.com)
Namun, menurut laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang 2023 setidaknya ada 241 kasus konflik agraria di Indonesia, yang melibatkan area seluas 638,2 ribu hektare. Area konflik paling besar pada 2023 terkait sektor infrastruktur, yakni 243,8 ribu hektare atau 38% dari total luas konflik agraria nasional. Jika dirinci lagi, sektor infrastruktur dengan area konflik terbesar adalah pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). (databoks.katadata.co.id)
Dari sisi jumlah masyarakat adat saja, dalam web resminya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyampaikan bahwa Kawasan IKN bukanlah lahan kosong. Di lokasi tersebut, telah hidup secara turun-temurun Masyarakat Adat. Tetapi, Masyarakat Adat justru dianggap tidak ada di sana, sementara pemerintah sibuk mempercepat pembangunan IKN. Proyek IKN yang selama ini mungkin banyak yang belum diketahui oleh banyak orang, telah menimbulkan ancaman atas kepunahan Masyarakat Adat yang sebelum proyek IKN itu pun sudah kian tergusur dan tertindas terkait dengan perampasan wilayah adat sebagai ruang hidup. (www.aman.or.id)
Sebagai informasi, sebelum kehadiran megaproyek IKN, banyak kawasan di Kalimantan Timur yang sudah mengalami konflik agraria akibat tumpang tindih lahan konsesi perusahaan. Apalagi dengan hadirnya IKN yang membutuhkan lahan sangat luas hingga mencapai 256.142 hektare, bisa dibayangkan konflik agraria yang akan terjadi juga tidak kalah luas.
Pasalnya, lahan target IKN sejatinya bukanlah tanah kosong yang tidak berpenghuni. Di lokasi pembangunan IKN justru sudah ada penghuninya, seperti petani hingga masyarakat hukum adat. Oleh sebab itu, tidak tepat jika pemerintah mengklaim lokasi IKN sebagai tanah negara atau dikuasai pemerintah. Sejatinya, ada penguasaan masyarakat di lahan tersebut.
Diakui atau tidak, proyek IKN ini tampak lahir dari ambisi penguasa yang menginginkan ibu kota negara berpindah dari Jakarta ke tempat lain. Proyek ini pun bergulir dengan sangat cepat, mulai dari RUU-nya hingga pengerjaannya. Meski diwarnai pro dan kontra, IKN tetap berlanjut, padahal sudah jamak kita ketahui kalau proyek ini tidak lebih sekadar bancakan oligarki kapitalis.
Masa pengerjaan proyek IKN juga tidak main-main, yakni dari 2022—2045 yang terprogram dalam lima tahapan. Jika dikalkulasi, butuh 23 tahun bagi rakyat Indonesia untuk memiliki ibu kota baru. Mengingat masa pembangunannya mencapai puluhan tahun, investor serasa diberi “angin surga” karena mereka leluasa berinvestasi sebanyak-banyaknya.
Menanggapi proyek IKN yang masa pembangunannya panjang dan awet, ada tiga catatan penting yang perlu kita waspadai. Pertama, proyek IKN adalah proyek pemborosan. Belum genap dua tahun, proyek ini sudah menghabiskan dana puluhan triliun. Pada masa mendatang, tentu akan banyak dana yang perlu diguyur untuk pembangunan IKN, padahal problem negeri ini sangat banyak. Sangat disayangkan jika APBN negara turut menyumbang dalam proyek ini. Bukankah 20 persen APBN yang dialokasikan untuk IKN akan lebih berguna untuk pembangunan infrastruktur publik yang lebih urgen? Seperti fasilitas kesehatan, pendidikan, bantuan untuk penduduk miskin, dan sarana publik lainnya.
Kedua, proyek IKN adalah proyek jualan investasi di atas tanah Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, penguasa memberikan insentif berupa HGU yang bisa diperpanjang hingga 190 tahun dan HGB bagi investor selama 95 tahun. Tanah memang milik sendiri, tetapi infrastrukturnya milik swasta. Kalau sudah begini, apa bedanya dengan sewa rumah? Ada harga jika mau menempatinya. Dari populasi 1,95 juta penduduk yang mau pindah ibu kota, yakin semuanya bakal gratis? Jika mengikuti paradigma kapitalisme, jelas no free lunch.
Ketiga, proyek IKN adalah bentuk nyata penjajahan kapitalisme. Dirancang penguasa, diamini pengusaha, dan disahkan melalui undang-undang. Sungguh paket komplit untuk imperialisme. Mungkinkah proyek IKN dengan lima tahapan pembangunan yang ditempuh selama 23 tahun ini berjalan sesuai harapan? Bagi kapitalis mungkin iya, tetapi belum tentu bagi rakyat Indonesia. Ini karena, maaf saja, dominasi swasta terlalu kentara dalam proyek ini. Lalu bagaimana pandangan Islam?
Dalam menyikapi proyek-proyek “wah” seperti IKN, Islam tidak akan memberlakukan kebijakan yang tidak urgen. Semua pembangunan infrastruktur dilakukan untuk memenuhi kebutuhan serta mempermudah rakyat untuk menikmatinya. Negara akan berfokus pada pengurusan kemaslahatan yang lebih penting, seperti penyediaan sarana publik, layanan kesehatan, pendidikan gratis untuk seluruh rakyat, pemberian bantuan ekonomi, pendistribusian kebutuhan pokok secara adil dan merata, dan kemudahan mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat.
Infrastruktur adalah fasilitas umum yang dibutuhkan oleh semua orang, seperti air bersih, listrik, dan sejenisnya. Begitu juga termasuk fasilitas umum yang tidak mungkin dimonopoli oleh individu, seperti jalan raya, laut, udara, dan sejenisnya. Semuanya ini merupakan bagian dari infrastruktur yang dibutuhkan oleh seluruh manusia dan negara wajib menyediakannya secara gratis tanpa dipungut biaya.
Dalam pembiayaan infrastruktur, negara dapat memproteksi beberapa harta milik umum seperti minyak, gas, dan tambang. Pengeluarannya bisa dikhususkan untuk membiayai infrastruktur yang dibutuhkan. Rasulullah ? pernah memproteksi tanah an-naqi’ menjadi tempat menggembala kuda.
Negara juga dapat menarik dharibah (pajak) untuk pembiayaan infrastruktur. Strategi ini hanya boleh dilakukan ketika kas Baitulmal benar-benar kosong. Itu pun hanya digunakan untuk membiayai sarana dan prasarana vital, dan hanya diambil dari kaum muslim, laki-laki, dan mampu, selainnya tidak. Mengenai pinjaman atau utang luar negeri, syariat melarangnya. Selain mengandung riba yang jelas keharamannya, utang luar negeri merupakan ancaman dan alat penjajahan ekonomi bagi negeri Islam. Dengan utang, negara kreditur akan mudah menyetir dan mengendalikan negara debitur.
Dengan demikian, pada hakikatnya, kepemimpinan adalah melayani. Pemimpin adalah pelayan bagi orang yang dipimpin. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus memiliki visi misi pelayanan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, bukan visi misi pelayanan untuk korporat, swasta, atau asing.