Penulis:
Rico, S.Pd., M.I.Kom – Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNISKA MAB Banjarmasin
Dr. Didi Susanto, M.I.Kom., M.Pd – Dosen Magister Administrasi Pendidikan Fakultas Pascasarjana UNISKA MAB Banjarmasin
Kebudayaan memainkan peran krusial dalam membentuk karakter generasi muda dan citra bangsa secara keseluruhan. Dalam era globalisasi yang semakin terhubung ini, identitas budaya menjadi komponen vital untuk menghadapi tantangan modernitas tanpa melupakan akar tradisi yang menjadi fondasi masyarakat. Sebagai himpunan nilai, norma, dan tradisi yang diwariskan lintas generasi, kebudayaan tidak hanya membentuk identitas nasional, tetapi juga memberikan pedoman perilaku bagi individu dalam interaksi sosial mereka. Charles Sanders Peirce, salah satu pelopor teori semiotika, memberikan wawasan penting dalam memahami bagaimana elemen budaya berperan sebagai tanda yang mempengaruhi pemahaman dan perilaku manusia.
Dalam teori semiotika Peirce, tanda terdiri dari tiga komponen: representamen (tanda itu sendiri), objek (hal yang diwakili oleh tanda), dan interpretant (pemahaman atau makna yang dihasilkan dalam benak penerima). “Tanda-tanda budaya,” menurut Peirce, “tidak hanya merepresentasikan makna; mereka juga memiliki kekuatan untuk membentuk cara individu memandang dan memahami dunia mereka” (Peirce, dalam Smith & Jones, Semiotic Perspectives in Culture, 2018). Dalam konteks ini, elemen-elemen budaya seperti Huma Betang, rumah panjang tradisional masyarakat Dayak di Kalimantan, memegang makna simbolik yang melampaui fungsi arsitekturalnya. Huma Betang mencerminkan filosofi hidup yang mengedepankan kebersamaan, toleransi, dan solidaritas, yang sangat relevan bagi pembangunan karakter generasi muda.
Huma Betang, dengan segala simbolisme yang dikandungnya, mengajarkan pentingnya harmoni dalam keberagaman. Menurut penelitian terbaru oleh Brown dan Williams (2021) dalam jurnal Cultural Heritage and Identity, “elemen budaya tradisional tidak hanya menjadi saksi sejarah, tetapi juga alat pendidikan yang efektif untuk menanamkan nilai-nilai penting dalam diri generasi muda.” Sebagai contoh, prinsip gotong royong yang diajarkan oleh Huma Betang tidak hanya mendorong kerja sama, tetapi juga memperkuat rasa saling menghormati di tengah perbedaan. Dengan demikian, kebudayaan berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan nilai-nilai tradisional dengan kebutuhan modern masyarakat.
Dalam konteks global, pentingnya budaya dalam membentuk identitas nasional semakin diakui. UNESCO (2019) menyoroti bahwa “melestarikan dan memahami warisan budaya adalah kunci untuk memperkuat identitas bangsa di tengah arus globalisasi yang cepat.” Bagi Indonesia, keberagaman budaya adalah aset yang harus dipertahankan dan dipromosikan, karena memiliki potensi besar untuk menciptakan masyarakat yang inklusif dan harmonis. Namun, tantangan utama yang dihadapi saat ini adalah bagaimana mentransformasikan elemen-elemen budaya ini agar dapat relevan dengan kehidupan generasi muda, yang sering kali lebih terhubung dengan budaya global dibandingkan dengan warisan tradisional mereka sendiri.