PALANGKA RAYA, Kalimantanpost.com -Berkunjung ke Cafe Itah di Desa Bukit Batu Tangkiling di Kecamatan Bukit Batu, Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah (Kalteng) terasa tak ada bedanya dengan tempat nongkrong lainnya.
Puluhan mobil berjejer, singgah di pinggir jalan. Tak jauh dari kedai, warga lokal maupun bule dengan sabar antre membeli makan maupun minuman.
Usai memesan menu masing-masing, pengunjung masing-masing mencari tempat duduk yang cukup rindang atau makan secara lesehan.
Namun, Cafe Itah yang letaknya tak jauh dari Bukit Cinta tersebut menjual menu andalannya dengan aneka macam kue bronis.
Dilihat sepintas memang tak ada bedanya dengan cafe pada umumnya. Namun, setelah Pemimpin Redaksi Kalimantan Post memasuki ke Cafe Itah baru terasa beda. Ternyata pemiliknya bukan Urang Dayak, melainkan perempuan bule asal Australia.
“Nama saya Federika asal Australia,” kata Federika saat dengan Bahasa Indonesia dengan sangat fasih.
Perempuan Bule ini pun bercerita sebelumnya dirinya kuliah di Bandung. “Sewaktu kuliah di Bandung, saya ketemu dengan kawan satu kampus bernama Jayadi dan keduanya jatuh cinta,” paparnya.
Merasa cocok, Jayadi pun melamar Federika dan keduanya melangsungkan pernikahan pada tahun 2005 di Bandung.
Setelah beberapa kali pindah berbagai kota, pada tahun 2014, Federika dan Jayadi menetap ke Desa Bukit Batu Tangkiling, Palangka Raya dengan berkebun.
Di tahun 2020, kata Federika bersama suaminya mencoba membuka Cafe Itah dengan memanfaatkan hasil panen yang ada di kebunnya sendiri.
“Kami coba memulai hidup dengan membuka Cafe, ternyata cukup berkembang sampai sekarang. Kami pun sudah menampung 16 karyawan dengan menu andalan Brownis,” ungkap Federika
Bahkan sekarang tiap pesanan bronis yang buat tanpa blubend tak kurang puluhan dengan harga bervariasi, bahkan ada yang dibawa pulang. “Kita pakai minyak kelapa dan blodo, sebagai ciri khas,”ujar Federika.
Ditambahkannya, untuk aneka minuman disediakan dengan hasil bahan lokal seperti minuman segar es bunga telang, dawet, aneka buah dan banyak macem hasil kerjasama masyarakat.
“Khusus makan cemilan memang hasil kerjasama masyarakat yang sengaja di tampung dan setiap minggu dibayar dengan hasil yang cukup. Misal nasi atau laketan di jual Rp 12 ribu dimana Rp10 ribu buat masyarakat,” ucapnya. (nau/KPO-1)














