Oleh : AHMAD BARJIE B
Dalam perjalanan pulang ke Hulu Sungai, di sebuah mobil taksi, penulis duduk di samping seorang lelaki tua. Sehubungan ramainya orang naik haji (pergi haji), termasuk haji sambil bekerja dan turis (non ONH), lelaki itu berkomentar sebagai berikut, “Kalau aku bertemu haji turis, aku tidak akan bersalaman, kecuali orang itu yang menyalami lebih dulu”.
Mengapa begitu, tanya penulis menyela, “Sebagian mereka kurang istitha’ah, kurang memenuhi syarat. Pertama, di segi biaya, ada yang sampai menjual sawah, kebun atau menggadaikan rumah, dengan mengabaikan nasib keluarga yang ditinggalkan. Bahkan ada yang berutang”.
Kedua, dalam perjalanan kurang aman, bisa terlantar. Setibanya di tanah suci main sembunyi-sembunyi, takut kena razia polisi Arab. Jadi, perasaan tidak aman, selalu cemas. Tapi ada juga yang terlantar dan sengaja minta tangkap, agar bisa dipulangkan ke Indonesia secara gratis.
Ketiga, ilmu manasik haji tidak dikuasai atau hanya diketahui sedikit saja. Keempat, banyak yang berniat untuk bekerja atau berdagang, jadi misinya tidak untuk beribadah semata.
Analisis lelaki ini mungkin terlalu ekstrim dan bisa membuat marah orang-orang yang berhaji non ONH/BPIH. Sebab banyak juga mereka yang sebenarnya mampu berhaji ONH, namun sengaja memilih non ONH agar lebih santai, bisa melihat-lihat kota di negeri lain. Tidak seperti haji ONH yang kesannya serba cepat dan tergesa-gesa, sehingga tidak sempat puas di tanah suci. Orang yang tua dan fisiknya lemah sering mengalami masalah.
Namun, agaknya ada juga benarnya kata orang itu. Sebab secara kasuistik kita melihat ada orang-orang yang pergi ke tanah suci dengan maksud berusaha sekaligus berhaji, ada yang menjual rumah dan tanah, berutang, atau bahkan sempat terjadi “perang” dengan anggota keluarga. Pekerjaan pasti di daerah ditinggalkan, sementara hasil kerja di sana belum tentu. Mengharap bangau terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan.
Selain itu banyak pula yang terkena razia dan over stay, sehingga dipulangkan secara paksa. Ini dapat merusak citra negara.
Persoalan mendasar, mengapa orang banyak memilih non ONH? Jawabannya mungkin ONH mahal. Setiap tahun biayanya naik. Setiap calon haji harus berdompet tebal.
Biaya begitu besar, sudah tentu sulit dijangkau masyarakat kebanyakan. Terlebih di masa krisis ekonomi, karena pendapatannya bukannya meningkat, tapi justru menurun.
Sebagai pelayan masyarakat, seharusnyalah pemerintah berusaha maksimal menekan biaya haji. Biaya yang yak ada hubungannya dengan haji, sebaiknya dipangkas, agar calon haji/hajjah tidak terlalu dibebani. Nuansa korupsi, seperti banyak jadi sorotan, hendaknya dihilangkan.
Selama biaya resmi haji tetap mahal di mata masyarakat, selama itu pula haji tak resmi tetap dipilih masyarakat dengan segala risikonya.