Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
HEADLINE

KERUKUNAN

×

KERUKUNAN

Sebarkan artikel ini

Oleh : AHMAD BARJIE B

Jangan disangka kemajemukan suku, agama, ras dan golongan hanya milik bangsa Indonesia. Jangan pula dikira, bahwa yang namanya provokator alias “tukang kompor” hanya ada di masa kontemporer sekarang.

Kalimantan Post

Kemajemukan SARA (suku, agama, ras dan antargolongan) sesungguhnma merupakan fitrah kejadian masusia. Allah sengaja menciptakan manusia dalam beragam suku dan bangsa, supaya mereka saling mengenal, saling berinteraksi dan berintegrasi (membaur), untuk selanjutnya bersaing secara sehat menjadi manusia yang paling bertakwa dan paling bermanfaat di antara sesamanya.

Fenomena SARA jika mampu dikelola dan dikembangan dengan baik, akan melahirkan kekuatan raksasa. Kesenjangan sosial, ekonomi, politik dan komunikasi tidak akan terjadi karenanya. Semua komponen masyarakat akan merasa dirinya satu, utuh, yang satu tidak merasa tinggi dan eksklusif dari yang lain.

Nabi Muhammad SAW telah memberi contoh kongkrit dalam mengelola SARA ke arah yang positif dan konstruktif. Perbedaan suku, ras, beliau ikat dengan suatu konsep yang melarang eksklusivisme ashabiyah (fanatik kesukuan). Nabi menegaskan “Bukan dari golonganku siapa yang mengajak kepada ashabiyah, berperang karena ashabiyah dan mati karena ashabiyah” (HR. Abu Daud).

Seorang sahabat, Abu Dzar Al-Ghiffari yang berkulit putih suatu hari bertengkar dengan Bilal bin Rabah yang berkulit hitam dan mantan budak. Nabi memarahi Abu Dzar sambil berkata: Hai Abu Dzar, sesungguhnya kamu tidak lebih bagi daripada orang yang berkulit hitam atau merah, melainkan kamu lebihkan dirimu dengan takwa (HR Ahmad).

Perbedaan kelas sosial dan keturunan, Nabi atasi dengan pembauran dan perkawinan antarkelas. Beliau, yang keturunan bangsawan Quraisy dan berstatus Nabi, tidak keberatan menikahi Mariah al-Qibtiyah, budak yang dihadiahkan oleh Mukaukius, pembesar Mesir. Bahkan Zaid bin Haritsah seorang bekas budak yang dimerdekakan oleh Nabi dikawinkan dengan seoarng wanita bangsawan, Zainab binti Jahsy, kerabat Nabi sendiri.

Baca Juga :  Rencana Reformasi Polri Disambut Baik Lengkapi

Perbedaan golongan dan ikatan primordial, beliau atasi dengan melakukan persaudaraan. Sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar dipersaudarakan satu sama lain, begitu pula antara golongan suku Aus dan Khazraj dari kalangan Anshar. Umar bin Khattab dipersaudarakan dengan Itban bin Malik al-Khazraji, Abu Bakar dengan Kharija bin Zaid, Hamzah dengan Zaid, beliau sendiri dengan Ali bin Abi Thalib dan lain-lain.

Persaudaraan itu tidak sekedar formalitas dan trik politik, tetapi benar-benar persaudaraan karena Allah. Di masa awal hijrah, golongan Muhajirin umumnya jatuh miskin, karena ketika hijrah tidak ada harta benda yang sempat dibawa. Sementara golongan Anshar Madinah, banyak yang kaya raya. Untuk menghilangkan kesenjangan ekonomi, persaudaraan juga ditanamkan, yang diaplikasikan melalui semangat dan sikap saling membantu.

Perbedaan agama pun tidak menjadi potensi konflik. Melalui “Piagam Madinah”, Nabi mengikat perjanjian dengan golongan Yahudi dan Nasrani untuk saling menghormati dan menghindari permusuhan. Masing-masing agama tidak boleh menghina agama dan kepercayaan lain. Dakwah Islam dijalankan dengan metode kasih sayang yang menyejukkan. Penganut agama lain (ahli zimmi) dilindungi sepenuhnya.

Tentu saja usaha-usaha Nabi ini tidak berjalan mulus begitu saja. Para provokator juga sering kasak-kusuk untuk merobek kerukunan tesebut. Menjelang dan ketika terjadi perang Khandaq, sejumlah orang munafik dari golongan suku Yahudi Bani Nadhir, Qainuqa dan Quraizhah berkhianat. Mereka memanas-manasi suku-suku lain di Jazirah Arabia untuk memusuhi Nabi SAW, padahal mereka sudah mengikat perjanjian. Untuk mengantisipasi bahya, Nabi bertindak sesuai prosedur. Mulanya diperingatkan, setelah tidak diacuhkan, beliau menghukum mereka secara tegas sesuai kesalahannya. Nabi dan para sahabat tidak pernah ragu, apalagi takut dalam menindak tegas pengkhianat, karena bahayanya yang amat besar.

Baca Juga :  Nobar Film ‘Pingin Hijrah’ Penuh Kejutan

Dewasa ini, nilai-nilai luhur agama dan adat istiadat masyarakat yang saling menghormati orang yang berbeda suku, agama, ras dan golongan semakin luntur. Orang begitu mudah terhasut untuk rusuh, untuk kemudian berbuat anarkis, sehingga kerusuhan sipil mudah sudah terjadi.

Iklan
Iklan