Oleh : Ade Hermawan
Pemerhati Sosial Keagamaan
Hidup diartikan sebagai proses yang terus bergerak dan bekerja sesuai dengan kodratnya. Makna hidup dapat bervariasi bagi setiap individu, tergantung pada motivasi, tujuan, dan harapan yang bersifat personal. Hal ini dapat berubah seiring dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Hidup yang bermakna sering kali diartikan sebagai kehidupan yang sarat dengan kegiatan, penghayatan, dan pengalaman yang memiliki nilai. Ini menunjukkan bahwa makna hidup tidak hanya ditemukan dalam pencapaian materi, tetapi juga dalam hubungan sosial dan pengalaman emosional yang mendalam. Jadi, arti hidup manusia adalah perjalanan untuk menemukan dan menciptakan makna dalam setiap aspek kehidupan. Ini melibatkan refleksi, pengalaman, dan interaksi dengan orang lain.
Tertipu adalah kondisi dimana seseorang mengalami keterjebakan atau penipuan, yang biasanya disebabkan oleh kebohongan, misinterpretasi, atau manipulasi informasi. Ketika seseorang tertipu, mereka sering kali percaya pada sesuatu yang tidak benar atau tidak sesuai dengan kenyataan.
Hidup tertipu adalah kondisi di mana seseorang kehilangan arah dan makna hidupnya akibat pengaruh negatif dari dalam maupun luar. Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk terus belajar, introspeksi, dan menjaga hubungan yang baik dengan Allah agar terhindar dari penipuan yang merugikan. Manusia yang hidup tertipu merujuk pada individu yang terjebak dalam ilusi atau penipuan, baik dari diri sendiri maupun dari pengaruh luar, seperti syaitan atau hawa nafsu.
Contohnya adalah berkaitan dengan masalah rezeki dan ilmu. Penting bagi setiap individu untuk menyadari bahwa pekerjaan dan usaha adalah bagian dari ikhtiar, tetapi rezeki dan keberhasilan sejati datang dari Allah. Dengan memahami hal ini seseorang dapat lebih bersyukur dan menjaga keseimbangan antara usaha duniawi dan sipiritual. Manusia sering kali tertipu dengan menganggap bahwa pekerjaan atau usaha mereka adalah sumber utama rezeki, bukan Allah. Hal ini dapat menyebabkan seseorang melupakan hakikat bahwa segala sesuatu yang mereka miliki, termasuk rezeki, adalah anugerah dari Allah.
Dalam Islam, mengejar ilmu adalah suatu kewajiban, baik ilmu dunia maupun ilmu akhirat. Namun, ada peringatan yang jelas mengenai bahaya jika seseorang lebih mengutamakan ilmu dunia tanpa memperhatikan ilmu akhirat.
Islam mengajarkan pentingnya menyeimbangkan antara ilmu dunia dan ilmu akhirat. Nabi Muhammad SAW mendorong umatnya untuk belajar dan menguasai kedua jenis ilmu tersebut, karena keduanya saling melengkapi dan dapat membawa manfaat bagi kehidupan di dunia dan akhirat. Namun, jika seseorang hanya fokus pada ilmu dunia, mereka dapat terjebak dalam ilusi dan keterpesonaan terhadap kehidupan dunia yang bersifat sementara.
Dalam Al-Qur’an, Allah mengingatkan kita tentang bahaya tertipu oleh kehidupan dunia. Salah satu ayat yang menekankan hal ini terdapat dalam Surah Al-Hadid, dimana Allah berfirman yang artinya, “Ketahuilah bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan, kelengahan, perhiasan, dan saling bermegah-megahan di antara kamu serta berlomba-lomba dalam banyaknya harta dan anak keturunan. (Perumpamaannya adalah) seperti hujan yang tanamannya mengagumkan para petani, lalu mengering dan kamu lihat menguning, kemudian hancur. Di akhirat ada azab yang keras serta ampunan dari Allah dan keridaan-Nya. Kehidupan dunia (bagi orang-orang yang lengah) hanyalah kesenangan yang memperdaya”. (QS. Al-Hadid: 20). Ayat ini mengingatkan kita bahwa segala kenikmatan dan kesenangan dunia bersifat sementara dan dapat menipu kita dari tujuan yang lebih tinggi, yaitu kehidupan akhirat.
Penting bagi kita untuk menyadari bahwa kehidupan dunia ini bersifat sementara dan tidak boleh mengalihkan perhatian dari tujuan utama hidup, yaitu beribadah dan mempersiapkan diri untuk kehidupan setelah mati. Dengan memahami firman Allah ini, kita diharapkan dapat lebih bijak dalam menjalani hidup dan tidak terjebak dalam tipuan dunia.
Nabi Muhammad SAW bersabda, “Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara: (1) Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu; (2) Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu; (3) Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu; (4) Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu; (5) Hidupmu sebelum datang matimu.” (HR. An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra no. 11832). Hadist ini menekankan bahwa banyak orang yang tidak menyadari pentingnya memanfaatkan kesehatan dan waktu luang mereka untuk hal-hal yang bermanfaat, sehingga mereka terjebak dalam kesenangan dunia yang sementara. Dengan memahami peringatan dari Nabi, kita diharapkan dapat lebih bijak dalam memanfaatkan waktu dan kesehatan kita untuk beribadah dan melakukan kebaikan, serta mempersiapkan diri untuk kehidupan setelah mati.
Sikap dan tindakan manusia yang hidup tertipu dalam perspektif Islam mencakup kecenderungan untuk berbuat riya, mengabaikan kewajiban ibadah, mencintai dunia secara berlebihan, merasa puas dengan pencapaian sementara, mengalami ketidakpuasan, dan mengabaikan tanda-tanda kematian. Memahami sikap-sikap ini dapat membantu individu untuk introspeksi dan memperbaiki diri agar tidak terjebak dalam tipuan dunia yang bersifat sementara.
Manusia yang hidup tertipu sering kali menunjukkan sikap riya, yaitu melakukan amal atau kebaikan hanya untuk mendapatkan pujian dari orang lain. Mereka lebih mementingkan penilaian manusia daripada keridhaan Allah, yang menunjukkan bahwa niat mereka tidak tulus.
Sikap malas dalam melaksanakan kewajiban ibadah, seperti shalat dan membaca Al-Qur’an, adalah tanda bahwa seseorang terjebak dalam kehidupan duniawi. Mereka mungkin lebih memilih untuk menghabiskan waktu untuk aktivitas dunia yang tidak bermanfaat daripada beribadah.
Tindakan mengejar harta, kekuasaan, dan status sosial secara berlebihan mencerminkan bahwa seseorang lebih terfokus pada kenikmatan dunia. Mereka mungkin mengabaikan tanggung jawab moral dan spiritual, serta tidak mempersiapkan diri untuk kehidupan setelah mati.
Manusia yang tertipu sering kali merasa puas dengan pencapaian duniawi yang bersifat sementara. Mereka mungkin tidak menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada materi, tetapi pada kedekatan dengan Allah dan amal yang baik. Kemudian Meskipun memiliki banyak harta dan kesuksesan, orang yang hidup tertipu sering kali merasa tidak puas dan terus mencari lebih banyak. Kecemasan dan ketidakpuasan ini muncul karena mereka tidak menemukan makna yang lebih dalam dalam hidup mereka.
Sikap acuh tak acuh terhadap kematian dan kehidupan setelah mati adalah ciri lain dari orang yang tertipu. Mereka hidup seolah-olah dunia ini adalah segalanya dan tidak memikirkan konsekuensi dari tindakan mereka di akhirat.
Manusia yang hidupnya tertipu disebabkan karena beberapa hal yaitu : Pertama, ketergantungan pada usaha. Banyak orang percaya bahwa keberhasilan dan rezeki sepenuhnya bergantung pada usaha dan kerja keras mereka. Meskipun usaha adalah bagian penting dalam mencapai tujuan, Islam mengajarkan bahwa rezeki datang dari Allah dan tidak ada yang bisa mengubah takdir-Nya.
Kedua, mengabaikan syukur. Ketika seseorang menganggap bahwa pekerjaan mereka adalah sumber rezeki, mereka cenderung lupa untuk bersyukur kepada Allah atas nikmat yang diberikan. Dalam hadis, disebutkan bahwa banyak manusia tertipu oleh nikmat yang mereka miliki, seperti kesehatan dan waktu luang, tanpa menyadari bahwa semua itu adalah karunia dari Allah.
Ketiga, kecenderungan duniawi. Manusia sering kali terjebak dalam gemerlap duniawi dan melupakan tujuan akhir mereka. Kesenangan dan kesuksesan dunia dapat menipu mereka untuk berpikir bahwa semua yang mereka capai adalah hasil dari usaha pribadi, bukan karena rahmat Allah.
Dampak yang dirasakan bagi manusia yang hidupnya tertipu adalah Kehilangan Fokus Spiritual. Yaitu Ketika seseorang lebih fokus pada pekerjaan dan hasil duniawi, mereka dapat kehilangan fokus pada ibadah dan hubungan mereka dengan Allah. Ini dapat mengakibatkan kerugian spiritual yang signifikan. Dampak lainnya adalah Rasa Tidak Puas. Meskipun mencapai kesuksesan, seseorang yang tertipu mungkin merasa tidak puas dan terus mencari lebih banyak, karena mereka tidak menyadari bahwa kebahagiaan sejati datang dari kedekatan dengan Allah dan bukan dari pencapaian materi.
Cinta dunia dapat menjadi sumber dari banyak kesalahan dan kerusakan dalam agama. Ketika seseorang lebih mencintai dunia, mereka mungkin akan menggunakan ilmu yang mereka miliki untuk tujuan yang tidak baik, seperti menumpuk harta atau mengejar popularitas. Hal ini dapat mengakibatkan kerugian spiritual yang besar, karena mereka kehilangan arah dan tujuan hidup yang sebenarnya.
Ikhtiar atau usaha yang sungguh-sungguh sangat penting untuk memastikan bahwa hidup seseorang tidak tertipu oleh dunia. Beberapa langkah ikhtiar yang dapat dilakukan adalah : Pertama, meningkatkan kesadaran spiritual. Penting untuk selalu mengingat bahwa kehidupan di dunia ini bersifat sementara. Dengan meningkatkan kesadaran akan tujuan hidup dan akhirat, seseorang dapat lebih fokus pada hal-hal yang benar-benar penting. Melakukan ibadah secara rutin, seperti shalat, membaca Al-Qur’an, dan berdzikir, dapat membantu memperkuat hubungan dengan Allah.
Kedua, menuntut ilmu yang bermanfaat. Islam mendorong umatnya untuk menuntut ilmu, baik ilmu dunia maupun ilmu akhirat. Namun, ilmu yang dicari haruslah yang membawa manfaat dan mendekatkan diri kepada Allah. Menghadiri majelis ilmu, membaca buku-buku agama, dan berdiskusi dengan orang-orang yang berilmu dapat membantu memperluas wawasan dan pemahaman.
Ketiga, berdoa dan bertawakal. Setelah melakukan ikhtiar, penting untuk berdoa kepada Allah agar usaha yang dilakukan diberkahi dan diarahkan ke jalan yang benar. Tawakal, atau berserah diri kepada Allah setelah berusaha, adalah bagian penting dari keimanan. Dengan tawakal, seseorang akan merasa tenang dan tidak gelisah meskipun hasil yang didapat tidak sesuai harapan.
Keempat, menjaga niat yang ikhlas. Setiap amal yang dilakukan haruslah didasari oleh niat yang ikhlas karena Allah. Ketika niat sudah benar, maka setiap usaha yang dilakukan akan mendapatkan berkah dan ridha dari-Nya. Ini juga membantu menghindari perilaku riya, yaitu berbuat baik hanya untuk mendapatkan pujian dari orang lain.
Kelima, membangun lingkungan yang positif. Bergaul dengan orang-orang yang memiliki tujuan hidup yang sama dan saling mengingatkan dalam kebaikan dapat membantu menjaga fokus dan motivasi. Lingkungan yang positif akan mendukung seseorang untuk tetap berada di jalur yang benar dan tidak terjebak dalam tipuan dunia.
Semoga kita tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang hidupnya tertipu, aamiiiiiin.